Dosen dan Mahasiswa Radikal, Perlu Dipukul atau Dirangkul?

Sikap yang masih coba merangkul paham radikal yang bersemayam di benak para teknokrat itu mungkin punya dasar tersendiri. Mesti dihargai, namun wajib cepat diakhiri.
Sikap yang masih coba merangkul paham radikal yang bersemayam di benak para teknokrat itu mungkin punya dasar tersendiri. Mesti dihargai, namun wajib cepat diakhiri. (Gilang)

Jakarta, (Tagar 8/5/2018) – Viralnya empat pernyataan dosen dari dua universitas negeri di Jawa Timur, Universitas Airlangga (Unair) dan Institut Teknologi (ITS) Surabaya,  terkait putusan PTUN Jakarta Timur yang menolak gugatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Senin (7/5) kemarin, sangat menghentak dan menghebohkan dunia maya Indonesia.

Pernyataan mereka yang mengecam pemerintah dan malah mendukung HTI, justru kontraproduktif dengan upaya pemerintah menghilangkan paham radikal yang berkembang pesat di civitas akademika di Indonesia.
Percaya satu paham, tentu tak bisa dilarang. Itu adalah bentuk hak asasi manusia yang bebas dan merdeka. Namun, jika paham yang diyakini itu bertentangan dengan kesepakatan pendirian satu negara, tentunya sulit diterima akal sehat.

Apa pun dalihnya, kesepakatan founding fathers republik ini mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia tentu sudah didasari aturan agama dan keyakinan yang  mengikat masing-masing person saat itu. Dan mereka, para founding fathers leluhur bangsa ini bersepakat untuk meninggalkan sekat agama dan melebur membentuk nasionalisme yang kuat. Kesepakatan itulah yang menjadikan negara ini tak berlandaskan atau berdasarkan agama tertentu.

Tahun lalu, di Juli 2017, Menteri Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi, Mohamad Nasir, menyatakan, penindakan terhadap dosen atau mahasiswa yang terindikasi radikal dan pendukung HTI, diserahkan sepenuhnya kepada rektor masing-masing perguruan tinggi.

Penindakan, jelas Menteri Ristekdikti, ada di tangan rektor dulu. “Kita tidak bisa menindak langsung,” jelas Mohamad Nasir saat itu di Bandung. Rektor, tambah Menteri, memiliki otoritas di kampus sebagaimana tercantum dalam PP Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri. “Di situ ada pasal tentang sanksi bagi PNS yang menentang Pancasila dan UUD 1945,” tegasnya.

Ambiguitas Perguruan Tinggi
Walau Menteri menyatakan adanya aturan tegas tentang PNS tersebut, namun sikap yang diambil pimpinan Perguruan Tinggi tak semuanya seragam. Ada rektor yang mengancam bersikap tegas, namun ada pula yang menyatakan akan memanggil dan meminta keterangan dari dosennya yang terindikasi menganut paham radikal.

Rektor Institut Seni Indonesia (ISI), Agus Burhan, adalah satu rektor yang bersikap tegas akan menindak dosennya yang aktif menjalankan pandangan radikalnya.

Rektor Universitas Gajah Mada, Panut Mulyono, akan mengundang dosen-dosen yang diduga terindikasi HTI. “Kami akan lihat dulu,” katannya, walau kelak akan mengambil kebijakan sesuai aturan pemerintah.

Dari dua pernyataan pimpinan universitas di atas, terlihat jelas sikap gamang di civitas akademika. Ada yang ingin tegas dan langsung, namun ada yang masih mencoba bersikap persuasif.

Sejatinya, sikap yang bertentangan dengan dasar negara, mesti diklasifikasikan sebagai pengkhianatan atas dasar dan bentuk negara itu sendiri. Jika pengkhianatan masalahnya, tentu sikap yang harus diambil pun harus sangat tegas, pukul habis.

Sikap yang masih coba merangkul paham radikal yang bersemayam di benak para teknokrat itu mungkin punya dasar tersendiri. Mesti dihargai, namun wajib cepat diakhiri.

Apa pun alasannya, radikalisme agama tak bisa dibiarkan masuk dan meracuni dunia pendidikan di negeri ini. Warning dari Badan Intelijen Negara tentang jumlah dan nama-nama perguruan tinggi yang disusupi paham HTI, tentu tak bisa hanya jadi catatan, tanpa penyelesaian. (rif)


Berita terkait
0
Daging Kurban Jadi Rendang Padang Lezat, Ini Caranya
Daging kurban jadi rendang Padang lezat, ini caranya. Ikuti kuncinya juga langkah-langkah secara terperinci.