Cikal Bakal Fenomena Klitih di Yogyakarta

Klitih, istilah di Yogyakarta pada awalnya adalah bermakna ngelayap, keluyuran, tapi kemudian menjadi sebutan bagi gerombolan remaja pembuat onar.
Keenam pelajar yang diduga klitih diamankan Selasa 31 Oktober 2019 dini hari tadi. (Foto: dok Humas Polda DIY/Tagar/Evi Nur Afiah)

Yogyakarta - Kaca etalase warung makan Tores Penyetan di Jalan Angga Jaya, Condongcatur, Kabupaten Sleman, terlihat pecah. Di sekitarnya beberapa barang lain berserakan. Etalase dan warung milik Nana 26 tahun, tersebut dirusak segerombolan remaja, yang lebih dikenal sebagai pelaku klitih, pada Sabtu malam, 4 Januari 2020.

Klitih, istilah khas di Yogyakarta yang beberapa tahun lalu artinya semacam ngelayap, keluyuran, pergi tanpa tujuan jelas. Sedangkan sekarang, klitih adalah sebutan untuk gerombolan anak muda atau remaja yang sering berbuat onar di jalanan, melakukan tindakan kekerasan, bahkan sampai melukai korbannya dengan senjata tajam. Sasarannya acak, mulai dari pengguna jalan hingga warung yang buka sampai tengah malam.

Sabtu malam itu sekitar pukul 23.00 WIB, gerombolan remaja bersenjatakan celurit, datang dari arah utara. Mereka tiba-tiba menyerbu masuk dan merusak barang-barang di warung Nana. Mulai dari etalase hingga peralatan memasak. Seorang pembeli yang sedang makan, ketakutan melihat aksi barbar para pelaku klitih itu, berusaha menyelamatkan diri dengan berlari menuju lantai dua warung itu.

Tapi naas, beberapa pelaku mengejarnya hingga ke atas, lalu mengayunkan celurit yang dibawanya, tepat mengenai kepala pembeli itu. Darah mengucur dari luka akibat sabetan senjata berbentuk bulan sabit tersebut. Melihat korbannya terluka, gerombolan itu melarikan diri menuju selatan, ke arah Gejayan.

Pemilik dan karyawan langsung keluar untuk mengecek keadaan di bawah dan membawa korban ke rumah sakit terdekat dibantu warga lain. "Korban bersimbah darah langsung dilarikan ke rumah sakit. Di bawah juga sudah berantakan, sudah kacau. Kaca estalase pecah, kursi patah," ucap Nana, Minggu, 5 Januari 2020.

Serangan pelaku klitih terhadap warung di sekitar tempat itu, bukan kali pertama. Kata Nana, sejak September 2019 hingga awal Januari 2020, kasus perusakan warung makan di sekitar Jalan Angga Jaya sudah empat kali terjadi.

Bahkan, tiga hari sebelum warungnya dirusak para pelaku klitih, sekelompok remaja juga merusak warung roti dan sebelumnya toko sembako. Gerombolan ini menghancurkan kaca etalase toko roti, dan barang-barang di toko kelontong diacak-acak hingga berserakan.

Orang tiba-tiba menjadi klitih itu tidak ada.

sd-smpEnam pelajar diduga adalah klitih, ditangkap Kepolisian Daerah Yogyakarta, Selasa dini hari, 31 Oktober 2019. (Foto: Dok Tagar)

Sekitar sebulan sebelumnya, tepatnya pada 5 Desember 2019, ada enam pelajar yang diamankan personel Polsek Umbulharjo di Banguntapan, Bantul. Mereka diduga kuat sebagai pelaku klitih yang membacok seorang mahasiswa pada 10 November 2019.

Polisi menetapkan tiga terduga pelaku utama. Mereka adalah inisial AM 17 tahun, yang berperan sebagai eksekutor, NS 15 tahun sebagai joki, IN 15 tahun sebagai pendamping.

Penyebab Klitih

Sosiolog dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Bambang Kusumo Prihandono, menyebut klitih merupakan persoalan kriminal, kekerasan, juga persoalan anak muda, yang terjadi di Yogyakarta. "Ini sebuah fenomena yang bisa dilihat dari berbagai sudut pandang, dari pelaku, penyebab, dan fenomenanya," ucapnya saat dihubungi Tagar, Rabu, 8 Januari 2020.

Dilihat dari sudut pelaku, mereka merupakan remaja berusia antara 15 hingga 18 tahun. Mereka tidak melakukan aksi kriminal berskala besar, tapi dampak dari aksi mereka sangat luar biasa meresahkan, mulai dari pengrusakan, melukai orang lain, bahkan hingga ada korban yang meninggal dunia.

"Fenomena kriminalitasnya bukan seperti perampokan, tapi semacam kekerasan, yang bisa dikatakan lebih banyak untuk menunjukkan eksistensi orang muda itu, bagaimana keterdesakan remaja-remaja itu," kata Bambang.

Para pelaku klitih sebenarnya terdesak dalam sebuah proses sosial, sehingga mereka mengungkapkan kekecewaan dan stresnya, serta membangun identitasnya dengan tindakan kekerasan-kekerasan itu. Untuk mengetahui penyebab aksi klitih, harus dilihat dari proses terbentuknya, yakni proses-proses peminggiran mereka, bagaimana mereka tersingkir dari lingkungannya.

"Itu yang kemudian harus kita lihat, karena kenakalan-kenakalan dan kekerasan remaja itu kan tidak tiba-tiba datang. Orang tiba-tiba menjadi klitih itu tidak ada. Ini melalui sebuah proses," tutur Bambang.

Setelah proses pembentukan itu terjadi, termasuk membentuk kelompok-kelompok, proses selanjutnya adalah aksi berupa tindakan kekerasan. Para pelaku melaksanakan aksinya karena mereka ingin memiliki identitas, kekuasaan, bahkan mungkin menginginkan adanya keuntungan dari segi ekonomi.

Kriminal, klitihMobil korban melaju kencang menabrak dua pelaku kriminal klitih yang mengendarai sepeda motor di Jalan Kebonagung-Seyegan, tepatnya di depan Puskesmas Seyegan, Sleman, Jumat, 7 Desember 2020. (Foto: Dok Tagar)

Bambang menjelaskan, aksi pelaku klitih muncul dari masyarakat yang tertutup, dalam artian menutup pintu untuk mereka, untuk kelompok-kelompok yang tidak sejalan. Itu terjadi karena mereka berada di kota yang pro moralitas tunggal, misalnya menilai bahwa hanya agama yang bisa membuat seseorang menjadi baik. Sehingga orang atau remaja yang tidak bisa atau tidak mau masuk dalam pandangan itu, menjadi tersingkir.

Bambang memastikan bahwa para pelaku klitih merupakan orang-orang yang tersingkir, bukan hanya dari norma tapi juga struktur ekonomi, pendidikan, dan sosial. "Misalnya orang sudah kelas bawah, enggak punya apa-apa, goblok le sekolah (di sekolah bodoh), kemudian enggak pernah punya peran dalam masyarakat, dianggap sebagai orang sing ora tau (yang tidak tahu) jelas, enggak beragama, itu dicap sebagai moralnya enggak bagus, isinya cuma ngisruh (membuat onar)."

Akhirnya, judgement atau penghakiman oleh masyarakat itu tertanam dalam pikiran mereka, membentuk suatu keyakinan bahwa mereka memang remaja yang seperti itu. Hasilnya, mereka mereproduksi penilaian masyarakat tersebut dengan wujud tindakan kekerasan yang seperti klitih. "Jadi siapa yang membentuk? ya masyarakat sendiri. Siapa yang membuat mereka menjadi klitih? ya masyarakat sendiri."

Diatasi oleh Masyarakat

Sebagai sesuatu yang dibentuk dan diciptakan masyarakat, klitih juga dapat diatasi atau dihilangkan oleh masyarakat. Salah satu hal yang diyakininya dapat mengurangi atau mengatasi aksi klitih, adalah dengan meningkatkan toleransi di masyarakat. Dengan masyarakat yang lebih toleran, mereka akan menjadi lebih terbuka pada sesuatu yang berbeda.

"Kalau masyarakatnya lebih toleran, lebih terbuka, bahwa masyarakat itu kan ora mung dinggo wong pinter (tidak cuma untuk orang yang pintar), ning wong bodo wae yo iso tumbuh (tapi orang bodoh pun bisa tumbuh), itu otomatis memberikan ruang yang lebih terbuka pada mereka yang tersingkir," tutur Bambang.

Demikian pula dengan toleransi, bahwa untuk menjadi orang baik, tidak harus dengan jalan agama. Dengan semakin terbukanya ruang di kota dan di masyarakat, maka masyarakat akan mempunyai toleransi dan menjadi lebih sehat secara sosial psikologi. "Tanpa toleran, kekerasan budaya, verbal, simbolik yang selalu ada akan menciptakan klitih itu, karena klitih itu reproduksi kekerasan yang paling nyata. Itu produk dari yang kita ciptakan sendiri." []

Baca juga:

Berita terkait
Polisi Tangkap 10 Pelaku Klitih Tiga Lokasi di Jogja
Polisi menangkap 10 pelaku klitih yang merusak dan membacok korban di tiga lokasi yang berbeda di Yogyakarta. Usia mereka 17 - 21 tahun.
Mengapa Klitih Pelajar juga Merusak Warung di Jogja?
Aksi klitih tidak sekedar melukai korban dengan senjata tajam. Mereka juga merusak warung. Dalam lima bulan terakhir empat warung menjadi sasaran.
Klitih Pelajar Serang Orang di Jalan Moses Gatutkaca
Sekelompok pelajar menyerang 2 orang di Jalan Moses Gatotkaca Sleman tadi malam. Korban mengalami luka setelah disabet dengan senjata tajam.
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.