Untuk Indonesia

Di Balik Tuduhan Bidah Ziarah Kubur dan Tahlilan

Praktik kehidupan kita sehari-hari sering mereka anggap sebagai bidah dan khurafat gara-gara kita mempraktikkan ziarah kubur, membaca tahlil.
Ilustrasi - Membaca tahlil saat berziarah kubur. (Foto: Instagram/@santrinasionalis)

Oleh: Syafiq Hasyim*

Dalam kehidupan kita sehari-hari seringkali kita mendengar jargon kembalilah pada Alquran dan sunnah nabi. Jargon dalam bahasa arabnya diungkapkan dengan Arruju' ilal Quran wa Sunnah ini sering digunakan menuduh pihak lain yang dianggap keluar dari kehidupan yang berpedoman pada Alquran.

Praktik kehidupan kita sehari-hari sering mereka anggap sebagai bidah dan khurafat gara-gara kita mempraktikkan ziarah kubur, membaca tahlil, dan melakukan ibadah-ibadah ghairu mahdhah yang lain.

Cara berislam kita sehari-hari sudah dianggap jauh bahkan tidak kembali lagi kepada Alquran dan assunah gara-gara hidup kita menganut mazab tertentu. Kehidupan bernegara kita juga dianggap demikian tidak sesuai dengan syariah, karena kita menggunakan sistem demokrasi, kata mereka dalam segala hal, urusan hidup kita harus menggunakan sistem hidup yang digariskan Alquran dan sunah nabi.

Lagi, ungkapan yang paling populer dari mereka yang diarahkan kepada kita adalah misalnya "Kembali kepada ulama, kembali ya pada sunah nabi, ulama kan manusia yang bisa salah, kembali pada hal yang pasti benarnya itulah yang dituntut sunah," itu kata mereka.

Tuduhan ini marak dalam sepuluh tahun terakhir bersamaan dengan kebangkitan salafisme dan wahabisme. Seringkali kita menemukan kenyataan di dunia media sosial bahwa pernyataan yang demikian ini sering dilontarkan oleh orang yang sebenarnya tidak mengerti apa makna sesungguhnya yang dimaksud dengan jargon kembali pada Alquran dan sunah itu. Yang dimaksud adalah sama kembali kepada terjemahan Alquran dan Alsunah.

Kita tidak akan mampu membaca dan menggali Alquran dan sunah nabi jika kita tidak kembali pada ilmu-ilmu keislaman yang dirumuskan dan dibangun oleh para ulama terdahulu.

Benar saja bahwa orang yang banyak mengklaim diri mereka telah kembali kepada Alquran dan Alsunah ternyata dalam kehidupan sehari-hari mereka hanya kembali kepada terjemahan Alquran dan juga terjemahan Alsunah. Mereka tidak sadar bahwa terjmahan Alquran dan Alsunah yang mereka baca setiap hari adalah hasil dari pekerjaan para ulama. Pasti mereka tidak akan tahu juga bahwa menerjemahkan Alquran itu juga bidah karena tidak ada perintah dari Alquran dan juga tidak ada perintah dari sunah nabi.

Tahukah bahwa di balik semboyan al ruju' ila Alquran dan Alsunah itu mengandung makna yang tidak sesederhana yang mereka bayangkan. Kembali pada Alquran dan Alsunah adalah perkara yang rumit dari sekadar membaca terjemahan Alquran dan Alsunah nabi.

Karenanya, latar belakang semboyan al ruju' ila Alquran dan Alsunah di atas haruslah dipahami terlebih dahulu. Kata al ruju' itu memiliki pengertian kembali kepada kandungan Alquran dan kembali kepada kandungan sunah nabi. Namun, untuk kenbali kepada kandungan tersebut kita harus mampu membaca dan menggali makna kedua sumber Islam yang utama di atas.

Kita tidak akan mampu membaca dan menggali Alquran dan sunah nabi jika kita tidak kembali pada ilmu-ilmu keislaman yang dirumuskan dan dibangun oleh para ulama terdahulu.

Dengan kata lain, kita diserukan untuk melakukan proses ijtihad; memetik pada Alquran dan sunah nabi dengan cara dan metode kita sendiri. Orang demikianlah yang diistilahkan ahli fikih sebagai para mujtahid. Dengan merujuk pada ulama terdahulu untuk kembali kepada Alquran dan Alsunah itu bukankah juga masuk dalam kategori bidah?

Pertanyaannya adalah mampu tidak kita sampai pada level al ruju' ila Alqruan wa al sunah berdasarkan metode kita sendiri, untuk sampai level ini kita secara metodologis diwajibkan untuk menguasai cabang-cabang keilmuan Islam yang luas dan banyak jenisnya; Ulum Alquran segala cabangnya, Ulum Ahadis dan segala cabangnya, Usul Fiqihdan segala yang berkaitan dengannya, Fiqih, Tauhid, dan masih banyak cabang-cabang yang lain.

Banyak ulama baik klasik maupun modern, mungkin bukan karena kecerdasan namun karena kerendahan hatinya, mereka merasa tidak mampu menjalankan al ruju' ila Alquran dan wa al sunah sebagaimana di atas. Karenanya mereka lebih memilih untuk kembali kepada Alquran dan al sunah melalui para mujtahid. Mereka lebih memilih berada di dalam lingkup mazab Imam Syafii sebagai misal.

Apabila kita sudah menjadi orang yang mampu berijtihad sendiri misalnya lebih mampu dari Imam Anawawi, lebih mampu dari Imam Ghozali, dari Imam al Rafi, di mana ketiganya adalah mujtahid di dalam mazab Imam Syafii maka bolehlah kita melakukan al ruju' ila Alquran dan Alsunah secara langsung kepada teksnya.

Ketika para ulama modern seperti Jamaluddin Al Afghani, Akhmad Khan, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, menyerukan perlunya kembali lagi kepada Alquran dan Alsunah sebenarnya mereka menyerukan kembali dengan rangka pengetahuan dan penafsiran-penafsiran ulama yang sebelumnya.

Sebenarnya apa yang terjadi di dunia pemikiran Islam adalah upaya untuk senantiasa memperbaharui, tidak ada istilah menciptakan, qila wa qalu, menurut pendapat ini dan itu saja yang terjadi. Jika kita sekarang ini misalnya ikut mazab tertentu, maka sesungguhnya kita ikut cara para mujtahid dalam melaksanakan al ruju' ila Alquran dan Alsunah sesuai dengan metode mereka. Tidak mungkin dalam ijtihad mereka meninggalkan prinsip-prinsip yang digariskan Alquran dan Alsunah.

Sebagai catatan maksud al ruju' ila Alquran dan Alsunah sekali lagi bukanlah kembali ke terjemahan Alquran dan Alsunah itu sendiri namun kembali kepada makna dan spirit Alquran dan Alsunah. Semangat keagamaan yang lapang dan menghargai pelbagai perbedaan yang ada.

*Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Wakil Ketua Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU), MA dari Leiden University, Belanda. Ph.D dari Freie University, Jerman.

Baca juga:

Berita terkait
Masjidil Haram Kurang Apa Berkahnya, Toh Ditutup Juga
Bupati Lombok Timur berkata Masjidil Haram itu kurang apa berkahnya, toh ditutup juga saat pandemi Covid-19. Sedang banyak pemimpin daerah ragu.
Bagaimana Nabi Muhammad SAW Merayakan Idul Fitri
Hari raya Idul Fitri momen penting bagi umat Islam yang biasanya dirayakan dengan meriah. Bagaimana Nabi Muhammad SAW merayakan Idul Fitri.
Kapan Pertama Kali Idul Fitri Dirayakan
Idul Fitri, hari kemenangan kaum muslim setelah satu bulan menjalankan puasa Ramadan. Tapi sebenarnya, kapan pertama kali Idul Fitri dirayakan?
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.