DPR Bahas RUU Minol, Peneliti: Lebih Baik Awasi Peredaran Daring

Ekonom menyarankan pemerintah fokus terhadap peraturan yang belum menyentuh penjualan dan pengawasan dari minuman beralkohol secara daring
Ilustrasi Minuman Beralkohol. (Foto:Tagar/Pixabay)

Jakarta - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Pingkan Audrine Kosijungan menyarankan pemerintah lebih baik fokus terhadap peraturan yang belum menyentuh penjualan dan pengawasan dari minuman beralkohol secara daring atau online.

Hal itu menanggapi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang tengah membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Larangan Minuman Beralkohol. 

“Inisiatif untuk membuat peraturan perlu memperhatikan perkembangan dari objek yang diatur di dalamnya. Sekarang minuman beralkohol tidak hanya dipasarkan secara langsung tetapi juga lewat daring," kata Pingkan dalam keterangan tertulis yang diterima Tagar, Jumat, 13 November 2020.

Pemerintah perlu memperhatikan hal ini, seperti soal mekanisme pengawasannya dan mengatur sanksi bagi pelanggar.

Baca juga: Peminum Dibui 2 Tahun atau Denda Rp 50 Juta di RUU Alkohol

Transaksi e-commerce, kata Pingkan, tentu memiliki karakteristik yang berbeda dengan transaksi secara langsung. Ini menjadi hal penting yang harus diperhatikan.

"Pemerintah perlu memperhatikan hal ini, seperti soal mekanisme pengawasannya dan mengatur sanksi bagi pelanggar,” ucapnya.

Pemerintah, kata dia, perlu mengkonsiderasi aspek ini jika memang tujuan dari RUU Minol untuk melengkapi yang sudah ada. Menurutnya, RUU tersebut tidak tepat sasaran dengan kondisi yang terjadi di lapangan, baik naskah akademik maupun materi presentasi Baleg terkait RUU Minol.

Berdasarkan klaim dari Baleg DPR dan Naskah Akademik per tahun 2014 yang dijadikan landasan perumusan RUU Minol, setidaknya ada empat aspek yang dijadikan justifikasi aturan tersebut perlu segera disahkan. Keempat aspek tersebut yakni perspektif filosofis, sosial, yuridis, formal, dan upaya pengembangan hukum.

Pertama, terkait aspek filosofis, dalam fraksi yang mengusulkan dan mengklaim bahwa larangan minuman beralkohol merupakan komoditas yang secara legal bisa dikonsumsi dan diperjualbelikan di Indonesia seturut dengan peraturan yang berlaku. Tidak ada larangan yang secara eksplisit mengatakan bahwa minuman beralkohol bertentangan dengan konstitusi.

Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2014, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 72 Tahun 2014 hingga Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25 Tahun 2019 juga memberikan payung hukum untuk pembatasan dan pengawasan dari minuman beralkohol di tanah air. 

Menurut Pingkan, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 201 juga telah ditegaskan bahwa minuman beralkohol merupakan komoditas yang diperdagangkan dan berada dalam pengawasan.

“Selain itu, rasanya kurang tepat jika sebagai negara hukum, Indonesia masih memberlakukan peraturan perundang-undangan yang cenderung mengabaikan aspek pluralitas keagamaan di Indonesia,” ujar Pingkan.

Kedua, kata dia, terkait dengan aspek sosial yang disampaikan oleh fraksi pengusul juga terlihat mengabaikan situasi empiris. Padahal, konsumsi minuman beralkohol di Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan negara lain, dan itu pun masih didominasi oleh minuman beralkohol tidak tercatat atau ilegal.

Beberapa penelitian CIPS terdahulu telah menyoroti masalah apa saja yang sebenarnya memiliki tingkat urgensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan klaim generalisasi yang dikeluarkan oleh fraksi pengusul RUU Minol. 

Penelitian dari Uddarojat, 2016; Respatiadi & Tandra, 2018; dan Glorya & Sigit, 2019 secara konsisten menemukan bahwa total konsumsi alkohol tercatat dan tidak tercatat di Indonesia pada tahun 2016 tergolong rendah yaitu 0,8 liter per kapita, dibandingkan dengan Thailand dengan 8,3 liter, yang merupakan tertinggi di kawasan Asia Tenggara.

Permasalahannya bukan pada tingkat konsumsi alkohol masyarakat melainkan tingkat konsumsi alkohol illegal atau yang seringkali dikenal dengan oplosan. Menurut data WHO, di Indonesia, konsumsi alkohol tidak tercatat atau ilegal lebih tinggi daripada yang tercatat, masing-masing sebesar 0,5 liter per kapita dan 0,3 liter per kapita.

Baca juga: YLBHI Sebut DPR Hanya Perlu Mengatur Sasaran Minuman Alkohol

Maraknya konsumsi oplosan bukan tanpa sebab. Menurut dia peraturan mengenai minuman beralkohol di Indonesia sangat banyak jumlahnya. 

"Baik pusat maupun daerah memiliki aturan masing-masing, yang seringkali justru bertentangan dan menimbulkan ketidakpastian hukum,” kata Pingkan.

Terakhir, menggabungkan poin ketiga dan keempat mengenai aspek yuridis formal dan perkembangan peraturan, fraksi pengusul menyoroti KUHP yang dianggap tidak relevan. Terkait dengan hal ini, seharunya direfleksikan kembali apakah aturannya yang masih kurang atau penegakkan hukumnya yang belum optimal.

“Membuat aturan tidak akan menyelesaikan masalah jika tidak didasari oleh fakta-fakta yang terjadi di lapangan,” ucapnya.

Sehingga, demi mencapai tujuan dari proses perumusan RUU ini, kata Pingkan, sebaiknya fraksi pengusul dan Baleg DPR RI meninjau kembali aspek urgensi yang digaungkan. Selain itu, dibukanya ruang untuk proses harmonisasi substansi legislasi ini menjadi lebih dinamis dan akuntabel agar undang-undang lebih efektif. []

Berita terkait
Efek RUU Minol Tidak Terlalu Signifikan Terhadap Penjualan
Efek RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol (Minol) terhadap penjualan dinilai tidak signifikan.
RUU Mirol, Seberapa Besar Pendapatan Cukai dari Miras
Minuman keras (miras) menjadi perbincangan publik setelah Baleg DPR telah menerima RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol (Minol).
RUU Minol Justru Berpotensi Tingkatkan Minuman Alkohol Ilegal
RUU Minuman Beralkohol memicu timbulnya potensi meningkatkan produksi minuman alkohol yang ilegal.
0
Anak Elon Musk Mau Mengganti Nama
Anak CEO Tesla dan SpaceX, Elon Musk, telah mengajukan permintaan untuk mengubah namanya sesuai dengan identitas gender barunya