Untuk Indonesia

Eko Kuntadhi: Jokowi-Prabowo Bertemu, Berikutnya Apa?

Akhirnya Jokowi bertemu Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Sabtu, 13 Juli 2019. Tulisan opini Eko Kuntadhi.
Kedua kontestan dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019 lalu ini bertemu di Stasiun MRT Lebak Bulus dan selanjutnya naik MRT dan diakhiri dengan makan siang bersama. (Foto: Antara/Wahyu Putro A)

Oleh: Eko Kuntadhi*

Akhirnya Jokowi bertemu Prabowo di stasiun MRT. Pemilihan lokasi pertemuan di stasiun MRT, lalu mereka naik MRT dari Lebak Bulus menuju Senayan, menurut Jokowi, karena Prabowo selama ini belum pernah merasakan naik MRT di Jakarta. Makna lain yang bisa kita tangkap, MRT adalah hasil kerja besar bangsa Indonesia. Sebuah proyek yang dulu cuma mimpi di atas kertas, kini sudah terwujud.

Jokowi ingin mengatakan bahwa bangsa ini sudah lebih maju sekarang. Sudah bergerak ke arah yang benar. Fasilitas transportasi kita tidak kalah dengan kota-kota besar di dunia. Yang dibutuhkan ke depan adalah persatuan agar kita sama-sama bergerak bersama membangun Indonesia.

Tidak ada lagi nol satu, tidak ada lagi nol dua. Yang ada adalah persatuan Indonesia. "Tidak ada lagi cebong. Tidak ada lagi kampret. Yang ada Garuda Pancasila," ujar Presiden.

Prabowo juga secara terbuka akhirnya mengucapkan selamat kepada Jokowi sebagai Presiden terpilih. "Selamat bekerja. Kami siap membantu untuk Indonesia. Tapi kami juga siap dengan kritik," ujar Prabowo.

Bahkan spekulasi soal peluang Gerindra masuk kabinet Jokowi mulai merebak. Meski keduanya masih harus merundingkan dengan partai koalisi masing-masing.

Yang menarik setelah naik MRT, Prabowo dan Jokowi berjalan menuju mal untuk makan siang bersama. Suasana yang dapat ditangkap, pertemuan ini memang sangat terbuka untuk publik. Berbeda dengan banyak pertemuan politik yang biasanya dilakukan jauh dari pantauan publik, Jokowi justru seringkali memilih pertemuan politiknya di area publik. Kesan yang ingin didapat bahwa tidak ada yang ditutupi dari sebuah pertemuan politik.

Jauh sebelum Gerindra, Partai Demokrat dan PAN sudah bolak balik ketemu Jokowi. Mereka teranf-terangan ingin masuk sebagai partai pemerintah. Setidaknya Jokowi harus mengapresiasi dengan menyediakan kursi kabinet pada mereka.

Jika Gerindra, Demokrat, dan PAN semuanya bergabung ke kabinet Jokowi, hanya PKS saja yang relatif berfungsi sebagai oposisi. Sepertinya itu juga bukan suasana yang sehat bagi demokrasi. Sebab biar bagaimanapun demokrasi membutuhkan oposisi yang kuat dan serius.

Gerindra sejak berdirinya memang tidak pernah mencicipi berada di pemerintahan. Berbeda dengan Demokrat, PAN, dan PKS yang berkali-kali masuk kabinet pada zaman SBY. Tapi meski dulu PKS dan PAN masuk kabinet SBY seringkali kelakuan mereka lebih oposisi dari oposisi. SBY sering tersandung ulah mereka.

Saya membaca pertemuan Jokowi-Prabowo bukan cuma ketemunya dua orang yang pernah berkompetisi dalam Pilpres.

Jokowi dan PrabowoJoko Widodo dan Prabowo Subianto melambaikan tangan saat tiba di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta, Sabtu (13/7/2019). (Foto: Antara/Wahyu Putro A/wsj)

Demikian juga PAN, kemarin sempat masuk kabinet Jokowi. Tapi komentar tokoh-tokohnya lebih terdengar sebagai oposisi ketimbang partai pendukung pemerintah.

Jika begitu memang tidak ada gunanya mereka masuk kabinet. Sebab sesungguhnya diajaknya partai politik dalam koalisi pemerintahan bukan cuma mendudukkan kader partai tersebut jadi menteri. Kalau soal itu sih, selain kader partai, masih banyak anak bangsa yang berkualitas.

Tapi yang paling penting adalah agar pemerintah mendapat dukungan politik. Percuma kalau masuk koalisi pemerintahan tetapi kelakuan rekan-rekan parpolnya malah serasa oposisi. Justru itu juga gak sehat.

Mungkin pertemuan Prabowo-Jokowi siang ini memberi ruang pada Gerindra untuk sesekali icip-icip menjadi partai pendukung pemerintah. Sebagai konsekuensi logis, Gerindra harus bisa mengubah paradigma politiknya. Bukan lagi berada di luar rumah pemerintahan.

Apakah bisa partai yang selama hidupnya jadi oposisi mengubah habitatnya menjadi lebih kalem? Apalagi kompensasinya hanya satu-dua kursi kabinet. Bisa saja.

Gerindra sangat bergantung apa kata Prabowo. Setelah tiga kali gagal Pilpres, Prabowo perlu mengubah gaya jika mau maju lagi pada Pilpres mendatang. Pengalaman selama ini sebagai oposisi pemerintahan tidak membawa dirinya sukses jadi Presiden. Barangkali saja jika ia dan partainya bersikap jauh lebih kalem, garis tangan akan berubah.

Jika Prabowo memutuskan partainya masuk pemerintahan Jokowi, yang akan marah adalah gerombolan Islamist garis keras yang selama ini berada di belakang Pranowo. Sebab tujuan gerombolan ini memang selalu ingin membuat kekacauan. Bukan membangun untuk Indonesia.

Mereka menjadikan Prabowo sebagai tameng untuk menjalankan agenda-agendanya. Jika tameng itu pergi, relatif mereka gak ada lagi yang melindungi. Atau yang mengkhawatirkan adalah, justru dengan masuknya Gerindra ke pemerintahan menjadi penghambat Jokowi untuk membersihkan kekuatan radikal dari Indonesia.

Memang suara untuk Prabowo pada Pilpres lalu lumayan, 44 % lebih. Itu adalah modal utama jika dia mau maju lagi Pilpres yang akan datang. Tapi harus diingat ada bagian dari suara itu yang isinya gerombolan Islam garis keras. Mereka akan marah jika Prabowo merapat ke pemerintahan Jokowi.

Tapi itu adalah konsekuensi logis dari sebuah pilihan.

Saya membaca pertemuan Jokowi-Prabowo bukan cuma ketemunya dua orang yang pernah berkompetisi dalam Pilpres. Baru kemarin Jokowi memberikan sinyal bahwa dia sudah mengantongi nama-nama calon menteri dan sudah punya cetak biru kabinet yang akan datang. Saya yakin, digelarnya pertemuan itu sekarang juga merespons statemen Jokowi tersebut. Setidaknya Prabowo tidak mau ketinggalan juga untuk menjajaki ruang masuk ke pemerintahan.

Nah, apa kelanjutan dari pertemuan ini, saya rasa jawabnya nanti ada di komposisi kabinet Jokowi dalam waktu dekat ini.

*Penulis adalah Pegiat Media Sosial

Baca juga:

Berita terkait
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.