Untuk Indonesia

Denny Siregar: Monster yang Memakan Tuannya

Tentang sebuah organisasi masaa kecil yang kemudian menjadi besar dengan melakukan marketing kekerasan. Tulisan opini Denny Siregar.
Massa Front Pembela Islam (FPI) dalam sebuah aksi demonstrasi membela Bahar Smith di Bareskrim. (Foto: Antara)

Oleh: Denny Siregar*

Dalam artikel berjudul "Muslim Democrats and Islamist Violence in Post-Soeharto Indonesia", Robert W Hefner menyebut peran Wiranto dalam membesarkan Front Pembela Islam.

Hefner menyebut, November 1999, FPI membantu memobilisasi 100 ribu massa yang tergabung dalam Pam Swakarsa, untuk melindungi transisi pemerintahan dari Soeharto ke Habibie.

Pam Swakarsa atau Pasukan Pengamanan Masyarakat adalah kelompok sipil yang dikabarkan dibentuk oleh tentara untuk membendung aksi mahasiswa pada tahun 1998. Pada waktu itu Wiranto menjabat sebagai Panglima TNI.

FPI sendiri didirikan untuk mengusung pandangan Islam konservatif. Mereka punya tujuan untuk menegakkan hukum Islam di negara sekuler.

Semakin lama, jumlah anggota FPI semakin membesar. Dengan pasukan paramiliternya, Laskar Pembela Islam, FPI kemudian melakukan banyak tindakan mirip dengan "polisi syariat". Mereka melakukan sweeping pada saat bulan Ramadhan, demo menuntut ditutupnya kelab malam dan bentrok dengan ormas lain.

FPI yang dulu adalah organisasi masaa kecil, menjadi besar dengan melakukan marketing kekerasan. Meski mereka juga menunjukkan gerak cepat untuk membantu korban bencana alam, tetapi stigma yang terbangun di masyarakat adalah FPI sebagai organisasi garis keras yang tidak segan memobilisasi massa untuk mencapai tujuan.

FPI yang dulu adalah organisasi masaa kecil, menjadi besar dengan melakukan marketing kekerasan.

Semakin lama, gerakan FPI semakin mengarah pada politik. Dengan dipimpin Rizieq Shihab yang mereka angkat sebagai Imam Besar, FPI melakukan demo besar untuk menjatuhkan pemimpin daerah yang tidak searah dengan mereka.

Peran besar FPI tampak dalam aksi 411 dan 212 yang diikat dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa GNPF, dan berakhir dengan masuk penjaranya Ahok mantan Gubernur DKI ke penjara karena dituduh menista agama.

Hubungan mesra FPI bersama para petinggi militer dan polisi pada waktu itu, membuat kita seharusnya bisa mengambil kesimpulan, betapa mengerikannya memelihara sebuah kelompok yang mengusung politik identitas sebagai ideologinya.

Kelompok seperti ini sebenarnya lebih fokus pada tujuannya membangun sistem agama dalam negara. Mereka hanya penunggang dalam sebuah politik untuk mencapai tujuan sebenarnya. Dan ketika mereka dipelihara, mereka akan membesar dan suatu saat akan memakan tuannya.

Membubarkan FPI mungkin langkah yang tepat. Tetapi itu juga akan membuat senang organisasi agama konservatif lain yang bersaing dengan FPI. Mereka akan diuntungkan dengan dibubarkannya FPI untuk membesarkan dirinya sendiri.

Miriplah dengan persaingan antarkelompok mafia, yang memakai tangan negara untuk menyelesaikan kompetitornya. Kelak kita akan kembali berhadapan dengan FPI-FPI lain tetapi beda nama.

Jadi bagaimana, benarkah membubarkan FPI adalah sebuah keharusan pada situasi sekarang? Atau lebih penting membangun pondasi hukum mencegah model yang sama memainkan perannya?

Semua tergantung sekeras apa negara ini ingin membangun dirinya sendiri. Salah langkah sedikit, kita akan melawan banyak monster yang jauh lebih kuat, lebih beringas dan lebih militan dalam mencapai tujuannya.

Seruput kopinya....

*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi

Baca juga:

Berita terkait
0
Usai Terima Bantuan Kemensos, Bocah Penjual Gulali Mulai Rasakan Manisnya Hidup
Dalam hati Muh Ilham Al Qadry Jumakking (9), sering muncul rasa rindu bisa bermain sebagaimana anak seusianya. Main bola, sepeda.