Dilema Perombakan Kurikulum 2013

Presiden Joko Widodo meminta Menteri Pendidikan Nadiem Makarim merombak Kurikulum. Gagasan baik tapi dengan sejumlah catatan.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim. (Foto: Instagram/@kemdikbud.ri)

Oleh: Ki Darmaningtyas

Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim untuk merombak Kurikulum. Tentu saja kurikulum yang dimaksudkan adalah kurikulum untuk tingkat SD, SMP, SMA, dan SMK, karena kalau pendidikan tinggi kurikulumnya beragam sesuai dengan jumlah fakultas dan program studi (Prodi). Dan sejak reformasi politik 1998 pada tingkat perguruan tinggi (PT) juga sudah diperkenalkan dengan konsep kurikulum nasional (Kurnas) dan Kurikulum PT. Yang Kurnas memang wajib diikuti oleh semua PT; tapi yang di luar Kurnas PT yang bersangkutan dapat mengembangkannya sendiri.

Permintaan Presiden Jokowi kepada Menteri Nadiem Makarim itu menimbulkan kegembiraan tapi sekaligus kesedihan. Gembira karena sejak tersusunnya Kurikulum 2013 itu saya sudah menyatakan ke publik melalui beberapa tulisan dan wawancara dengan para jurnalis, agar Kurikulum 2013 tidak diimplementasikan terlebih dulu karena memang buruk.

Pada saat Jokowi resmi terpilih menjadi Presiden 2014-2019, melalui Tim Transisi Revolusi Mental saya menyampaikan masukan agar Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla perlu menunda pelaksanaan Kurikulum 2013, sambil menunggu direvisi. Penundaan ini tidak akan mengacaukan proses pendidikan di lapangan, karena de facto sampai saat itu (2014) semua sekolah masih menerapkan Kurikulum 2006 (KTSP = Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), kecuali sekolah-sekolah yang ditunjuk menjadi pilot project implementasi Kurikulum 2013.

Pada tanggal 21 Oktober 2016 saya kembali menulis masukan kepada Presiden Jokowi. Poin kedua 2 dalam masukan saya itu berjudul “Merombak Kurikulum”.

Ada dua alasan yang saya kemukakan pada saat itu, bahwa Kurikulum 2013 mutlak perlu direvisi. Pertama, kurikulum ini penuh dengan kontradiktif antara gagasan besarnya dengan konsep turunannya. Dalam banyak kesempatan saya katakan bahwa Kurikulum 2013 dapat mengantarkan bangsa Indonesia ke masyarakat theokrasi (Negara Ketuhanan) karena selain adanya penambahan jam pelajar agama (di SD dari 2 menjadi 4 jam pelajaran seminggu dan SMP-SMTA dari 2 menjadi 3 jam pelajaran seminggu), juga adanya konsep Kompetensi Inti (KI) yang menaungi pada setiap mata pelajaran, yang kemudian diturunkan dalam bentuk kompetensi dasar (KD), sehingga membuat rancu arah setiap mata pelajaran atau bahkan terasa lucu ketika pelajaran Matematika/Fisika dikaitkan dengan keyakinan beragama. Kompetensi Inti (KI) yang diintrodusir oleh Prof. Dr. Alkaf (Guru Besar ITS yang menjadi staf ahli Mendikbud M. Nuh saat itu) mengkaitkan setiap bidang pelajaran dengan keyakinan keagamaan atau yang biasa saya sebut proses agamanisasi kurikulum.

Alasan kedua permohonan penundaan adalah Kurikulum 2013 ini mundur dilihat dari otonomi daerah karena tidak memberi ruang sama sekali pada daerah seperti yang ada dalam Kurikulum 1984 dan 1994 yang mencantumkan muatan lokal sebesar 20%, padahal penyelenggaran pendidikan dasar dan menengah sudah dilimpahkan ke daerah.

Memang daerah diberi kewenangan untuk menambah jam pelajaran, tapi secara matematis itu tidak memungkinkan terjadi mengingat beban kurikulum nasional sudah sangat berat. Oleh karena itu, demi memujudkan manusia Indonesa yang menghargai keragaman dan menjaga kesimbangan antara nasional dengan daerah (aspek lokalitas), Kurikulum 2013 itu mutlak perlu direvisi.

Upaya Merevisi Kurikulum

Langkah yang diambil oleh Mendikbud Anies Baswedan dengan menunda pelaksanaan Kurikulum 2013 secara nasional dan sekaligus melakukan revisi terhadap kurikulum tersebut sebetulnya sudah tepat. Sayang, dalam perjalanannya Menteri Anies Baswedan digantikan oleh Muhadjir Effendi dan Mendikbud yang baru ini mengimplementasikan Kurikulum 2013 secara nasional, sehingga upaya merevisi yang dilakukan oleh Menteri Anies Baswedan jadi sia-sia.

Sekarang, Presiden Jokowi meminta kurikulum tersebut untuk dirombak. Atas permintaan tersebut di satu sisi saya senang karena apa yang saya suarakan dulu ternyata memiliki kebenaran. Namun saya juga sedih karena perintah itu datang terlambat ketika semua proses implementasi Kurikulum 2013 sudah dilalui, seperti Diklat para guru, pengadaan buku, dan proses pembelajaran dengan Kurikulum 2013 itu sendiri. Akankah proses yang sudah mendekati 100% itu tiba-tiba dihentikan di tengah jalan?

Merombak kurikulum yang sedang mulai dilaksanakan jelas cost-nya sangat mahal, jauh lebih mahal bila dibandingkan dengan menunda pelaksanaan terlebih dulu untuk dilakukan revisi. Cost di sini bukan hanya dalam bentuk material saja untuk mencetak buku-buku paket dan melatih guru, tapi juga mental anak yang betul-betul menjadi kelinci percobaan. Seandainya suara saya sejak awal mendapat perhatian, lalu Presiden Jokowi meminta kepada Mendikbud Muhadjir Effendi untuk menunda implementasi Kurikulum 2013 secara nasional guna dilakukan evaluasi, tentu cost-nya jauh lebih murah, karena murid yang sudah mengalami proses pembelajaran dengan menggunakan Kurikulum 2013 masih terbatas, hanya mereka yang menjadi wilayah uji coba Kurikulum 2013 saja, selebihnya masih menggunakan Kurikulum 2006 atau yang popular disebut KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Namun sekarang ini semua jenjang (SD, SMP, SMA, dan SMK) dan semua kelas (Kelas I-VI SD, I-III SMP, dan Kelas I-III SMA/SMK) telah melaksanakan Kurikulum 2013, tiba-tiba harus dihentikan di tengah jalan karena harus dirombak total. Sulit menghindarkan munculnya pomeo lama bahwa “ganti menteri ganti kurikulum”. Inilah dilemma yang terjadi bila dilakukan perombakan Kurikulum 2013. Bila dilanjutkan, kurikulumnya memang buruk, tapi kalau dirombak sekarang cost-nya amat besar.

Gagasan yang Bagus

Sebagai orang yang terlibat langsung dalam penyusunan Kurikulum 2013, yaitu sebagai Tim Teknis yang turut menjabarkan gagasan-gagasan besar dalam konsep kurikulum yang ada sekarang, gagasan besar perubahan kurikulum dari KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) menjadi Kurikulum 2013 sebetulnya bagus sekali. Gagasan tersebut didasarkan pada pemahaman terhadap Kerangka Kompetensi Abad ke-21 yang mengalami perubahan, yaitu dari kehidupan dan karir menjadi lebih fleksibel dan adaptif, berinisiatif dan mandiri, keterampilan sosial dan budaya, produktif dan akuntabel, menuntut kepemimpinan dan tanggung jawab yang tinggi.

Oleh karena itu menuntut proses pembelajaran dan inovasi yang lebih kreatif dan inovatif, berfikir kritis, menyelesaikan masalah, serta komunikatif dan kolaboratif. Pada Abad Ke-21 juga informasi, media and teknologi memerankan peran penting dalam kehidupan sehari-hari sehingga melek informasi, melek media, dan melek teknologi informasi serta komputer merupakan keniscayaan yang harus dimiliki oleh anak-anak kita.

Berdasarkan kerangka kompetensi abad ke-21 tersebut, berpengetahuan (melalui core subjects) saja dirasakan tidak cukup, harus dilengkapi dengan berkemampuan kreatif, kritis, dan berkarakter kuat (bertanggung jawab, sosial, toleran, produktif, dan adaptif). Disamping itu didukung dengan kemampuan memanfaatkan informasi dan berkomunikasi secara tepat.

Atas dasar landasan berfikir seperti itulah perlu merumuskan kurikulum berbasis proses pembelajaran yang mengedepankan pengalaman personal melalui proses mengamati (observing), menanya (questioning), menalar (associating), dan mencoba (observation based learning) untuk meningkatkan kreativitas peserta didik. Di samping itu, murid juga dibiasakan untuk bekerja dalam jejaringan melalui collaborative learning, serta belajar membangun jaringan (networking). Itulah landasan berfikir yang dapat kita jumpai dalam dokumen Kurikulum 2013.

Bila kita mencermati landasan berfikir penyusunan Kurikulum 2013, sebetulnya amat bagus dan telah merespon perkembangan dunia yang muncul pada Abad Ke-21. Sayang, landasan berfikir yang bagus itu tereduksi oleh pandangan yang normatif-dogmatik (agamanisasi kurikulum), sehingga melahirkan konsep kurikulum yang penuh kontradiktif. Ingin melahirkan generasi yang kritis, kreatif, dan inovatif; tapi pandangan yang normative-dogmatik amat dominan, baik dengan penambahan jam mata pelajaran agama maupun adanya Kompetensi Inti (KI) yang harus diturunkan dalam Kompetensi Dasar (KD) pada setiap mata pelajaran.

Di mana pun di dunia ini, sikap kritis, kreatif, dan inovatif itu tumbuh hanya pada masyarakat yang memiliki kebebasan berfikir dan bersikap. Musykil sikap kritis, kreatif, dan inovatif muncul pada masyarakat yang didominasi oleh pola pikir yang normatif dan dogmatik karena dengan cepat mereka akan dihakimi sebagai melanggar norma. Inilah kontradiksi yang ada dalam Kurikulum 2013: inginnya melahirkan manusia-manusia yang kritis, kreatif, dan inovatif untuk menyambut Abad Ke-21, tapi landasan berfikir normatif-dogmatik justru amat dominan.

Proses agamanisasi inilah yang mendegradasi Kurikulum 2013 dari obsesinya untuk melahirkan manusia yang kritis, kreatif, dan inovatif menjadi manusia yang berfikir dan bersikap normatif-dogmatik, sehingga apabila dilanjutkan, Kurikulum 2013 justru dapat mengantarkan masyarakat Indonesia masuk ke abad kegelapan, seperti yang pernah terjadi pada Eropa masa lalu. Itulah sebabnya sejak awal saya menyarankan dan terus berjuang melalui berbagai cara agar Kurikulum 2013 tidak diimplementasikan lebih dulu sebelum ada revisi.

Pembaca awam tentu banyak yang tidak tahu, seperti apa kerancuan dan kelucuan keberadaan Kompetensi Inti (KI) yang diturunkan ke dalam Kompetensi Dasar (KD) tersebut.

Ambil contoh rumusan KI 1 dan KD 1 pada mata pelajaran IPA untuk Kelas V SD (rumusan asli). Kompetensi Inti: “Menerima, menghargai, dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya”, sedangkan KD-nya berbunyi : “Bertambah keimanannya dengan menyadari hubungan keteraturan dan kompleksitas alam dan jagad raya terhadap kebesaran Tuhan yang menciptakannya, serta mewujudkannya dalam pengamalan ajaran agama yang dianutnya”.

Ambil contoh yang lain, misalnya KI dan KD Kelas III SMK Seni. Rumusan KI untuk Mata Pelajaran Tari berbunyi : “Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya”. Sedangkan rumus KD-nya berbunyi : “Menunjukkan sikap penghayatan dan pengamalan serta bangga terhadap karya seni tari sebagai bentuk rasa syukur terhadap anugerah Tuhan”.

Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) itu terbagi menjadi empat, yaitu KI/KD 1 menyangkut hubungan bvertikal manusai dengan Sang Pencipta, KI/KD 2 menyangkut hubungan horizontal, KI/KD 3 terkait dengan ketrampilan, dan KI/KD 4 terkait dengan sikap. Keberadaan KI yang harus diturunkan secara linier kedalam KD itulah yang membuat Kurikulum 2013 ini tidak jelas arahnya.

Pembaca tentu bingung ketika membaca dua contoh rumusan KI dan KD di SD dan SMK tersebut, apakah itu pelajaran agama atau pelajaran IPA dan Seni Tari? Ketidak-jelasan orientasi Kurikulum 2013 itulah yang sejak awal saya ingatkan untuk tidak buru-buru dilaksanakan sebelum ada revisi.

Tapi nasi telah jadi bubur, dan sekarang Presiden Jokowi menghendaki agar dikembalikan menjadi nasi lagi. Memang bisa, tapi bubur itu harus dibuang dan membuat nasi baru dengan cost yang amat besar, terutama murid dan guru yang harus menjalani sebagai kelinci percobaan. []

Penulis adalah aktivis pendidikan di Tamansiswa

Berita terkait
Musim PK Koruptor Telah Tiba
Mahkamah Agung mengurangi hukuman para koruptor. Pengajuan PK makin banyak setelah hakim Artidjo Alkostas pensiun. Opini Lestantya R. Baskoro
Mutu Pendidikan di Sumbar Diklaim Masih Kurang
Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Sumatera Barat menilai mutu pendidikan di Sumbar masih kurang.
Nadiem Makarim Sebut Guru Honorer Kewenangan Pemda
Jujur saya terkejut bagaikan disambar petir, mendengar Mendikbud Nadiem Makarim bilang guru honorer kewenangan Pemda. Masalahnya bukan di situ.
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.