Denny Siregar: Melawan Zombie di Negeri Ini

Korea Selatan itu negara yang selalu merasa terancam, kata temanku waktu kami ngopi bersama. Tulisan opini Denny Siregar.
Anggota TNI membawa ranjang medis untuk Menko Polhukam Wiranto dari Instalasi Gawat Darurat RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, Kamis, 10 Oktober 2019. (Foto: Antara/Galih Pradipta)

"Korea Selatan itu negara yang selalu merasa terancam," kata temanku waktu kami ngopi bersama.

"Di bidang ekonomi, mereka merasa terancam pada Jepang. Mereka dijajah oleh banyak produk Jepang, mulai dari mobil sampai alat rumah tangga. Karena itu mereka berpikir keras, bagaimana caranya supaya bangsa mereka tidak terjajah oleh bangsa Jepang.

Korsel lalu menciptakan industri hiburan, bernama K-Pop. K-Pop diproduksi secara serius, dan pengaruhnya disebarkan ke seluruh Asia.

Lewat terkenalnya K-Pop, nama Korsel terangkat. Dan saat orang-orang mengenal Korsel, maka produk-produk mereka pun diluncurkan, seperti Samsung, Hyundai dan segala macam produksinya.

Industri K-Pop itulah yang membuka jalan produksi Korsel mendunia. Begitulah pertarungan Geo Politik berjalan."

Dia melanjutkan.

"Di bidang militer, Korsel sangat takut pada Korea Utara. Karena itu, mereka mewajibkan remajanya pada usia tertentu untuk wajib militer, supaya berjaga-jaga dari ancaman perang.

Wajib militer di Korsel kemudian berkembang menjadi semacam pembentukan karakter, kecintaan pada tanah air, budi pekerti dan menjadi pekerja keras. Remaja yang lulus, ketika dilepas menjadi remaja mandiri dan tidak mudah mengeluh."

Aku menyeruput kopiku. Asyik juga pembicaraannya.

"Banyak bangsa di dunia yang sukses karena mereka punya lawan, atau membangun ketakutan akan kemungkinan perang. Singapura punya wajib militer, karena tidak yakin akan stabilitas keamanan di sekitar wilayahnya.

Waktu yang tepat adalah sekarang, saat Presidennya punya visi dan parlemennya mayoritas dari koalisi.

Israel membangun karakter bangsanya melalui wajib militer, karena takut pada serangan negara arab di sekitarnya.

Mereka punya lawan, punya ketakutan, sehingga membentuk self defense atau pertahanan diri yang kuat."

Temanku senyum lebar.

"Bangsa Indonesia yang agamis ini gada yang ditakuti, kecuali pada Tuhan. Padahal Tuhan tidak punya ukuran. Karena tidak punya lawan yang jelas inilah, Indonesia jadi tidak membangun pertahanan diri.

Pada akhirnya, kita tidak berkembang karena tidak punya ukuran. Berjalan apa adanya, tanpa konsep yang pasti karena tidak tahu yang dilawan siapa dan bagaimana."

"Seharusnya dengan maraknya kekerasan ini, Indonesia sudah punya lawan yang menakutkan, yaitu RADIKALISME. Dengan begitu, negeri ini membangun sistem pertahanan diri supaya tidak hancur.

Salah satunya dengan membangun konsep wajib militer seperti Korsel dan Singapura. Tapi namanya bukan wajib militer karena kita trauma dengan yang namanya militer. Konsepnya namakan saja BELA NEGARA.

Remaja yang lulus sekolah menengah, wajib ikut pelatihan bela negara yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan kerja sama dengan TNI dan Polisi. Toh dana pendidikan kita besar sekali.

Di sana dibangun karakter cinta tanah air, menjadi mandiri, pekerja keras dan budi pekerti. Bela negara fokus pada pembangunan karakter manusia saat transisi dari remaja menjadi pekerja.

Malam semakin larut.

"Sekarang ini di Indonesia, peran negara hilang total, digantikan kelompok agama.

Akhirnya kaum fundamentalis yang mengisi kekosongan ini dengan memasukkan budaya Arab yang keras dan doyan perang, untuk menghilangkan karakter asli bangsa Indonesia.

Negara harus mengambil alih peran ini. Waktu yang tepat adalah sekarang, saat Presidennya punya visi dan parlemennya mayoritas dari koalisi.

Bikin perangkat hukum darurat, melawan radikalisme dan negara ikut campur dalam penanganan karakter bangsa dalam konsep Bela Negara.

Kalau tidak, rasakan dalam waktu 10 sampai 20 tahun lagi, negaramu akan penuh dengan kelompok radikal usia muda yang ingin menghancurkan negeri ini karena hilang rasa cinta pada tanah airnya."

Aku merenangkan perkataan temanku dulu itu. Prediksinya terbukti sudah. Pahit seperti secangkir kopi.

Apakah perlu jatuh korban lagi karena kita tidak pernah menganggap radikalisme itu "kejahatan luar biasa" yang harus ditangkal dan dicegah sejak dini?

Kuseruput kopiku, semoga ada jawaban atas kegelisahanku sekarang ini.

*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi

Baca juga:

Berita terkait
Meutya Hafid Soroti Penusukan Wiranto Ancaman Nasional
Meutya Hafid mengutuk aksi terorisme berupa penusukan terhadap Wiranto di Pandeglang, Banten.
Jusuf Kalla Sebut Pengamanan Wiranto Sesuai SOP
Jusuf Kalla (JK) mengatakan pengamanan terhadap Wiranto sudah dilakukan sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP).
‎Polisi Temukan Panah dari Rumah Pelaku Penusuk Wiranto
Polisi menemukan dan menyita buku, busur dan panah dari rumah Fitria Diana.
0
Melihat Epiknya Momen Malam HUT DKI Jakarta Lewat Lensa Galaxy S22 Series 5G
Selain hadir ke kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam agenda perayaan HUT DKI Jakarta, kamu juga bisa merayakannya dengan jalan-jalan.