Denny Siregar: Cerita Fiksi dengan Tokoh Bernama Bahar

Sejarah mengajarkan bahwa musuh terbesar sejatinya bukan ada di luar, tapi justru ada di dalam. Ujungnya selalu kekuasaan dan uang. Denny Siregar.
Ilustrasi - Penjara. (Foto: Pixabay/maz-Alph)

Mungkin banyak yang belum tahu kalau front itu sekarang ini lagi goyang. Ibarat gigi mau lepas, sedikit lagi tanggal. Rizieq yang enggak pulang-pulang melemahkan mental seluruh pengikutnya. Padahal dulu skenario "Imam Besar" ditujukan untuk merapatkan barisan mereka dan mengundang massa lain untuk ikut bergabung bersama.

Mirip-mirip apa yang dilakukan Ayatullah Khomeini waktu direpresi oleh Syah Reza Pahlevi di Iran tahun 1980-an.

Tapi yang tidak disadari Rizieq dan kawan-kawan, Indonesia sekarang bukan Iran pada masa kekuasaan Reza Pahlevi. Bangsa Indonesia cukup puas dengan situasi ini, beda dengan Iran pada masa itu yang situasinya mirip ketika kita berada di bawah rezim Soeharto.

Nah kelamaan ditinggal, warga front itu makin goyah. Sedangkan Rizieq sendiri sudah nyaman di sana. Mungkin karena usia, mungkin juga sudah patah arang sejak Prabowo kalah dan meninggalkan dia, nafsu berkuasanya perlahan-lahan pudar.

Dia sudah enggak begitu peduli lagi dengan situasi di Indonesia, apalagi dengan front yang pernah dia dirikan. Hidupnya sekarang murni dari sumbangan jemaah haji dan umrah yang datang.

Beberapa pejabat teras front itu melihat ini sebagai situasi berbahaya. Apalagi pihak intelijen sudah menyusup dan memecah-belah situasi dari dalam. Di dalam sana, mereka saling mencurigai dan bingung siapa kawan dan siapa lawan. Meski di luar tampak tenang, tapi sebenarnya ada keributan-keributan kecil, utamanya di perebutan siapa yang akan jadi pemimpin front itu.

Sejarah sejak lama sudah mengajarkan, bahwa musuh terbesar sejatinya bukan ada di luar, tapi justru ada di dalam. Semua itu selalu berujung pada kekuasaan dan uang.

Memang menggiurkan jadi pemimpin di sana. Jemaahnya banyak, dan mereka siap berkorban harta yang ada. Siapa pun yang jadi pemimpin pasti kaya, karena bisa "jualan" dengan memanfaatkan bargaining politik karena punya massa.

Untuk menjaga barisannya, kadang-kadang poster besar Rizieq dipasang di beberapa tempat sekqdar untuk menguatkan. Tapi pengaruhnya enggak besar. Situasi tetap rusuh. Persis seperti masa jahiliyah, di mana klan-klan di Arab saling berebut pengaruh.

Bahar melihat peluang ini. Dia sendiri sebenarnya bukan anggota front, hanya simpatisan. Kebetulan ada hubungan saudara dari Rizieq. Sejak di penjara, Bahar sudah mendengar bagaimana situasi di dalam front.

Itulah kenapa dia menerima program asimilasi dari pemerintah, meski di awal dia menolak supaya kelihatan gagah. Bahar butuh panggung lebih besar dari sekadar jemaahnya saja. Dan menguasai front itu adalah agenda terpentingnya dia.

Makanya ketika dia keluar, panitia sudah membangun acara besar dengan mempertontonkan Bahar ke depan publik. Tujuannya tentu untuk menambah moril anggota front yang lagi luluh lunglai itu..

Orasi-orasipun dibikin membakar. Video disebarkan. Pesannya adalah "Inilah Rizieq muda. Ayo kembali bergabung dan bersatu!"

Yang Bahar tidak perhitungkan adalah, bahwa klan-klan di dalam belum tentu setuju. Ada yang menganggap Bahar adalah ancaman bagi dia untuk menduduki jabatan penting. Maka dengan berbagai cara laporan pun diluncurkan dengan pesan, "Tolong dia dimasukkan lagi ke dalam."

Makanya ketika polisi menangkapnya juga mudah, karena tidak ada konsentrasi massa untuk memuluskan penangkapan.

Dan itulah yang terjadi. Sejarah sejak lama sudah mengajarkan, bahwa musuh terbesar sejatinya bukan ada di luar, tapi justru ada di dalam. Semua itu selalu berujung pada kekuasaan dan uang.

Kasihan sebenarnya Bahar, yang dijuluki pendukungnya si Raja Singa itu. Dia masih terlalu muda dan hijau untuk paham bahwa politik itu kejam.

Bahar tentu tidak mengerti bagaimana dia bisa masuk penjara lagi, yang dia tahu malam ini dia tidur sendiri lagi. Tanpa teman. Sorak-sorai itu hilang, yang tinggal hanyalah mahkota tanpa kekuasaan.

Nb:

Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi

Baca juga:

Berita terkait
Bahar Smith Dipindah ke Nusakambangan Akibat Massanya
Bahar bin Smith dipindahkan dari Lapas Gunung Sindur ke Lapas Klas I Batu Nusa Kambangan. akibat ulah massa simpatisan pendakwah itu.
Bahar Smith Bebas Asimilasi: Terima Kasih Rizieq Shihab
Terpidana kasus penganiyaan Bahar bin Smith bersyukur bebas dari penjara lantaran asimilasi Kemenkumham. Dia berterimakasih ke Rizieq Shihab.
Bahar Smith: Saya Tidak Takut Besok Dipenjara Lagi
Beredar video di Twitter, Habib Bahar bin Smith mengaku tidak gentar dipenjara lagi, usai dibebaskan melalui program asimilasi Kemenkumham.