Dunia Kampus Diguncang Paham Radikal: Dosen USU, Dosen Undip, Siapa Lagi?

Dunia kampus diguncang paham radikal, dosen USU, dosen Undip. Apa jadinya mahasiswa dibawah bimbingan dosen yang cenderung memberi ruang pada paham radikal.
Himma Dewiyana Lubis Dosen Ilmu Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, dan Profesor Suteki Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. (Foto: Istimewa)

Jakarta, (Tagar 23/5/2018) - Profesor Suteki Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Semarang diduga mendukung organisasi terlarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Hari ini, Rabu (23/5) ia akan berhadapan dengan Dewan Kehormatan Kode Etik Undip.

Nuswantoro Dwiwarno, Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Humas Undip bahkan mengatakan bahwa bukan hanya Suteki yang diperiksa dalam sidang etik tersebut, tapi juga beberapa staf dosen lain terkait dugaan dukungan terhadap organisasi masyarakat (ormas) yang dibubarkan pemerintah itu. Namun Nuswantoro tidak menjelaskan nama-nama staf dosen yang ia maksudkan itu.

Suteki sempat viral atas unggahan-unggahannya di media sosial yang seolah mendukung sistem khilafah dan HTI. Di akun Facebook-nya Suteki sempat memposting komentar yang arahnya diduga membela HTI ketika ormas itu dibubarkan oleh Pemerintah, termasuk ketika terjadi rentetan aksi terorisme belakangan.

Sebelumnya Himma Dewiyana Lubis Dosen Ilmu Perpustakaan Universitas Sumatera Utara juga diduga terindikasi paham radikalis dengan pernyataannya di Facebook dengan mengatakan bahwa bom Surabaya adalah pengalihan isu yang sempurna.

Setelah postingannya itu viral, pihak penegak hukum yaitu tim kepolisian dari Mapolda Sumatera Utara menangkapnya, menahannya, memeriksanya, dan menetapkannya sebagai tersangka tindak pidana ujaran kebencian.

Suteki dan Himma sama-sama dosen, sama-sama pegawai negeri, tapi mempunyai pemikiran yang cenderung memberi ruang bagi perkembangan radikalisme terorisme, ancaman berbahaya bagi negeri ini.

Itu dosen. Bagaimana dengan mahasiswa? Apa jadinya mahasiswa dibawah bimbingan dosen-dosen dengan kualitas pemikiran seperti itu. Mereka bisa jadi hanya fenomena puncak gunung es, bagian kecil yang tampak di permukaan saja. Sangat bisa jadi masih banyak kalangan intelektual kampus yang terpapar paham radikal, mengacu pada temuan temuan Badan Intelijen Negara (BIN) mengenai paham radikal yang menyusup ke kampus-kampus di seluruh Indonesia.

Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal Pol (Purn) Budi Gunawan mengungkapkan hasil survei BIN pada 2017 yang menyebutkan 39 persen mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia telah terpapar paham-paham radikal. Sebanyak 24 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar tingkat SMA juga setuju dengan jihad untuk tegaknya negara Islam atau khilafah.

Riset BIN tersebut berbanding lurus dengan survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang menunjukkan bahwa saat ini radikalisme telah merambah dunia mahasiswa.

"Terdapat peningkatan pemahaman konservatif atau fundamentalisme keagamaan yang sejalan dengan hasil survei Mata Air Foundation dan Alvara Research Center," ujar Budi Gunawan saat memberi kuliah umum dihadapan ratusan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi dibawah naungan Nahdlatul Ulama di kampus Universitas Wahid Hasyim Semarang (Unwahas), Jawa Tengah, Sabtu 28 April 2018.

Budi mengatakan kampus merupakan target tempat untuk tumbuh dan berkembangnya paham radikal yang kemudian menghasilkan bibit pelaku terorisme yang baru.

Ia mencotohkan Bahrun Naim, pelaku teror bom Sarinah di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Januari 2016 lalu. Bahrun Naim seorang pemuda yang mulai melibatkan diri dalam gerakan radikal sejak ia kuliah di Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

"Kondisi-kondisi ini tentu menegaskan bahwa lingkungan kampus telah menjadi tempat atau target kelompok radikal untuk mengekspansi ide, ideologi dan mem-brain wash, juga memobilisasi calon-calon teroris yang baru," katanya.

Budi juga mengatakan sejumlah kampus di 15 provinsi di Tanah Air ditengarai kuat menjadi basis calon-calon pelaku teror baru dari kalangan mahasiswa.

"Ada 15 provinsi yang jadi perhatian kami dan ini terus kami amati pergerakannya. Dari 15 provinsi ini ada tiga perguruan tinggi yang sangat menjadi perhatian kami karena kondisinya sudah dijadikan tempat atau basis penyebaran paham-paham radikal," ujarnya. (af)

Berita terkait