Eceng Gondok Bantul dan Lembah Pengangguran

Tikar dan tas keranjang beragam model dengan warna khas coklat eceng gondok itu menggunung di teras rumah di Bantul. Itu hasil keringat anak muda.
Ginardi menunjukkan tempat cermin terbuat dari serat batang mendong, Minggu, 10 November 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Bantul - Tikar dan tas keranjang beragam model dengan warna khas coklat eceng gondok itu menggunung di teras sebuah rumah. Itu adalah hasil perasan keringat para pemuda Bantul.

Sang pemilik rumah adalah Ginardi 40 tahun. Dengan kreativitas kerajinan eceng gondok, ia menghapus sebagian angka pengangguran di daerahnya. Ia dengan caranya membuka jalan bagi para pemuda, berkarya, menghasilkan uang untuk menjalani kehidupan yang baik.

Kerajinan tangan dari eceng gondok bukan hal baru di Yogyakarta, sejak era 90-an para perajin eceng gondok telah berkarya. Ginardi satu di antaranya. Ia menarik puluhan pemuda dari lembah pengangguran.

Saat ditemui di dekat rumahnya, di Jalan Wigaringtyas, Srandakan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Ginardi sedang mengupas kulit bawang bersama beberapa wanita tua dan paruh baya. Ia mengenakan celana pendek selutut, berkaus oblong biru muda. Kakinya beralaskan sandal jepit.

Sore itu, Minggu, 10 November 2019, bertepatan Hari Pahlawan. Ia menyempatkan diri membantu tetangga, mengupas kulit bawang merah, karena hari itu ia dan puluhan karyawannya libur memproduksi kerajinan eceng gondok.

Ginardi menyapa ramah saat Tagar memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan menemuinya. Ia berdiri, melangkah beberapa meter menuju beberapa ikat batang eceng gondok kering, menunjukkan bahan baku kerajinan tangan.

Sekilas eceng gondok kering berwarna coklat muda itu seperti tumpukan sampah yang siap dibakar. Bersama ceceran dedaunan kering, teronggok di halaman rumah.

Setelah menunjukkan bahan baku kerajinan yang belum diolah, Ginardi mengajak Tagar menuju rumahnya, tempat produksi kerajinan.

Awalnya saya cuma garap pesanan orang, bukan untuk perusahaan.

Eceng Gondok BantulGinardi memeriksa kerajinan tangan berbahan baku eceng gondok buatannya, di tempat produksinya, Jl. Wigaringtyas, Srandakan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Minggu, 10 November 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Wajah Ginardi mengkilap saat sinar matahari sore menerpanya. Langkahnya tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat. Dia berhenti sejenak untuk mencuci tangan di saluran irigasi. Air yang mengalir pada saluran itu cukup jernih.

Rumahnya tepat di seberang saluran irigasi tersebut, hanya dibatasi jalanan.

Di teras rumahnya, puluhan bahkan mungkin ratusan barang hasil kerajinan tergeletak. Mulai dari tikar hingga tas dan keranjang. Beberapa peralatan pembuat kerajinan pun tergeletak di situ, seperti gunting, palu, serta kayu untuk alas penganyaman.

Di halaman depan terdapat satu set alat pengeleman, terbuat dari tong bekas dibelah. Juga ada tempat pembersih, berisi hidrogen heroksida dan asam sulfat.

Di bagian belakang rumah, kondisinya tak jauh berbeda. Hasil kerajinan bertumpuk di sana, termasuk kerajinan dari bahan serat mendong yang dijadikan tempat cermin.

Ginardi mengaku telah 20 tahun memproduksi kerajinan tangan berbahan eceng gondok, tepatnya sejak 1999.

"Awalnya saya cuma garap pesanan orang, bukan untuk perusahaan. Mulai garap pesanan dari perusahaan itu sejak tahun 2000-an," tuturnya.

Eceng Gondok BantulGinardi bersama seorang pelanggan, memilih kerajinan tangan berbahan eceng gondok, Minggu, 10 November 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Bahan Baku

Mengenai bahan baku eceng gondok, Ginardi mendapatkannya dari luar Yogyakarta, yakni dari Demak dan Ambarawa.

Kata dia, di Yogyakarta sudah tidak ada lagi bahan baku. Kalaupun ada, kualitasnya tidak sebagus eceng dari Ambarawa atau Demak, karena eceng di Jogja berasal dari sungai kecil.

"Sing saking Ambarawa le njupuk teng Rawa Pening, niku paling sae soale luwih padet. Sing saking Demak menika nggih saking kali, tapi kan kaline ageng, dadi sering keno sinar matahari," ujarnya dalam Bahasa Jawa.

Artinya, "Kalau di Ambarawa dari Rawa Pening itu paling bagus karena eceng gondoknya padat. Kemudian ada juga yang dari Demak, itu juga dari sungai tapi kan sungainya besar, jadi sering terkena sinar matahari." 

Perbedaan eceng gondok dari Ambarawa dan Demak adalah bahan baku dari Demak lebih lemas, karena berasal dari sungai.

Untuk proses pembuatan, setelah eceng gondok diambil dari perairan, kemudian dipotong akarnya lalu dijemur di bawah terik matahari hingga kering. Penjemuran membutuhkan waktu minimal sepekan, jika matahari bersinar terik sepanjang hari.

Saat cuaca mendung, proses penjemuran bisa mencapai dua pekan, dan bisa lebih lama saat musim penghujan.

Eceng Gondok BantulGinardi menunjukkan cara membentuk kerajinan eceng gondok, Minggu, 10 November 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Setelah dijemur kemudian dianyam sesuai keinginan, bisa anyaman palitan atau lembaran. Khusus untuk anyaman lembaran, sebelum dianyam batang eceng gondok digilas atau di-press terlebih dahulu, dan dipilih yang lebarnya sama.

"Agar kalau digilas atau di-press lebarnya jadi sama. Khusus untuk anyaman lembaran harus di-press. Setelah itu baru dianyam bentuk lembaran. Setelah itu baru dilanjutkan dengan anyam palitan," bebernya.

Sementara, untuk jenis anyaman palitan, batang eceng gondok kering langsung dibentuk seperti kincir, kemudian dianyam hingga mencapai ukuran yang diinginkan.

Setelah penganyaman selesai, hasil kerajinan diolesi lem, lalu kembali dikeringkan. Jika sudah kering, hasil anyaman itu dibersihkan dan diawetkan menggunakan hidrogen peroksida dan HCl atau asam klorida.

Hasil kerajinan lain selain tikar atau karpet adalah lismet, keranjang, tempat pensil, tas, dan beberapa jenis lain.

Waktu yang dibutuhkan untuk menganyam keranjang tergantung keterampilan pembuatnya. Jika pembuatnya lincah, sehari bisa memproduksi 2 hingga 2,5 unit keranjang berukuran 40 x 30 x 23 sentimeter. Tapi yang belum lincah, paling banter bisa memproduksi satu unit.

"Dalam satu jam saya bisa membuat satu unit pismet diameter 38 sentimeter. Itu juga tergantung besar kecilnya anyaman. Kalau pemesan minta anyaman lembut, itu lebih lama," ujarnya.

Karena waktu yang dibutuhkan lebih lama, harga jual kerajinan yang anyamannya lebih kecil menjadi lebih mahal.

Harga kerajinan yang diproduksi mulai dari Rp 5.000 hingga Rp 240.000. Khusus untuk kerajinan karpet harganya Rp 150.000 per meter.

Eceng Gondok BantulEceng gondok yang akan dianyam, dibentuk menyerupai kincir, Minggu, 10 November 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Hapus Pengangguran

Usahanya memproduksi kerajinan berbahan dasar serat eceng gondok, bukan hanya mampu memberikan penghasilan pada Ginardi dan keluarga, tapi juga mengurangi jumlah pengangguran.

Kerajinan tangan buatannya dipasarkan hingga Bali, Jakarta, dan Sumatera. Sebagian juga dipasarkan di sekitaran Yogyakarta. Untuk memenuhi permintaan pasar tersebut, Ginardi merekrut puluhan tenaga kerja.

"Tenaga kerja dari sekitar sini ada sekitar 25-an, dari dekat Jalan Samas juga ada, dari Kulon Progo juga ada. Kalau saya ambil tenaga kerja dari daerah sini saja, tidak mencukupi untuk kejar target produksi. Jadi saya ambil dari daerah lain," ujarnya.

Di Kabupaten Kulon Progo ia mempunyai tiga kelompok perajin yang menyetor hasil produksi mereka pada Ginardi. Jumlah tenaga kerja yang digunakan di sana juga mencapai puluhan.

"Ada juga satu sub di Samas. Yang di Kulon Progo dan Samas, saya cuma kasih garapan tapi dikelola orang lain. Kalau tidak disub, saya kesulitan memenuhi pesanan pasar," tuturnya.

Ginardi memproduksi kerajinan tersebut berdasarkan pesanan atau permintaan, baik dari perorangan maupun perusahaan. Tapi saat ini dia mulai mengurangi pengiriman untuk perusahaan, dengan alasan perputaran uang yang lambat.

"Kalau di perusahaan, mereka bayar panjar 30 persen, tapi pelunasannya lama. Tetap saya garap, tapi saya kurangi jumlahnya," tuturnya.

Eceng Gondok BantulGinardi menganyam batang eceng gondok, Minggu, 10 November 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Selain eceng gondok, Ginardi juga memproduksi kerajinan berbahan baku serat mendong dan daun gebang. Khusus yang terbuat dari daun gebang, seluruh produksinya tidak dilakukan di tempatnya, karena Ginardi tidak mempunyai tenaga untuk itu.

"Itu saya sub karena saya tidak punya tenaga untuk kerajinan jenis itu. Sebenarnya banyak pesanan dari bahan baku serat lain, tapi waktu dan tenaganya tidak mencukupi. Jadi fokus pada eceng dan mendong," kata dia.

Sementara untuk kerajinan dari serat mendong, biasanya dibuat menjadi pelapis cermin dan keranjang.

Bahan baku serat mendong ia beli dari petani di daerah Minggir, Sleman, dengan harga Rp 65 ribu per ikat, dengan panjang 116 sentimeter. 

"Saya beli di Minggir, hitungannya bukan per kilo tapi per ikat," ujar Ginardi.

Eceng Gondok BantulTumpukan batang eceng gondok yang baru saja dijemur, Minggu, 10 November 2019. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Minimalisir Plastik

Produk kerajinan berbahan serat eceng gondok, khususnya tas dan keranjang, dinilai mampu mengurangi sampah plastik, seperti disampaikan seorang warga Yogyakarta, Astuti 40 tahun.

Astuti mengaku dirinya telah mengganti keranjang plastik dengan keranjang berbahan serat alami tersebut. Tujuannya agar penggunaan plastik bisa semakin dikurangi.

"Memang harganya agak lebih mahal, tapi kekuatannya lumayan. Saya juga pakai tas eceng gondok untuk wadah belanjaan. Ini kan alami, jadi mudah terurai," tuturnya.

Selain alami dan mudah terurai, menurutnya barang-barang kerajinan itu tampak lebih keren dan terkesan eksklusif.

"Enggak malu lah, Mas. Kan malah kelihatan lebih keren," kata Astuti. []

Baca cerita menarik lain:

Berita terkait
Sedotan Bambu Yogyakarta Tembus 4 Negara
Lembaran daun bambu berserak di halaman sebuah rumah di Dusun Gesik, Kasongan Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kenken, Burung Seharga Lebih Mahal dari Mobil Avanza
Belasan ekor burung beraneka warna itu terbang menuju langit biru. Satu di antaranya bernama Kenken, burung seharga lebih mahal dari mobil Avanza.
Legenda Genderuwo Ki Poleng dan Nyi Poleng di Sleman
Gunung Gamping yang angker di Sleman, dijaga dua genderuwo yaitu Ki Poleng dan Nyi Poleng. Mereka yang menyebabkan kematian Kyai dan Nyai Wirosuto.
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.