TAGAR.id, Jakarta – Sinar matahari pagi mencapai puncaknya di atas lereng bukit Thailand yang hijau saat 20 pekerja migran menaburkan bibit padi baru ke sawah yang basah, menandakan dimulainya musim tanam padi di Provinsi Chiang Mai, Thailand utara.
Kecepatan dan kesigapan adalah kekuatan pendorong bagi kelompok pekerja laki-laki dan perempuan itu, sebagian besar dari negara tetangganya Myanmar, yang dibayar per hektar untuk menanam padi dan dibayar 35 dolar AS atau setara dengan Rp 522.779,25 sehari, tetapi bekerja dari senja hingga fajar.
Para lelaki dan perempuan menyeberang ke Thailand sebagian secara ilegal untuk mendapatkan upah yang lebih tinggi dari rata-rata karena kabar peningkatan produksi beras di negara itu berarti tambahan hari di ladang. Di tengah kekhawatiran akan kekurangan gandum di Rusia dan Ukraina, ekonom Thailand mengatakan permintaan beras akan meningkat tahun ini yang dipicu oleh perang di Ukraina dan dampaknya terhadap harga komoditas global.
Bagi Thailand, sebagai pengekspor beras tertinggi ketiga di dunia setelah India dan Vietnam - ada harapan tambahan keuntungan bagi para pekerja. Meskipun para analis memperkirakan kekurangan gandum Eropa akan membantu meningkatkan keuntungan bagi produsen beras sebagai gantinya, banyak pekerja sektor ini menghadapi hambatan lain.
“Saya ingin pemerintah membantu kami, para petani lebih banyak lagi, bukan hanya membantu tengkulak, karena kami menginvestasikan lebih banyak uang ke bisnis ini daripada mereka. Pupuk itu mahal, biaya pekerjanya tinggi, dan itu tidak sepadan,” kata petani Prajuk Kantiya, yang mengawasi kru yang bekerja.
Mata uang baht Thailand yang lemah ikut membuat harga ekspor beras lebih menarik tetapi keberlanjutan peningkatan produksi beras dalam jangka panjang masih dipertanyakan. (my/jm)/voaindonesia.com. []