Denny Siregar: Corona Effect

Amerika diyakini negara kuat, malah ditemukan lebih dari 45 ribu kasus positif corona Covid-19 di sana, dengan 600 orang meninggal. Denny Siregar.
Petugas Palang Merah Indonesia (PMI) berjalan untuk melakukan penyemprotan cairan disinfektan pada Wisma Atlet di Kemayoran, Jakarta, Sabtu, 21 Maret 2020. (Foto: Antara/Risyal Hidayat)

Kalau mau jujur, sebenarnya tidak ada satu pun negara yang siap menghadapi wabah ini. Amerika saja yang diyakini sebagai negara kuat, malah ditemukan lebih dari 45 ribu kasus di sana, dengan 600 orang meninggal karena wabah. Padahal apa sih yang tidak dipunyai Amerika? Mereka punya semua, mulai uang sampai ahlinya. Dan mereka juga hampir bangkrut, karena harus mengeluarkan uang lebih dari 1.500 triliun rupiah untuk menjaga warganya.

Kalau Amerika yang sebegitu kuatnya saja seperti itu, apalagi Indonesia?

Sejak awal Jokowi memang tidak memperkirakan dampak wabah yang begini besarnya. Dia hanya memperkirakan dampak ekonominya yang luar biasa, ketika melihat saham-saham dunia rontok satu per satu. Dan benar saja, gempa wabah yang begitu besar, tsunaminya jauh lebih besar. Teriakan lockdown di mana-mana. 

Teriakan ini bahkan dipolitisasi banyak orang dengan nuansa politik yang sangat kental. Tetapi Jokowi mengeras, meski banyak orang di sekitarnya juga memaksa dia untuk lockdown. Jokowi berpikir, kalau lockdown yang kena hantaman keras adalah masyarakat kecil, para pekerja harian, yang hari ini makan besok terserah Tuhan.

Orang-orang yang menyerukan lockdown itu adalah para kelas menengah, yang mungkin masa kecilnya tidak pernah lapar, sehingga tidak punya empati bagaimana kaki menjadi kepala dan kepala menjadi kaki.

Kebijakan Jokowi sudah tepat. Ia fokus membangun rancangan ekonomi dengan menunda cicilan kredit untuk para pengusaha kecil dan pengemudi online.

Kita tidak punya uang sebesar Amerika kalau ingin me-lockdown negara. Maka Jokowi fokus membangun jaring-jaring pengaman ekonomi, supaya dampak wabah tidak meluas.

Ekonomi ini bahaya memang. Kalau virus bisa membuat beberapa orang meninggal, ekonomi bisa menghancurkan satu negara. Orang lapar bisa gelap mata. Dan jutaan orang lapar, mereka bisa saling memakan sesama.

Kebijakan Jokowi sudah tepat. Ia fokus membangun rancangan ekonomi dengan menunda cicilan kredit untuk para pengusaha kecil dan pengemudi online, juga memberikan stimulus ekonomi pada bank-bank dan mengeluarkan kredit baru kepada pengusaha kecil sejumlah triliunan rupiah sampai harus mengeluarkan cadangan kas untuk menahan rupiah supaya tidak makin amblas.

Jokowi dan jajarannya bisa dibilang bertarung habis-habisan di sini. Ini tahun yang lebih banyak pengeluaran daripada pendapatan. Lha, gimana? Ekonomi dunia berhenti. Bagaimana kita bisa ekspor kalau tidak ada yang beli?

Meski pemerintah pusat sedang sibuk bekerja, ada saja orang-orang yang bukannya men-support mereka, tapi terus menyerang Jokowi. Seperti Rizal Ramli yang terus-menerus meributkan apa yang dilakukan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Padahal dulu ketika dia dikasih kesempatan menjabat sebagai menteri, kerjaannya enggak jelas, malah sibuk konferensi pers di depan wartawan. 

Ada lagi Said Didu, yang lebih sibuk mempermasalahkan bantuan dari China sebagai "hibah" atau "beli". Padahal sudah disentil rekan sejawatnya, Dahnil Simanjuntak, yang sekarang jadi jubir Menteri Pertahanan, bahwa Prabowo sudah negosiasi dengan China dan akhirnya China menghibahkan bantuannya ke Indonesia. Eh, si Didu malah sibuk bikin tagar #AnjingPeking seolah menghina penerima bantuan sebagai pengkhianat negara. 

Belum lagi dari mantan Presiden SBY yang masih baperan merasa masih ada di kursi, memaksa terus supaya Indonesia lockdown. Dia sendiri malah tidak me-lockdown dirinya, malah bikin kongres partai. Dan akhirnya, Bupati Karawang dari Partai Demokrat positif kena wabah, dan semua kader harus diperiksa. Lucu, kan? 

Begitulah situasi di +62. Bahkan mungkin kalau Duterte, atau Putin, atau bahkan Kim Jong Un, harus bertukar kursi dengan Jokowi untuk memimpin negeri ini, mereka bisa menangis sesenggukan. Warga +62 memang enggak bisa dilawan karena cocotnya sungguh maha benar.

Apresiasi untuk Jokowi dan jajarannya dalam memerangi dampak ekonomi akibat wabah ini. Paket ekonomi mereka sungguh berpihak kepada rakyat kecil, bukan kepada pengusaha besar.

Dari semua komentar yang menyerang pemerintah, ada satu komentar yang saya rasa bisa dijadikan patokan oleh Jokowi bagaimana memerangi wabah ini. Komentar ini datang dari Mulan Jameela, yang duduk di kursi sebagai anggota dewan yang terhormat. Kata Mulan, "Salah satu cara untuk mencegah wabah menyebar adalah dengan mandi setiap hari." 

Gila. Jenius sekali. Sama sekali tidak terpikirkan, bahwa kenapa wabah menyerang Indonesia adalah karena warganya kalau mandi bisa dua hari sekali. Bahkan mungkin ada yang seminggu sekali. Salut buat ide brilian Mulan, saya seruput secangkir kopi.

*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi

Baca juga:

Berita terkait
Denny Siregar: Karena Jokowi Pernah di Posisi Mereka
Jokowi paham karena dia juga pernah susah seperti mereka. Masalah dia bukan hanya virus tapi juga agar rakyat tak terdampak keras. Denny Siregar.
Denny Siregar: Saatnya Kembali ke Kopi Tiga Ribuan
Mulai kencangkan ikat pinggang, kawan. Berhemat apa yang bisa dihemat. Guncangan di depan akan semakin kuat. Tulisan Denny Siregar.
Denny Siregar: Terangnya Dokter Handoko Gunawan
Kisah Handoko Gunawan, dokter ahli paru di Graha Kedoya ini adalah fakta bahwa superhero itu ada. Terangnya menembus ras dan agama. Denny Siregar.
0
Hasil Pertemuan AHY dan Surya Paloh di Nasdem Tower
AHY atau Agus Harimurti Yudhoyono mengaku sudah tiga kali ke Nasdem Tower kantor Surya Paloh. Kesepakatan apa dicapai di pertemuan ketiga mereka.