Edy Versus Bakhtiar, Tak Punya Etika Komunikasi

Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi dan Bupati Tapanuli Tengah Bakhtiar Sibarani terlibat perseteruan panas.
Bupati Tapteng Bakhtiar Sibarani dan Gubernur Sumut Edy Rahmayadi. (Foto: Tagar/Reza Pahlevi)

Medan - Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi dan Bupati Tapanuli Tengah Bakhtiar Sibarani terlibat perseteruan panas. Bermula dari kritikan Edy Rahmayadi menyebut Bakhtiar Sibarani selaku kepala daerah tidak sayang dengan rakyat. Sehingga masyarakat di sana jadi miskin.

Bakhtiar Sibarani seperti tidak senang dan berang, sehingga membalas pernyataan Edy Rahmayadi, yang seharusnya menjadi panutan baginya. Keduanya nyaris mempertontonkan sikap seperti kekanakan-kanakan, dengan perang kata-kata di ruang publik.

Menanggapi itu, pengamat sosial politik Sumatera Utara, Fernando Sihotang menyebut, UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa kepala daerah setingkat provinsi dan kabupaten kota memiliki kekuatan politik untuk mengatur daerahnya masing-masing secara otonom. Gubernur merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah.

Namun bukan berarti wilayah politik otonom kepala daerah tidak dimaknai dalam fungsi koordinasi antar kepala daerah, baik yang setingkat maupun di atasnya. Koordinasi dibutuhkan untuk membangun sinergisitas dalam program pembangunan daerah yang tidak bisa hanya dilakukan oleh kepala daerah tertentu.

Hari ini, kata dia, ada suguhan pertengkaran politik antara Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi dan Bupati Tapanuli Tengah Bakhtiar Sibarani yang tidak ada esensinya dengan gagasan-gagasan pembangunan yang dibutuhkan.

Menurut Fernando, kolaborasi dan komunikasi yang baik antar kepala daerah yang mengatasnamakan masyarakat tidak akan berakhir dengan pertengkaran yang tidak membangun.

"Menurut saya ada tiga prinsip dasar yang dilanggar oleh kedua politikus ini, pertama, kedua pejabat publik ini tidak memahami etika komunikasi di ruang publik, kedua, masalah personal yang ranahnya privat dibawa ke dalam urusan publik dan ketiga bahwa yang menjadi korban dari pertengkaran politik mereka adalah masyarakat," tukasnya, Sabtu 21 Desember 2019.

Dia menyebut, pembangunan di Kabupaten Tapanuli Tengah membutuhkan koordinasi dengan gubernur untuk pembangunan di wilayah-wilayah yang menjadi tanggung jawab provinsi, misalnya jalan raya, pariwisata, irigasi, dll.

Sementara itu, Shohibul Anshor akademisi dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan menyebut, konflik yang terjadi antara keduanya ada latar belakang politik sebagai penyebabnya.

"Konflik antara Edy Rahmayadi dan Bakhtiar Sibarani, dalam pemerintahan sipil di Indonesia, apalagi pada era otonomi daerah, selalu ada latar belakang politik yang dapat menyebabkannya. Era sebelumnya tentu tidak akan pernah terjadi. Otonomi yang memberi titik tekan ke kabupaten dan kota menyebabkan fungsi koordinatif gubernur menjadi lemah. Ini sudah lama dikeluhkan secara nasional, karena otonomi ini seperti federalisme setengah hati," terang Shohibul, dihubungi di Medan, Sabtu 21 Desember 2019.

Harusnya, daripada berkonflik lebih mungkin berkompetisi sehat menantang prestasi

Kemudian, menurut dia, konflik menjadi sebuah kelaziman, di mana ada dua macam konflik yang biasanya terjadi. Pertama horizontal dan vertikal.

"Tetapi harus diingat, jika konflik terjadi, tak berarti bahtera dunia akan segera kiamat. Konflik tak akan pernah hilang selama kehidupan masih terbentang. Konflik horizontal yang sangat lazim tak lepas dari perebutan pengaruh sumber daya internal. Sesama orang satu level dalam organisasi yang sama, sikut-sikutan. Berhubung atasan langsung mereka (Edy dan Bakhtiar) adalah figur yang sama, rujuk bisa dilakukan atau atasan langsung mengambil kebijakan menempatkan mereka pada separate organ dalam sistem yang sama. Harusnya, daripada berkonflik lebih mungkin berkompetisi sehat menantang prestasi," kata Shohibul.

Konflik memang jarang terjadi antara keduanya. Namun meski pun jarang terjadi, bukan tidak ada antara pejabat negara dalam jenjang yang berbeda (vertikal) yang berkonflik. Ini sangat lazim.

"Hanya saja kebanyakan bersifat latency (di bawah permukaan) dan di antara yang berkonflik ada kesadaran memilih, membiarkannya sedemikian rupa dengan harapan perlahan memasuki tahap atau kondisi tertentu yang kerap disebut stalemate. Istilah (stalemate) ini pada dasarnya dipinjam dari aturan permainan catur (draw atau remis) dan dalam pengertian khusus dimaknai sebagai sebuah keadaan, sebuah masalah yang akhirnya selesai dengan sendirinya. Akhirnya terlupakan atau karena ada isu besar yang membuat mereka dengan sendirinya melupakan konfliknya sendiri," ucap dia.

Shohibul juga memastikan, bahwa konflik Edy Rahmayadi dan Bakhtiar Sibarani ramai di Indonesia. Tidak semua pejabat (gubernur, bupati, wali kota, menteri dan satuan-satuan kerja lainnya) suka atau setuju dengan kepemimpinan dan kebijakan Presiden Jokowi, baik pada periode kabinet pertamanya maupun periode yang baru dimulai.

"Tetapi karena menghitung risiko, secara diam-diam mereka yang berbeda pendapat itu memberi perlawanan, meski dalam sikap formal selalu kelihatan mendukung. Perhatikan bukti-bukti kinerja mereka yang bertentangan dengan arahan Nawacita, baik dilihat dari aspek kuantitatif apalagi kualitatif. Selain itu, dari bukti kinerja, sangat kelihatan sikap perlawanan itu," kata Shohibul.

Membaca informasi melalui media, konflik berawal dari pernyataan Edy Rahmayadi tentang kondisi Kabupaten Tapanuli Tengah yang dikaitkan pula dengan leadership kepala daerahnya.

"Dari sana saya simpulkan bahwa jenis konflik yang terjadi adalah bentuk opponentiality. Edy tidak bermaksud merendahkan dan Bakhtiar tidak bermaksud melawan, dan keduanya sangat concern dengan misi lebih tinggi, yakni mempertanggungjawabkan amanah masing-masing untuk mensejahterakan rakyat sesuai lingkup tanggung jawab dan tugas. Keduanya kelihatan riuh karena satu alasan, bagaimana membahagiakan rakyat dengan kewenangan yang mereka miliki," ucapnya.

Shohibul menyebut bahwa konflik jenis itu bukanlah suatu permusuhan, karena tidak ada pihak yang merasa yang lain adalah musuh (enemy).

"Hanya saja karakter keduanya sama-sama suka berterus terang dan cukup reaktif. Itu yang menjadi hal baru dalam masalah ini. Saya yakin Edy dengan kewibawaan dan posisinya akan segera mengundang Bakhtiar untuk minum kopi pada suatu sore atau malam yang tidak akan diketahui orang-orang jauh. Edy tahu dampak kondisi ini bagi masyarakat, begitu juga Bakhtiar. Bakhtiar pun akan merasa tersanjung diperlakukan sebagai adik dan mendatangi abangnya dengan penuh niat baik. Pasti pertemuan itu akan cair untuk menjadi awal bagi pembicaraan serius pembangunan daerah," tandas dia.[]

Berita terkait
Wakil Ketua DPRD Sumut Tantang Edy Rahmayadi
Wakil Ketua DPRD Sumatera Utara menantang Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi berkeliling Tapanuli Tengah naik sepeda motor.
Edy Rahmayadi Kucurkan Rp 5 Miliar Tangani Babi
Edy Rahmayadi menganggarkan atau mengucurkan uang sebanyak Rp 5 miliar untuk menangani mewabahnya virus hog cholera.
Edy Rahmayadi Punya Kawan Tangani Wabah Virus Babi
Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi kini tak sendiri menangani wabah penyakit babi yang belakangan meresahkan peternak babi dan masyarakat.