Denny Siregar: Virus Corona Pesta Pora di Kluster Pilkada 2020?

Dilema Pilkada 2020. Pemerintah itu seperti orang tua, kadang ada pada dua pilihan sama buruknya, mau fokus kesehatan atau ekonomi. Denny Siregar.
Ilustrasi - Orang-orang mengikuti pemilihan umum dengan melakukan pencoblosan kotak suara di bilik di tempat pemungutan suara. (Foto: Tagar/Pos Merdeka)

Mari kita bayangkan dengan model yang sederhana. Negara Indonesia ini kita ibaratkan tubuh manusia. Penduduknya adalah organ-organ di dalamnya. Dan untuk tetap menggerakkan organ-organ itu, diperlukan aliran darah yang mengalir terus-menerus tanpa henti. Sekali aliran berhenti, matilah seluruh tubuh. Aliran darah ini kita sebut dengan nama ekonomi. Ketika ekonomi berhenti, maka hancurlah sebuah negara. Tidak usah berhenti, berkurang saja alirannya, maka akan muncul kerusuhan karena kelaparan.

Itulah yang terjadi pada masa pandemi ini. Ketika banyak orang tidak berani keluar dari rumah karena takut tertular, maka aktivitas ekonomi kita otomatis berkurang. Banyak orang yang tidak berani belanja, atau bahkan tidak bisa belanja karena tidak punya uang. Dan aktivitas belanja ini disebut dengan konsumsi.

Ketika konsumsi berkurang, pabrik yang memproduksi barang pun mengurangi produksinya. Akhirnya banyak pegawainya yang dipecat. Dan ketika para pegawai dipecat, mereka jelas jadi tidak punya uang. Dan karena mereka tidak punya uang, mereka juga tidak bisa membeli barang. Aktivitas konsumsi ekonomi pun berkurang, seperti aliran darah yang tersumbat dan tidak bisa mengalir dengan lancar. Dan dalam situasi inilah, negara mengumumkan mereka ada di dalam situasi resesi.

Inilah yang terjadi di Indonesia dan banyak negara lain di dunia. Kita mengalami resesi besar karena pandemi jauh lebih buruk daripada situasi resesi pada tahun 1998. Supaya aktivitas ekonomi terus berjalan, pemerintah harus mengucurkan dana besar-besaran supaya orang punya uang untuk belanja. Bisa lewat bansos, bisa lewat pengurangan pajak, dan banyak lainnya, termasuk menyelenggarakan pilkada meskipun situasi sedang krisis kesehatan.

Pemerintah itu seperti orang tua. Mereka kadang ada pada dua pilihan yang sama buruknya, mau fokus pada kesehatan atau pada ekonomi. Akhirnya mereka mencoba mengambil jalan tengah, bagaimana bisa menyelesaikan masalah kesehatan dan ekonomi juga terus berjalan.

Aliran darah tidak boleh berhenti. Karena itu, pada masa pandemi ini pemerintah mengucurkan dana sebesar hampir Rp 700 triliun supaya negara tetap stabil dan aman. Itulah alasan kenapa pemerintah dan DPR tetap menyelenggarakan pilkada tahun ini. Mereka berharap aktivitas pilkada di masing-masing daerah bisa mengalirkan ekonomi sehingga resesi tidak begitu parah.

Ada 270 daerah yang menyelenggarkaan pilkada tahun 2020. Dan di sana diperkirakan ada perputaran uang Rp 10 triliun. Orang mendapat pekerjaan sebagai tim sukses, produksi alat kampanye sampai kucuran dana iklan ke media-media lokal. Dengan begitu diharapkan tingkat konsumsi naik dan ekonomi di daerah itu bisa bertahan. 

Pemerintah itu seperti orang tua. Mereka kadang ada pada dua pilihan yang sama buruknya, mau fokus pada kesehatan atau pada ekonomi. Akhirnya mereka mencoba mengambil jalan tengah, bagaimana bisa menyelesaikan masalah kesehatan dan ekonomi juga terus berjalan.

Terus bagaimana dengan kesehatan? Apa tidak berbahaya pilkada mengundang kerumunan orang banyak dan membuat klaster-klaster penularan baru? Tentu itu berbahaya, kalau pilkada tahun ini masih pakai sistem pada saat situasi sedang sehat-sehat saja. Kerumunan orang akan membuat virus corona pesta pora dan meluaskan penyakitnya ke mana-mana.

Karena itu pemerintah sekarang sedang membuat peraturan pemerintah supaya model pilkada berubah. Tidak dengan mengundang kerumunan, tapi dengan membagi-bagikan alat kesehatan di antaranya masker atau hand sanitizer dengan gambar wajah calon kepala daerah. Diharapkan model kampanye bagi-bagi alat kesehatan ini bisa juga mendongkrak ekonomi warga sekitar yang memproduksi alat kesehatan.

Ini memang keputusan yang tidak populer. Pemerintah dan DPR dicaci-maki di mana-mana karena dianggap tidak peduli pada meningkatnya penyebaran virus corona. Bahkan dua ormas muslim terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, secara resmi menolak penyelenggaraan pilkada tahun ini.

Tapi seperti yang saya bilang tadi, buat pemerintah dan DPR, ini situasi seperti makan buah simalakama. Dimakan, Said Didu pingsan. Enggak dimakan, Rocky Gerung yang pingsan. Akhirnya dipilihlah satu keputusan buruk dari yang terburuk. Pilkada harus jalan dengan alasan aktivitas ekonomi di daerah juga harus tetap berjalan. Tapi model kampanyenya disesuaikan dengan protokol kesehatan.

Pertanyaan lanjutan, apa sanksi yang bisa diberikan pemerintah kalau calon kepala daerah melanggar dengan tetap bikin kerumunan untuk kampanye mereka? Inilah masalah terbesarnya. Sejak dulu, kita belum pernah mendengar Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu dengan gagah berani memberikan sanksi berat kepada calon kepala daerah yang melanggar sistem pemilu.

Jadi, bagaimana kita bisa berharap besar kalau tidak ada pelanggaran kampanye pada tahun ini? Kita hanya bisa berharap kepada kepala daerah dan polisi dalam penerbitan izin keramaian. Meskipun belum jelas juga apa sanksi yang diberikan kalau mereka melanggar.

Enggak usah kampanye deh. Itu Gatot Nurmantyo keliling ke mana-mana kampanye KAMI dengan mengumpulkan orang, enggak ada yang berani kasih sanksi meskipun seperti di Magelang, dikabarkan dia tidak punya izin keramaian.

Mau tidak mau, sekali lagi, kita masuk dalam situasi harus memilih. Fokus pada kesehatan atau fokus pada ekonomi. Atau menggabungkan keduanya, meskipun sama-sama tidak efektif. Keputusan sebaik apa pun pasti tidak akan menyenangkan semua orang, tapi setidaknya berani mengambil keputusan adalah ciri dari kepemimpinan. 

*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi

Berita terkait
Arteria Dahlan Merasa Pilkada 2020 Tidak Perlu Ditunda
Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Arteria Dahlan berkata Pilkada 9 Desember 2020 tidak perlu ditunda meski ada pandemi.
Sah! Pilkada 2020 Tidak Ditunda
Komisi II DPR, Kemendagri, KPU, dan Bawaslu, Serta DKPP sepakat Pilkada serentak tetap berlangsung pada 9 Desember 2020 mendatang.
Irma Suryani Chaniago Dukung Istana, Pilkada 2020 Tidak Ditunda
Politisi NasDem Irma Suryani Chaniago mendukung Presiden Joko Widodo untuk tidak menunda Pilkada 2020, walaupun banyak desakan untuk menundanya.
0
Melihat Epiknya Momen Malam HUT DKI Jakarta Lewat Lensa Galaxy S22 Series 5G
Selain hadir ke kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam agenda perayaan HUT DKI Jakarta, kamu juga bisa merayakannya dengan jalan-jalan.