"Mudik, gak ada kerjaan di Jakarta." Begitu pesan seorang teman driver taksi. Dia harus mudik karena enggak bisa nyetir lagi.
Bagaimana bisa dapat uang? Dia harus setor ke perusahaan sekian ratus ribu per hari, sedangkan pendapatannya cuman setengah dari kewajibannya. Yang ada, dia utang setoran tiap hari. Daripada ambruk, mending sementara berhenti saja.
Tapi berhenti sementara, masalah baru tiba. Dia jadi tidak bisa bayar kos-kosan. Belum mikirin biaya makan sehari-hari. Akhirnya keputusannya mudik dulu, pulang ke desa. Selain bisa menghemat biaya, juga mencari peluang siapa tahu ada kegiatan di sana.
Itu satu contoh kasus saja, dan ada jutaan kasus yang sama di negeri ini dengan profesi berbeda..
Bayangkan kalau mudik dilarang. Transportasi umum ditutup sehingga orang tidak bisa pulang. Keresahan jutaan orang dalam satu wilayah, seperti keran mampet yang akhirnya meledak keras. Dan kerusuhan sosial bisa tidak terelakkan.
Mungkin itulah alasan kenapa mudik tidak dilarang, tetapi tetap dalam konsep imbauan untuk tidak pulang.
Pada akhirnya kematian karena virus tidak lagi ditakuti. Tetapi bagaimana bertahan hidup dengan perut terisi, itulah yang menjadi fokus saat ini.
Bayangkan kalau mudik dilarang. Transportasi umum ditutup sehingga orang tidak bisa pulang. Keresahan jutaan orang dalam satu wilayah, seperti keran mampet.
Dari teman saya itu, saya mendapat pelajaran bahwa mudik kali ini bukan saja masalah kangen orang tua atau kampung halaman. Tapi lebih banyak karena faktor ekonomi. Tidak ada pekerjaan di kota besar, semua berhenti. Di desa mungkin bisa kembali jadi petani, setidaknya masalah makan bisa teratasi.
Ada seorang teman yang terus-menerus mencaci pemerintah.
Dia bilang, "Kenapa mudik gak dilarang? Pemerintah tidak tegas. Virus bisa menyebar ke mana-mana!" Begitu teriakannya setiap hari dalam statusnya.
Yah, mungkin dia masih punya tabungan. Tapi kelak ketika apa yang dia punyai habis, dia mungkin akan mudik juga karena tidak ada pendapatan.
Mungkin ketika itu terjadi, dia tetap teriak meski berbeda redaksi, "Woiii, pemerintah, apa solusinya untuk ekonomi? Gak kerja apa?"
Manusia itu macam-macam karakternya. Ada yang terus bekerja mencari solusi, ada juga model yang cuman teriak tanpa bekerja. Bahwa solusi belum maksimal, tapi minimal ada usaha.
Jangan seperti kata teman, "Mengeluh itu adalah pekerjaan paling mudah dengan hasil paling minimal."
*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi
Baca juga:
- Denny Siregar: Kenapa Jokowi Tidak Melarang Mudik Lebaran
- Risiko Besar Mudik, Sebar Virus Corona ke Luar DKI