Untuk Indonesia

Delusi Kemenangan Prabowo

Delusi kemenangan Prabowo Subianto dalam Pilpres 2019. Tulisan opini Eko Kuntadhi.
Prabowo Subianto. (Foto: Facebook/Prabowo Subianto)

Oleh: Eko Kuntadhi*

Pencoblosan sudah selesai. Untuk hasil pasti siapa pemenang Pilpres, kita menunggu hasil hitung real KPU. Mungkin baru sebulan baru ketahuan hasil pastinya. Tapi manusia gak betah dengan ketidakpastian. Ada metode ilmiah untuk menebak bagaimana hasil itu nanti. Maka dilakukanlah quick count atau hitung cepat.

Melakukan hitung cepat gak sembarangan. Ada metode, ada penentuan sampel, ada kriteria sampel, dan formulasi penghitungan. Semua berlandaskan standar ilmiah. Simpelnya quick count adalah metode statistik biasa. Orang yang pernah belajar di perguruan tinggi pasti pernah mendapatkan mata kuliah metode survei atau statistik.

Dari hasil quick count inilah kita tahu suara Jokowi jauh lebih unggul dibanding suara Prabowo. Bersandar pada logika ilmu pengetahuan, bisa dikatakan Jokowi akan melanjutkan kepemimpinannya pada periode berikutnya.

Inilah yang dinamakan politik akal sehat. Politik yang bersandar pada metode ilmiah. Bukan politik yang hanya mengandalkan asumsi dan grasa-grusu.

Sialnya, Prabowo mengklaim dialah pemenang Pilpres. Entah datanya dari mana. Dia tiga kali mengumumkan kemenangannya. Seperti biasa, pakai acara sujud syukur segala. Lantas main presiden-presidenan. Drama 2014 terulang kembali.

Pengumuman Prabowo itu mengusik akal sehat publik. Klaim kemenangan Prabowo bisa dilihat sebagai halusinasi belaka. Iya, kita maklum, dia ngebet mau jadi Presiden. Tapi, kalau rakyat sudah menentukan pilihannya, terus mau gimana? Mestinya diterimalah.

Sialnya, kengototan Prabowo ini disambut oleh gerombolan pendukung kelompok Islam garis keras. Tujuan kelompok ini sejak dulu memang ingin membenturkan masyarakat. Memancing konflik horisontal. Kebetulan ada satu Capres yang kebelet menjabat, mereka memanfaatkan psikologi Prabowo itu untuk mendesakkan agendanya.

Berbeda dengan parpol pendukung Prabowo yang memilih lebih bersikap rasional. PKS dan PAN sudah menyatakan mengakui hasil hitung cepat. Sedangkan Partai Demokrat malah meminta semua kadernya untuk menarik diri dari BPN Prabowo-Sandi.

Bagi kolompok Islam garis keras, konflik horisontal adalah tujuan utama. Tentu mereka gak bisa meledakkan sendiri. Momentum Pilpres ini yang mereka gunakan untuk menunggangi Prabowo untuk meledakkanya.

Makanya ketika pernyataan kemenangan Prabowo diumumkan ketua-ketua partai pendukung tidak nongol. Bahkan Sandiaga juga tidak kelihayan batang hidungnya. Hanya di konferensi pers ketiga Sandi terlihat. Dengan wajah ditekuk. Jauh dari raut orang yang menang Pemilu.

Tapi sepertinya Prabowo memang gak peduli. Ia lebih mendengarkan gerombolan garis keras di sekelilingnya. Bahkan mereka berencana menggelar syukuran masal di Monas. Sebuah perhelatan yang rawan konflik.

Bagi kolompok Islam garis keras, konflik horisontal adalah tujuan utama. Tentu mereka gak bisa meledakkan sendiri. Momentum Pilpres ini yang mereka gunakan untuk menunggangi Prabowo untuk meledakkanya.

Jadi sebetulnya mereka hanya mau mendorong Prabowo untuk membakar sumbu konflik. Setelah konflik meledak akan dirembetkan ke seluruh Indonesia. Mereka akan menari di atas bara dan darah rakyat.

SBY menyadari permainan berbahaya ini. Ia menegaskan kadernya untuk tidak terlibat tindakan yang akan mengacaukan Indonesia.

Untung saja TNI dan Polri sigap. Sepasukan sudah disiapkan di Monas. Perhelatan yang rencananya mau digelar gerombolan itu urung dilaksanakan. Meski sebagian gerombolan itu hendak memaksakan acara terus digelar,  sepertinya Prabowo ragu. Ia mulai sadar dirinya hanya ditunggangi.

Tapi mau gimana lagi. Nafsu berkuasa jauh mendominasi ketimbang kesadaran. Prabowo tetap hanyut dalam permainan berbahayanya. Ia merasa melambung disebut Presiden Prabowo. Ia susah menutupi libido kekuasaannya.

Padahal, jika mengamati dari hasil Pemilu bisa dibilang Prabowo telah kalah dua kali. Pertama dia kalah sebagai Capres. Kedua, sebagai ketua umum Gerindra nyatanya ia gagal meningkatkan elektabilitas partainya.

Karena gaya kampanyenya lebih didominasi politik identitas. Akibatnya justru PKS yang diuntungkan. Suara PKS naik drastis pada Pemilu 2019 ini.

Pasca Pilpres ini, kita menyaksikan seorang Capres yang memamerkan halusinasinya kepada publik. Di belakangnya ada gerombolan orang yang menunggu konflik meletup.

Semoga bangsa ini dijauhkan dari segala pertikaian.

*Penulis adalah Pegiat Media Sosial

Baca juga:

Berita terkait