Denny Siregar: Jokowi Harus Menyusun Ulang Bidak-bidak Catur

Jokowi harus menyusun ulang bidak-bidak catur. Mundur sejenak, memikirkan kembali strategi terbaik sebelum melangkah ke depan. Opini Denny Siregar.
Jokowi. (Foto: Facebook/Presiden Joko Widodo)

Beberapa waktu ini saya keliling ke banyak tempat, terutama bertemu dengan banyak relawan Jokowi yang dulu berjuang supaya beliau terpilih kedua kali. Saya memposisikan diri sebagai pendengar, mencoba ingin tahu apa keresahan mereka. Dan ada beberapa poin yang saya catat, semoga bisa diperbaiki.

Pada intinya mereka resah dengan Kabinet Indonesia Maju yang Jokowi bentuk. Bukan nama kabinetnya yang bermasalah, tapi orang-orangnya yang tidak merepresentasikan kemajuan Indonesia. Ketika berbicara Indonesia Maju, yang ada dalam benak orang adalah sesuatu yang bersifat ke depan dan futuristik. Sebuah mimpi panjang terhadap bentuk Indonesia yang jaya dan kelak disegani dunia. Dan itu harusnya diwakili orang-orang yang dipercaya Jokowi untuk membawa narasi besarnya. Mereka adalah para menteri dan orang di sekitar Jokowi.

Saya selalu menggambarkan Jokowi adalah pemain catur. Ia menyusun bidak-bidaknya dalam sebuah permainan panjang yang menguras akal dan waktu. Dalam periode pertama, permainan catur Jokowi begitu mengagumkan dengan langkah-langkah yang sulit ditebak, tapi pada akhirnya membuat lawan tandingnya tumbang. Dan sayangnya, periode kedua ini, susunan bidak Jokowi begitu aneh, tidak sesuai dengan nama Indonesia Maju yang digaungkannya.

Sebagai contoh Menteri Agama. Jokowi sudah benar, memilih seorang menteri yang tidak bermasalah dari dua ormas Islam besar di Indonesia. Menterinya kali ini seorang jenderal. Mungkin harapan Jokowi, sang jenderal ini lah yang bisa menjadi benteng Jokowi dalam menghadapi intoleransi di negeri ini.

Seorang jenderal, pasti dong punya taktik dan strategi yang mumpuni. Tapi ternyata sang jenderal tidak bisa menjadi benteng yang tangguh, kawan. Bukannya membangun pertahanan kuat dari kelompok intoleran, beliau terkesan menjadi pendukung mereka. Pernyataannya sering blunder dan malah menjadi cemoohan banyak orang.

Start-nya saja yang keren, "Saya bukan Menteri Agama Islam." Tapi di tengah perjalanan seperti motor kehabisan bensin. Bukannya membawa narasi kemajuan, malah jadi mundur ke belakang karena intoleransi menjadi-jadi.

Siapa yang disalahkan ketika menteri agamanya lemah? Ya, Jokowi. Soalnya Jokowi pernah bilang, "Tidak ada visi menteri, yang ada visi presiden." Dan pernyataan ini malah jadi bumerang kepada Presiden karena ia dianggap membiarkan masalah intoleransi terjadi.

Kadang perlu mundur sejenak ke belakang dan memikirkan kembali strategi terbaik sebelum melangkah ke depan.

Bidak lain yang lemah adalah Menteri Komunikasi dan Informasi, Menkominfo. Entah kriteria apa yang jadi ukuran Jokowi, sehingga memilih seorang Menkominfo yang tidak paham dunia internet sama sekali. Beliau terlihat gagap saat berhadapan dengan situs-situs porno dari luar negeri. Berita hoaks dari media online abal-abal juga masih mendominasi. Ya, bagaimana lagi, usia Menkominfo sudah 63 tahun. Beliau lahir saat gurunya masih Oemar Bakrie, jadi bagaimana bisa paham kemajuan dunia internet yang dikuasai anak-anak muda dengan kepintaran setara Nadiem Makarim.

Yang lucu juga, Menteri Pemuda dan Olahraga atan Menpora. Beliau berumur 57 tahun, sama seklai bukan pemuda dan sama sekali tidak ada rekam jejak dalam olahraga. Catatan yang saya dapat, beliau ini murni pengusaha dan politikus. Lha, kok bisa ya jadi Menpora?

Kenapa Pak Jokowi tidak tunjuk saja misalnya Giring Ganesha, mantan vokalis grup musik Nidji yang sekarang menjadi Presiden E-Sports? Giring jauh lebih cocok bicara olahraga, apalagi olahraga masa depan seperti E-Sports. Dia masih muda, masih 36 tahun dan masuk generasi milenial yang bisa berbicara tentang kemajuan Indonesia dalam kepemudaan dan olahraga. Orangnya juga good looking dan pasti disukai kamera ketika berbicara. Giring lah yang seharusnya cocok membawa narasi Indonesia Maju. Bukan yang tua-tua.

Dulu saya kira Jokowi mau menandingi Malaysia ketika mereka menjadikan Syed Saddiq yang masih berusia 27 tahun jadi Menteri Olahraga. Ternyata yang dipilih sudah pada capek semua.

Menteri yang muda seperti Menteri Pariwisata malah seperti bingung dengan tugasnya. Sekalinya muncul di awal, bikin kehebohan dengan wisata syariah. Habis itu diam, tidak ada suara.

Nah, ada lagi yang lucu. Juru bicara Presiden. Beberapa Presiden di Indonesia, punya juru bicara yang kuat dan disukai kamera. Dulu Gus Dur punya Wimar Witoelar yang unik, punya ciri khas dengan gaya rambut keriting dan bicaranya lugas. Wimar sering muncul di televisi dan menjadi salah satu kekuatan Gus Dur sebagai penyampai pesan istana.

SBY dulu juga punya Andi Malarangeng. Kumisnya yang lebat dan selalu siap dikerumuni wartawan membuat komunikasi antara istana dan publik menjadi lancar.

Juru bicara Presiden bisa dianggap terasnya istana, wajah depan yang selalu dilihat orang ketika lewat. Jadi mereka harus pintar bicara, pintar mengorganisir media, paham bahwa mereka mewakili istana dan juga harus tampil percaya diri, segar, ramah, dan enak dilihat.

KPK juga sempat punya Febri Diansyah yang begitu cool dalam menyampaikan visi dan misi KPK di depan kamera. Kementerian BUMN punya Arya Sinulingga yang charming dan menjadi sorotan media.

Juru bicara Presiden di periode pertama, yaitu Johan Budi, yang mantan jubir KPK, malah selama 5 tahun enggak kedengaran suaranya. Saya juga sempat lupa, dia dulu ada atau tidak, ya?

Juru bicara sekarang muncul memang, tapi sama sekali enggak menjadi representasi Presiden yang berwibawa. Coba kita lihat tweet-nya. Bang Fadjroel, duh maaf bang, enggak tahan untuk enggak kritik abang. Kayaknya abang lebih oke deh kalau ada di belakang layar, daripada nampang di depan. Masak juru bicara Presiden tik-tokan? Hancur wibawa Jokowi kalau begini, bang.

Kalau Pak Presiden mau memilih juru bicara yang oke, sini saya pilihkan. Ada Rizal Malarangeng, dengan suara berat dan wajah tampan. Dia pintar dan menguasai banyak permasalahan. Ada juga Tantowi Yahya, Dubes Selandia Baru yang charming dan flamboyan yang pasti bisa ngobrol enak sama wartawan. Kalau wartawan saja sudah tidak suka dengan penampilan juru bicara, bagaimana mereka bisa cerita yang bagus-bagus terhadap keputusan istana? 

Dan masih banyak lagi sebenarnya menteri-menteri yang kurang oke di Kabinet Indonesia Maju ini. Ada yang sudah tua, ada yang tidak sesuai bidangnya, dan ada juga yang terlalu cuek memberikan pernyataan untuk publik, seperti, "Mari kita hadapi virus dengan doa." Tapi cukuplah segitu dulu, kepanjangan kalau nanti saya ngomong. Saya kan bukan Maheer alias si Soni yang kalau nyerocos kayak senapan otomatis tanpa pegangan.

Mungkin Pak Jokowi harus menyusun ulang kembali bidak-bidak caturnya. Kadang perlu mundur sejenak ke belakang dan memikirkan kembali strategi terbaik sebelum melangkah ke depan.

Ada sebuah pendapat menarik dari seorang kawan. Permasalahan Pak Jokowi sekarang ini adalah dia sudah tidak punya lawan. Tidak ada oposisi yang kuat dalam periode kali ini. Semua dirangkul dan berlayar dalam satu kapal. Dan ini tanpa sadar menjadi sebuah masalah baru, di mana Pak Jokowi jadi tidak lagi punya ukuran bagaimana cara memenangkan pertandingan. Pak Jokowi seperti bermain catur melawan dirinya sendiri. Sebuah permainan tunggal yang sama sekali tidak menarik untuk disaksikan.

Dan di seberang sana, kelompok radikal sedang mengintip untuk menggantikan posisi Jokowi ketika Presiden sudah merasa bosan. Mereka bermain dan mengambil banyak keuntungan saat pertahanan Jokowi yaitu para relawan mulai mundur perlahan-lahan. Dan mudah-mudahan semua ini disadari benar oleh Pak Jokowi dan orang sekitarnya. Jangan sampai rakyat akhirnya yang mengambil posisi dan menjadi lawan catur Jokowi dalam sekian tahun ke depan.

Ini kritik sayang, Pak. Karena kami tetap akan mengawal pemerintahan ini dengan cara kami. Sejak dulu kami punya motto yang menyatukan. "Ini bukan saja tentang Jokowi. Ini tentang NKRI."

*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi

Tulisan ini sebelumnya sudah di-publish dalam bentuk video di Cokro TV dengan judul Denny Siregar: Mainkan Caturnya Lagi, Pak Jokowi

Baca juga:

Berita terkait
Pandangan Denny Siregar soal Omnibus Cipta Lapangan Kerja
Jokowi ternyata tidak mau menyerah. Ia kemudian merancang undang-undang yang bernama Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Tulisan Denny Siregar.
Denny Siregar: Veronica Tan Lebih Dewasa Dibanding Ahok
Pegiat media sosial Denny Siregar mengatakan Veronica Tan lebih dewasa dibanding Ahok Basuki Tjahaja Purnama atau BTP.
Pengalaman Serangan Jantung Denny Siregar Seperti Ashraf Sinclair
"Jantungmu kena." Begitu kata temanku seorang dokter spesialis jantung. Kaget? Pasti. Pengalaman Denny Siregar seperti dialami Ashraf Sinclair.