Difabel Penjual Masker di Bogor, Tak Pulang Sebelum Ada Uang

Seorang difabel buta, Rinawati, 44 tahun, berdagang masker di Stasiun Bojong Gede, Bogor. Dia punya prinsip pantang pulang sebelum dapat uang.
Rinawati, 44 tahun, seorang difabel buta yang menjual masker dan tisu di Stasiun Bojong Gede, Bogor. (Foto: Tagar/Nabila Tsania)

Bogor- Klakson kereta api berteriak dari kejauhan, suaranya nyaring menusuk gendang telinga siapa saja yang ada di stasiun. Perlahan suara mesinnya terdengar mendekat, menandakan kereta siap menaik dan turunkan penumpang.

Terdengar seorang pria mewartakan jalur yang akan dilintasi kereta itu melalui pengeras suara. Beberapa orang terlihat berlarian sekuat tenaga mengejar kereta yang melesat cepat dari arah selatan Stasiun Bojong Gede.

Langit sore itu, Selasa 22 Desember 2020 nampak biru dan cerah, padahal sebelumnya hujan turun dengan amat deras. Banyak orang yang memicingkan mata mereka atau sesekali menutupi area mata dengan telapak tangannya, berlindung dari semburat mentari yang menyilaukan mata. Ada juga yang mengibas-ibaskan tangannya untuk mengurangi rasa gerah.

Derap alas kaki para penumpang kereta terdengar di antara suara mesin dan stasiun yang mendadak ramai. Para pedagang kaki lima, tukang ojek, sopir angkot, serta tukang becak yang tadi hampir terlelap segera bangun berlomba menawarkan jasanya kepada penumpang yang dating.

Tak jauh dari pintu masuk stasiun, seorang wanita berbalut hijab warna kuning dengan masker kain berwarna biru yang melekat di wajahnya turut menawarkan barang dagangnya. “Ayo, Bu, Pak silakan pilih masker dan tisunya, hanya Rp 2.500,” teriak wanita itu menaruh asa pada penumpang kereta yang berdatangan.

Rinawati, nama wanita itu. Dia duduk di sebuah kursi plastik membelakangi rel kereta. Kotak peti bekas yang terbuat dari kayu dijadikan alas untuk meletakkan barang dagangannya, yaitu masker dan tisu nan tersusun rapi dalam keranjang berwarna hijau dan merah.

Cerita tuna netra penjual tisu (2)Suasana pintu masuk Stasiun Bojong Gede, Kecamatan Bojong Gede, Kabupaten Bogor terlihat cerah setelah diguyur hujan. (Foto: Tagar/Nabila Tsania)

Sebuah payung berwarna biru dan ungu dengan motif bunga yang diikat pada tiang dari sambungan bambu dan pipa, menjadi satu-satunya pelindung Rina dari terik matahari dan derasnya hujan.

Menjadi Guru SLB

Keterbatasan biaya menjadi penyebab utama Rina mengalami kebutaan sejak usianya menginjak 7 bulan. Dia bukan berasal dari latar belakang keluarga berada. Saat masih bayi, dia terdiagnosa terkena penyakit campak. Orang tuanya tak memiliki biaya untuk membawanya ke rumah sakit, sehingga terjadi komplikasi yang menyerang indera penglihatan Rina.

Hidup sebagai tunanetra, bukan penghalang baginya untuk tetap semangat menggapai impiannya. Dia punya semangat sekeras baja dengan keterbatasannya.

Saya tidak terganggu dengan kondisi seperti ini, saya tetap berusaha untuk mencapai impian saya. Hidup saya harus tetap berjalan normal meskipun secara fisik saya tidak.

Kekurangan yang dimilikinya, tak membuat dirinya malu bersosialisasi dengan masyarakat. Wanita yang berasal dari Sumatera Barat ini berhasil menyelesaikan pendidikan sarjananya.

Awalnya, keputusan Rina untuk meneruskan pendidikan tak disetujui oleh orang tuanya. “Orang cacat begini, ngapain lanjut kuliah,” kata Rina mengulang ucapan yang pernah dilontarkan orang tuanya dahulu.

Bukan hal yang mudah bagi Rina untuk membujuk orang tuanya agar mengizinkan dia melanjutkan pendidikan. Orang tuanya ragu akan keadaannya yang seperti itu, tetapi akhirnya dia berhasil meyakinkan mereka bahwa dia bisa. Mereka pun percaya dan mendukungnya untuk melanjutkan pendidikan.

Setelah lulus sarjana, dia memutuskan untuk bekerja. Namun, suaminya tidak setuju kalau dia bekerja. Dia pun mengikuti kemauan suaminya untuk tidak bekerja. 

Sayangnya, usia pernikahan Rina tak berlangsung lama. Banyak perbedaan pendapat dan ketidakcocokan antara keduanya, sehingga mereka memilih untuk bercerai. Dari pernikahannya tersebut, Rina memiliki dua orang anak perempuan yang kini ikut tinggal dengannya.

Rina memutuskan untuk meninggalkan kota kelahirannya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat dan mencari pekerjaan ke Jawa Barat. Menurutnya, lapangan pekerjaan di Sumatera Barat tidak seluas di Pulau Jawa. “Sempat coba dagang, tapi di sana sepi, kalau di sini kan ramai,” katanya.

Dia dan kedua anaknya tinggal di sebuah rumah kontrakan sederhana, dekat Stasiun Bojong Gede. Tak lama kemudian, dia mendapatkan pekerjaan sebagai seorang guru di Sekolah Luar Biasa (SLB) di kawasan Cileungsi.

Selama mengajar, dia mengaku tak merasa kesulitan saat mengajar anak yang kondisinya sama seperti dirinya. Tetapi, ketika dia mengajar anak yang memiliki keterbelakangan mental, dia merasa sedikit kesulitan.

“Saya pernah lagi ngajar, tiba-tiba mereka keluar ninggalin kelas dan mereka makanannya sangat dijaga, ketika orang-orang membutuhkan makanan yang bergizi, mereka tidak boleh terlalu banyak mengonsumsi makanan tersebut,” ujar Rina menceritakan pengalaman saat mengajar di SLB.

Menurutnya, walaupun mereka memiliki keterbelakangan mental, mereka sangat cerdas dan memiliki hati yang besar. Saat ada salah satu murid yang meninggalkan kelas secara tiba-tiba, mereka langsung memberi tahu Rina kalau ada muridnya yang meninggalkan kelas.

Sifat Rina yang senang bergaul dengan masyarakat juga terhalang oleh peraturan sekolah yang sangat mengikat.

Cerita tuna netra penjual tisu (4)Barang dagangan Rina berupa masker dan tisu yang tertata rapi di sebuah keranjang. Harga masker medis dan tisu dijual dengan harga Rp 2.500, sedangkan masker kain dijual dengan harga Rp 5 ribu. (Foto: Tagar/ Nabila Tsania)

“Saat mengajar di SLB, peraturannya sangat mengikat, kita tidak boleh bergaul dengan masyarakat, sedangkan selama kuliah saya diajarkan untuk turun ke masyarakat,” katanya. Dengan berat hati, Rina memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya.

Ditipu Orang

Usai berhenti dari pekerjaannya sebagai seorang guru, wanita berusia 44 tahun ini meminta saran kepada teman-temannya mengenai pekerjaan apa yang cocok untuknya. Kemudian, seorang temannya menyarankan Rina untuk berjualan kerupuk Bangka.

Pada tahun 2017, dia mulai berjualan kerupuk Bangka, yang dia dapatkan langsung dari pabriknya. Setiap hari dia berjualan kerupuk di area stasiun, mulai pukul 05.30 pagi hingga pukul 10.00 malam. Untuk mencapai lokasi, dia diantar oleh anak pertamanya menggunakan sepeda motor. Rina menjual kerupuknya dengan harga Rp 17 ribu.

Selama berjualan kerupuk dia pernah ditipu oleh orang. Kata Rina, orang dengan fisik sempurna saja bisa ditipu orang, apalagi dirinya yang memiliki keterbatasan fisik. Rina tak memiliki cara khusus untuk mengenali keaslian dan nominal uang rupiah. Dia mengutamakan kejujuran dari para pembelinya.

Saat itu ada pembeli kerupuk yang membayar barang dagangannya tidak sesuai harga yang sudah ditentukan. “Satu bal kerupuk saya jual dengan harga Rp 17 ribu, tapi ada yang cuma bayar Rp 12 ribu, ada juga yang cuma bayar Rp 6 ribu,” ujarnya.

Ketika Rina sampai di rumah, anak keduanya yang kala itu masih duduk di bangku SMP membantunya menghitung uang yang dia dapatkan.

“Kalau jumlah uangnya tidak sesuai dengan jumlah barang yang terjual, saya ikhlas, biarkan mereka yang menanggung dosa, saya percaya setiap orang rezekinya sudah diatur dan pasti Allah akan menggantikannya dengan yang lebih baik” tutur Rina.

Tetapi, lokasi produksi kerupuk Bangka disebutnya terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Rina pun memilih untuk tidak melanjutkannya demi menghemat ongkos. Lalu, Rina beralih menjadi penjual masker dan tisu.

Rina mengaku penghasilannya menurun drastis dibandingkan saat berdagang kerupuk. Sebelum pandemi, masker yang dijualnya laris terjual karena harganya Rp seribu per lembar. Namun, saat pandemi Covid-19 semakin menyebar, stok masker semakin langka dan harga per boksnya naik dua kali lipat dari harga awal.

Walaupun semakin lama harga masker menurun, tapi tetap saja barang dagangnya kurang laku. “Sekarang kan orang banyak yang sudah pakai masker dari rumah, ada juga yang membagikan masker gratis,” katanya.

Rina menjual dua jenis masker, yaitu masker medis dan masker kain. Untuk masker medis dan tisu dia jual dengan harga Rp 2.500, sedangkan masker kain dia jual dengan harga Rp 5 ribu. Penghasilannya dari berjualan masker tidak menentu. Pernah dalam satu hari dagangannya hanya laku selembar saja, sehingga dia hanya mendapatkan Rp 2.500. Namun, dia memiliki prinsip sebelum pegang uang, tidak akan pulang ke rumah.

Dia sempat tak mampu membayar kontrakan rumahnya karena anak pertamanya “dirumahkan” akibat pandemi. Pemilik kontrakan akhirnya mengusir dia dan kedua anaknya. Rina sempat khawatir jika nantinya tak mendapatkan tempat tinggal.

Kemudian, dia mencari kontrakan lain dan berhasil menemukan kontrakan. “Alhamdulillah pemilik kontrakan mengizinkan saya untuk menempati kontrakannya tanpa uang muka,” ujarnya mengucap syukur.

Hal yang menguatkan dirinya untuk terus semangat hingga saat ini adalah anaknya. Meskipun dia menyandarkan hidupnya dengan berjualan masker, dia ingin anaknya menyelesaikan pendidikan setinggi mungkin.

“Saya harus berjuang, jangan sampai anak-anak saya tidak mendapatkan pendidikan yang layak,” ujarnya.

Saat ini di area stasiun cukup banyak yang berjualan masker, dia berharap secepatnya bisa menjual makanan lagi seperti dahulu. Dia juga berharap agar masyarakat tidak meengucilkan dirinya lagi dan tak ada lagi yang menipunya.

Cerita tuna netra penjual tisu (4)Para pedagang menggelar lapaknya masing-masing di sepanjang area Stasiun Bojong Gede. (Foto: Tagar/ Nabila Tsania)

“Semoga mereka yang memiliki fisik sempurna tidak ada lagi yang menipu saya dan saya berharap masyarakat dapat menerima orang seperti saya” harap Rina.

Salah satu penjual masker di situ adalah Asep, yang sebelumnya berjualan surat kabar. Lapaknya hanya berjarak beberapa langkah dari lapak Rina.

“Dulu jual koran, Alhamdulillah yang beli banyak, tapi makin ke sini koran sudah dikalahkan sama berita online, saya gak bisa mengandalkan pemasukan dari jualan koran saja” ujarnya.

Saat ditanya mengenai dampak pandemi Covid-19, Asep mengaku mengalami penurunan sejak pandemi “Penurunan cukup drastis, sekarang gak terlalu banyak orang yang membeli masker di stasiun, kebanyakan sudah pakai masker dari rumah.”

Salah satu penjaga parkir motor di Stasiun Bojong Gede mengaku merasa salut dengan kegigihan Rina berjualan kerupuk. “Dari jam 05.30 pagi dia sudah mulai berjualan, kadang anaknya ikut nemenin jualan, saya salut melihat semangatnya dengan keterbatasan fisik yang dia punya, banyak orang yang sudah dikasih fisik sempurna tapi masih malas-malasan” katanya memuji kegigihan Rina. []

(Nabila Tsania)

Berita terkait
Yang Hilang dan Tetap Ada Saat Natal di Masa Pandemi
Ada sesuatu yang hilang dalam perayaan Natal di masa pandemi, tetapi ada juga hal-hal yang tetap ada, yaitu damai dan kasih.
Berteman Gerobak Rujak Buah Hadapi Pandemi di Jakarta
Seorang penjual rujak buah di Pasar Baru, Jakarta, menceritakan bagaimana pandemi membuat omzet dagangannya menurun drastis.
Mitos Buaya Putih dan Hantu Selong di Bendungan Menganti
Bendungan Menganti di perbatasan Cilacap dan Ciamis menjadi lokasi penemuan mayat. Ada mitos tentang buaya putih dan hantu Selong di sana.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.