Demokrasi Di Toilet, Plung!

Ketika demokrasi ditopang oleh kemajuan teknologi, menerjang apa saja, melibas batas-batas SARA yang semestinya tetap suci dijaga selamanya.
Ilustrasi

Jakarta, (Tagar, 5/3) - Demokrasi membuat orang dengan mudah menjatuhkan orang lain dengan fitnah. Dengan isu kosong atau dengan berita bohong. Mempermalukan orang lain dengan sedikit kemampuan teknologi di smartphone dan berbekal lembaran beberapa ribu rupiah saja untuk membeli paket data.

Menuduh orang lain kafir pun bisa dilakukan pagi-pagi ketika perut berontak oleh makanan yang semalaman membusuk sambil nongkrong di toilet. Cukup beberapa detik mengunggah, maka buruklah orang dengan fitnah yang terbang melayang ke seluruh dunia. Seiring bunyi plung! oleh sesuatu yang jatuh ke air, entah apa pun itu.

Demokrasi mudah dan murah meriah ini tak melulu dibarengi kesiapan penggunanya. Kesiapan mental dan psikis yang semestinya berbarengan dengan kesiapan intelegensia mutlak dibutuhkan. Dalam kenyataannya, banyak pula yang tingkat kecerdasannya mumpuni tapi tetapi kesiapan mental, psikisnya minus hingga terseret dan menikmati berkubang dalam genangan isu, fitnah tak berdasar. Gelar akademis tinggi pun bukan jaminan.

Bagi sebagian orang melempar pernyataan di dunia maya mungkin disamakan dengan sekedar buang air atau buang sampah di aliran kali. Tak ada akibat apa-apa, tak berpengaruh, dan tak jadi soal baginya apakah kotoran dan sampahnya akan menimbulkan masalah di ujung kali.

Demokrasi recehan, karena murah meriah, seperti ini tentu berbahaya. Segala aturan dibuat, segala akibat mengikat. Kini telah mulai diterapkan penegakan aturan atas kelakuan iseng sambil nongkrong pagi itu. Satu persatu mereka yang berlagak jagoan dengan hinaannya, mereka yang berlagak cerdas dan meremehkan aturan dengan caci makinya, dicokok polisi. Memang belum semuanya, tapi polisi harus memulai. Dan itu sudah dilakukan terhadap mereka yang seenaknya melecehkan orang lalu hidup tenang seperti tak bersalah. Sementara sang korban fitnah menjadi bulan-bulanan kelompok lainnya yang tentu sama tak siapnya menerima kemajuan teknologi masa kini.

Orde Baru mungkin represif dan otoriter. Tetapi satu hal baik yang bisa tetap aktual dan relevan dilaksanakan terus hingga kini adalah aturan SARA yang dijaga betul ketika itu. Tindakan keras menghukum mereka yang bermain dengan politik SARA memang terasa menenteramkan keadaan politik selama 32 tahun dibawah kepemimpinan Soeharto. Letupan memang terjadi. Terutama dirasakan oleh umat muslim saat itu. Peristiwa Talangsari dan Tanjung Priok adalah sedikit contoh betapa Soeharto bisa memegang kendali keamanan negara dulu.

Kini setelah 20 tahun Soeharto ditumbangkan oleh gerakan reformasi mahasiswa bersama rakyat, saat kebebasan terbuka luas, ketika demokrasi ditopang oleh kemajuan teknologi yang bisa menghubungkan orang dan dunia secara seketika, segala hal yang selama ini tersumbat seakan pecah tak tentu arah, menerjang apa saja yang dilaluinya. Demokrasi seenaknya melibas batas-batas SARA yang semestinya tetap suci dijaga selamanya.

Tuhan tak perlu dibela. Dia sudah Maha Segalanya. Belalah mereka yang diperlakukan tidak adil dan dizalimi. Kalimat yang diucap Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini selalu terngiang dan menjadi pemupuk semangat positif serta membangkitkan optimisme melawan kisruh politik di negeri ini.

Kisruh yang semata disebabkan oleh kompetisi tidak fair akibat rambu-rambu yang selama ini ditabukan dilanggar seenaknya oleh mereka yang mendukung satu atau beberapa kelompok untuk menjatuhkan kelompok lainnya. Suku, Agama, Ras dan Antargolongan atau SARA adalah rambu politik itu.

Kisruh yang selalu ditingkahi oleh fitnah, bantah membantah, berita bohong, dan isu palsu saling berbalas. Konyolnya, atau menjijikannya, semua itu selalu bertopeng agama sekadar berebut kedudukan di dunia. Tak ada hari, jam, menit atau detik yang tak dijejali argumen bodong saling sorong serba bohong yang seliweran di dunia maya.

Politik itu jadi menakutkan. Politik di Indonesia jadi momok untuk membangun bangsa dan sistem tata nilai sosial di masyarakat. Betulkah politik seharusnya begitu? Benarkah bahwa politik itu kotor, kejam, dan penuh bahaya? Mungkin benar, jika acuannya adalah saling berjuang melalui kacamata sendiri, melalui kaca mata partai, kelompok, atau golongannya.

Tapi ingat, ada satu sisi politik yang bisa dinikmati bersama-sama. Politik tak melulu kejam jika acuan yang dipakai bukanlah egoistik sepihak.

Politik itu bisa santun. Politik itu adalah seni. Dan segalibnya seni, tentu tujuannya adalah membuat hasil seni itu seindah mungkin hingga bisa dinikmati orang banyak secara bersama-sama dengan nyaman. Politik bisa dinikmati jika cara yang dipakai adalah bagaimana menciptakan harmoni dari sekian banyak suara sumbang yang berbunyi berbarengan.

Politik tak harus bertentangan dan atau saling mempertentangkan. Mencari kesamaan dari sekian banyak perbedaan tentu lebih elok , bukan? Mencari kesamaan bukan berarti menyamakan perbedaan, itu kuncinya. Politik itu kompromis dan kompromistis. Karena sesungguhnya, politik itu adalah seni mencapai kompromi, setuju?

Penulis: Riffi Rifzaldi (Tulisan ini adalah opini penulis)

Berita terkait
0
Parlemen Eropa Kabulkan Status Kandidat Anggota UE kepada Ukraina
Dalam pemungutan suara Parlemen Eropa memberikan suara yang melimpah untuk mengabulkan status kandidat anggota Uni Eropa kepada Ukraina