Denny Siregar: Masih Memandang Lemah Jokowi?

Banyak orang marah kepada Jokowi, menganggap tak punya wibawa, lemah kepada Rizieq Shihab dan FPI. Orang-orang salah menilai Jokowi. Denny Siregar.
Jokowi (kiri). (Foto: Tagar/Facebook Presiden Joko Widodo)

Membubarkan sebuah ormas yang sudah berakar di masyarakat itu tidak gampang. Tidak semudah membubarkan kumpulan kerbau. FPI selama ini berlindung di balik elite-elite beberapa partai dan pengusaha besar yang juga menggunakan jasa mereka, mulai jasa keamanan sampai menggoyang pemerintahan. Ada simbiosis mutualisma di antara mereka. Jika waktu dan kondisinya tidak tepat, goyang negara.

Lihat saja aksi yang mereka galang di 212 dan 411 dulu. Dengan dana besar, mereka memobilisasi warga-warga di luar Jakarta untuk berkumpul bersama, membangun tameng supaya orang tak berdosa bisa jadi korban kekerasan aparat. Kalau dulu ketika mereka kuat dipukul, jelas guncang kita. Bisa jadi tragedi 98 kedua, dan ormas-ormas radikal itu akan dapat simpati masyarakat awam.

Bahkan pendukung Jokowi pun ikut memaki sampai menyesal sudah memilihnya kembali. Emosional. Semua harus sesuai keinginan mereka, tanpa mengerti apa yang bakalan terjadi.

Jokowi sebenarnya sudah geram sejak lama dan dia sampaikan di depan para penasihatnya. Bukan karena dia dendam pada FPI, tapi karena setiap demo yang mereka lakukan, negara harus mengocek duit puluhan sampai ratusan miliar rupiah untuk pengamanan. Dan ini berarti uang terbuang sia-sia, padahal banyak yang harus dia bangun supaya ekonomi kita bisa sehat.

Karena itu mereka dibiarkan dulu, kemudian dipisah-pisah satu demi satu, disusupi dan dipecah dari dalam, lalu dilokalisir mana yang paling membahayakan. Pemerintah pura-pura bodoh dan lemah, supaya mereka sangka mereka menang.

Ibarat main catur, jalan dibuka supaya tampak gampang diserang. Musuh lengah dan terus memainkan buahnya ke depan, sampai rajanya ikut turun menyerang. Penonton ikut teriak-teriak, "Woii, kalian bisa skak mat. Bodoh. Bego. Pemerintah lemah. Jokowi plin-plan. Plonga-plongo," dan segala macam cacian buatnya. Sabar. Ada waktunya.

Negara tampak seperti tidak punya wibawa. Bahkan pendukung Jokowi pun ikut memaki sampai menyesal sudah memilihnya kembali. Emosional. Semua harus sesuai keinginan mereka, tanpa mengerti apa yang bakalan terjadi.

Kapan waktu yang tepat? Haul Gus Dur yang ke-11. Orang yang paling dibenci FPI dan Rizieq Shihab. Ini seperti piala yang dipersembahkan untuk orang yang sangat dihormati.

Dan waktu yang tepat itu datang. Pandemi memudahkan semua. Ketika Rizieq melanggar aturan dan menantang-nantang negara, simpati orang padanya berubah jadi kebencian. Gema teriakan di mana-mana, "Tangkap Rizieq! Bubarkan FPI!"

Ini saatnya. Maka dipanggillah malam-malam para Panglimanya. "Saya tidak mau tahu. Hajar mereka, atau kalian yang saya ganti dengan orang yang lebih tegas!" Perintah malam itu jelas dan keras. Cukup sudah main bertahan, sekarang main keras.

Lalu gelombang demi gelombang hajaran dimainkan. Posisi catur yang tadi terbuka mulai merapat dan mengunci sehingga lawan sulit bergerak. Dijemput satu satu karena kebodohan mereka sendiri. Sebagian dilepas kembali dengan ancaman, "Kalian mainkan dari dalam barisan kalian, kalau tidak, kalian saya hajar sendiri."

Meraunglah lagu Metallica, "Searching... seek and destroy!"

Gugurlah pion, benteng, kuda, peluncur satu persatu. Kaget lawan, "Lha, kok jadi begini?" Mereka teriak-teriak cari simpati, tapi masyarakat sudah kadung benci. Tinggal Raja dan Ratu, dan beberapa pion lagi.

"Tunggu dulu," perintah datang lagi. "Kita jadikan ini momen paling diingat orang, dan untuk kita menghormati seseorang."

Kapan waktu yang tepat?

Haul Gus Dur yang ke-11. Orang yang paling dibenci FPI dan Rizieq Shihab. Ini seperti piala yang dipersembahkan untuk orang yang sangat dihormati.

Lalu dijalankanlah langkah terakhir. Skak, ster! Bukan skak mat. Ratunya rubuh. Raja lawan tidak bisa jalan. Pura-pura sibuk dengan urusan tali ban.

Semua bahagia. Masyarakat senang. Selamat Tahun baru 2021 diucapkan dari dalam Istana, dengan hadiah yang dikemas sangat indah.

Papan catur dibereskan. "Mau main lagi? Ayo, silakan. Atur kembali papannya." Tantangan diberikan. Ini negara demokrasi. Siapa pun boleh main berkali-kali. Tapi yang harus disadari, setiap kekalahan itu pasti menguras finansial banyak sekali. Investasi besarnya hangus seketika.

*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi

Berita terkait
Pembubaran FPI, Munarman: De Javu Pengulangan Rezim Nasakom
Deklarator Front Persatuan Islam (FPI) Munarman menyebut pembubaran organisasi masyarakat (ormas) maupun parpol de javu pengulangan Nasakom.
FPI Dibubarkan, PA 212: Perjuangan Tetap Jalan, Tinggal Bikin Lagi
Wakil Sekretaris Jenderal Persaudaraan Alumni (PA) 212 Novel Bamukmin menilai dengan pembubaran FPI, perjuangan tetap jalan, tinggal bikin lagi.
FPI Bubar, PKS: Penguasa Leluasa Tetapkan Apa Saja bagi Ormas
Anggota DPR RI dari Fraksi PKS Bukhori Yusuf menilai pembubaran ormas Front Pembela Islam (FPI) merupakan langkah yang salah dilakukan pemerintah.
0
Kesehatan dan Hak Reproduksi Adalah Hak Dasar
Membatasi akses aborsi tidak mencegah orang untuk melakukan aborsi, hal itu justru hanya membuatnya menjadi lebih berisiko mematikan