Diperkiran Defisit Rp 21 Triliun, Indef: Berdampak bagi BI

Neraca keuangan Bank Indonesia (BI) yang diperkirakan akan mengalami defisit tetap akan berdampak bagi bank sentral itu sendiri.
Ilustrasi gedung Bank Indonesia. (Foto: Yahoo.com).

Jakarta - Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto menilai neraca keuangan Bank Indonesia (BI) yang diperkirkan akan mengalami defisit di tahun 2021 sebesar Rp 21 triliun karena skema pembagian beban atau burden sharing antara BI dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) merupakan hal wajar. Namun, hal ini juga tetap akan berdampak bagi bank sentral itu tersendiri.

"Secara umum sejauh ini neraca keuangan BI kan seringnya surplus beberapa tahun terakhir. Kalau kemudian posisinya jadi negatif ya memang pasti ada impact-nya sekecil apa pun kepada Bank Indonesia secara aspek kredibilitas," kata Eko saat dihubungi Tagar, Selasa, 29 September 2020.

Kalau burden sharing berkelanjutan ke depan bisa membuat orang berspekulasi dengan nilai tukar.

Menurut Eko, bagaimana pun ketika defisit, BI tetap menanggung beban. Dengan demikian, penting untuk BI menyampaikan proyeksi defisit atau tidak di tahun 2020.

"Saya rasa tetap ada dampaknya, memang kalau terus-menerus defisit, itu bagaimanapun kok bank sentral defisit, lah terus minta tolong ke siapa? Walaupun sebetulnya ini agak berbeda cara menghitungnya untuk istilahnya posisi ini 2021, harusnya BI perlu menyampaikan kira-kira surplus tahun ini. Sebenarnya ketika ada proyeksi defisit di 2021, harus ada juga proyeksi di 2020-nya defisit atau tidak," ucap Eko.

Menurutnya, kalau burden sharing berkelanjutan ke depan bisa membuat orang berspekulasi dengan nilai tukar. "Kalau spekulan, investor mungkin mereka akan berhitung kalau rupiahnya kemungkinan nanti ke depan cenderung lebih fluktuatif, kenapa bisa? Karena kebutuhan BI untuk melakukan operasi moneter menjadi lebih sering, maksudnya potensi untuk melakukan intervensi rupiah itu jadi lebih sering," tutur Eko.

Untuk itu, kata Eko, penting mempertimbangkan solusi agar kebijakan burden sharing tidak terus digeber dan tidak membebani BI secara terus-menerus. Burden sharing harus ada cut off-nya meski tahun ini mungkin masih dimaklumi para investor karena adanya Covid-19.

"Tapi kalau untuk tahun depan nilainya sama dengan tahun ini, saya rasa investor akan berkalkulasi ulang terkait kemampuan BI, walaupun tetap nanti akan dilihat cadangan devisanya," kata Eko.

Sebab, menurut Eko, ketika BI defisit risiko reputasinya besar, karena tidak semua investor mengerti teori bagaimana laporan keuangan BI. Namun, misalkan Rp 21 triliun ini hanya sekali cut off karena penanganan Covid-19, tidak akan menjadi isu besar bagi BI. []

Berita terkait
Pengamat: Tak Ada Urgensi Revisi UU Bank Indonesia
Perubahan Undang-Undang Bank Indonesia dinilai tidak bersifat mendesak mengingat kondisi ekonomi yang cukup tertekan saat ini
Bank Indonesia Sebut Tidak Ada Konten AR pada Uang Rp 75.000
Di media sosial beredar kabar tentang konten augmented reality (AR) pada uang kertas pecahan Rp 75.000 yang memunculkan video lagu Indonesia Raya
Buka Bisnis, Indef: Sesuaikan Karakteristik Masyarakat
Peneliti Indef Media Wahyudi Askar menilai bisnis yang bisa dikembangkan di tengah pandemi perlu disesuaikan dengan karakteristik masyarakat.