Cerpen: Monumen Kertas

Keluarga Pak Madi yang sudah tinggal di daerah ini sejak tahun 1975 termasuk penghuni awal.
Ilustrasi cerpen Monumen Kertas. (Sumber: Pixabay/ArmOrozco)

Cerita Pendek: Monumen Kertas
Oleh: Budi Utomo


Mereka berkumpul di rumah Pak Madi. Keluarga Pak Madi yang sudah tinggal di daerah ini sejak tahun 1975 termasuk penghuni awal. Rumah-rumah lain bermunculan di gang sempit di belakangnya.

     “Katanya dulu rumah ini angker? Kalau malam ada suara-suara wanita menangis?”

     “Tidak, sejak keluarga kami menempatinya,” Ujar Iwan, anak pertama Pak Madi.

     Pak ketua RT berdehem, mencari-cari kesempatan untuk bicara.

     “Bapak lihat atau dengar sendiri?” Tanya Iwan.

     “Kata tetangga sih,” ucap tamu itu sok tahu, sambil mencari-cari alasan.“Saya pindah ke sini kan baru saja.”

     Iwan tidak perlu memperdulikannya. Tamu yang berkumpul di rumahnya itu adalah para penghuni gang sempit di belakang. Mereka masih satu RT dengan keluarga Pak Madi.

     “Bapakmu dan Pak Edi yang membantu kami saat kami pindah kesini.”

     Akhirnya Iwan tidak sabar untuk meladeninya. “Bapak-bapak sering bilang kalau dulu rumah kami ini adalah tempat penyiksaan tawanan perang,” sergah Iwan sambil mengedarkan pandangan pada setiap orang di depannya. “Sebenarnya perang apa sih?”

     Semua diam. Tidak ada yang bisa menjawab.

     “Saya ini pemerhati sejarah,” Kata Iwan tanpa bermaksud menyombong. “Yang saya tahu, Agresi Belanda akhir tahun 40-an tidak sampai ke daerah sini. Dan bahkan, aturan perang saat itu sudah sangat ketat. Belanda bisa kena sangsi dari PBB kalau bertindak semena-mena, menyiksa para tawanan. Bapak-bapak tahu, Jepang, Jerman, dan Italia yang kalah perang saja tidak diperlakukan layaknya binatang. Mereka malahan diajarkan teknologi oleh negara pemenang perang, agar tidak memikirkan balas dendam.”

     “Kita kan cuma meneruskan cerita dari orang-orang tua kita, Wan,” Lontar ketua RT, yang kebetulan seusia dengan Iwan. Ucapan itu disambut dengan anggukan oleh yang lain.

     “Benar Nak Iwan,” Sambut Pak Edi dengan lirih dan hati-hati, mewakili generasi yang lebih tua. Selain Pak Madi, Pak Edi juga seorang yang dituakan di situ. Dia dihormati karena sebagai makelar tanah, para pendatang merasa berhutang budi pada Pak Madi saat membeli rumah atau lahan di sekitar situ dulu. “Itu sudah cerita masa lalu. Saya yang mengalaminya saja, tidak ingin mengungkit-ungkit hal itu lagi.”

     Iwan tersenyum untuk meluluhkan suasana. “Menurut saya aneh saja setiap orang mempergunjingkan tempat tinggal kami ini, tanpa disertai fakta yang jelas.” Dan ketika suasana sudah benar-benar santai, tiba-tiba Iwan tertawa geli. “Biasanya kalau rumah dikatakan angker karena bekas tempat penyiksaan tawanan perang, tidak ada yang bisa menyebutkan perang apa itu.”

     Ketua RT menyenggol lengan tetangga yang tadi melontarkan desas-desus dalam acara silaturahmi ini, sebagai peringatan agar jangan memperpanjang pembicaraan itu. Pak Edi tertunduk, tidak ingin menanggapi. “Bagaimana keadaan Pak Madi, Wan?” Kali ini pandangan Pak RT tertuju pada tuan rumah. “Maafkan kalau kami belum sempat menengok beliau di rumah sakit. Mungkin besok atau lusa.”

     “Beliau baik-baik saja, dan sekarang masih di rumah sakit,” Jawab Iwan tanpa keyakinan. Nada suaranya tiba-tiba menjadi berat. “Terima kasih atas perhatian dan waktu yang telah Bapak-Bapak berikan pada beliau.”

     Para tetangga itu masih menunggu.

     “Sebenarnya beliau tidak baik-baik saja.” Kali ini dia mengucapkannya dengan nada prihatin. “Tapi kami sekeluarga sudah pasrah pada Yang Kuasa.”

     “Kami semua ikut mendoakan agar Pak Madi selalu mendapat jalan yang terbaik dari-Nya.”

***

     “Gila kamu Ed, rumah ini yang kamu tawarkan sama aku!” Seru Madi gusar.

     Edi menarik napas, seperti sudah bisa memperkirakan keterkejutan Madi.

     “Dasar makelar gebleg kamu.”

     “Tapi harganya bagus kan,” Belanya sambil mengacungkan dua jempol.

     “Aku tidak perduli masalah harga,” Dia mengoreksi dengan ragu-ragu. Beberapa detik kemudian dia meralat, “Memang harganya bagus, tapi kalau rumah ini, ya tidak ada gunanya.”

     Makelar itu pasrah. “Kalau kamu tidak tertarik, kita cari rumah lain saja.” Pandangannya tidak lepas dari rumah itu. “Sebenarnya sayang sekali kalau tidak kamu ambil, Mad. Ini investasi yang bagus di masa depan.”

     “Kamu ingin aku tinggal disini?” Tanyanya dengan ekspresi antara tidak percaya dan terhina.

     “Di Jakarta, rumah genderuwo saja harganya tetap mahal,” Bela Edi sambil berjalan menjauh. Madi menyamakan langkah disampingnya.

     “Kamu kan orang sini, jadi tahu bagaimana cerita sebenarnya? Bagaimana kabar pemilik rumah ini sekarang?”

     “Sejak dibuang di pulau Buru, Mbah Kromo sudah tidak diketahui keadaannya. Mungkin masih hidup, atau sudah meninggal.”

     Madi sangsi. “Semoga dia bisa bertahan. Orang tua seperti dia pasti sulit sekali hidup di pulau terpencil yang masih ganas itu.”

     “Dulu rumah ini mau diambil alih sama interogator, tapi ternyata tidak sudi.”

     Madi menunggu.

     “Banyak yang mengganggu,” ucapnya ngeri. “Interogator itu bilang kalau rumah ini tidak akan tenang, selamanya.”

     “Siapa interogator itu?”

     Makelar itu mengangkat pundaknya. “Orang itu sudah lama pindah ke Jakarta. Katanya sejak menjadi interogator, dia mulai dekat dengan orang-orang penting di pusat. Mungkin sekarang dia sudah menjadi orang penting juga disana.”

     “Apa tugasnya cuma menginterograsi saja?”

     Madi malah mendapat pandangan curiga. “Pertanyaanmu sangat aneh, Mad. Awas lho ketahuan aparat kamu bisa digebuk, karena mau bela kaum kiri!”

     “Aaalah, aku kan cuma mau tahu latar belakang rumah ini,” Jawab Iwan bersungut-sungut menunjuk rumah tadi, sambil bersiap-siap akan berlalu. “Kalau kamu tidak mau jawab, kita cari yang lain.”

      Edi terkekeh sejenak, dan langsung memasang tampang serius. Dia berkata pelan, “Sejak ada gestapu di Jakarta sana, rumah itu menjadi markas dadakan. Tempat pemeriksaan, atau apalah namanya. Paling tidak ada lima truk besar setiap malam, membawa para wanita yang harus diperiksa.”

     “Apakah cuma diperiksa saja?” Madi mengulang pertanyaannya dengan tidak sabar. Dia mengganti kata interograsi karena terdengar resmi.

     “Aku tidak tahu. Kalau cuma diperiksa, tentu tidak ada suara tangisan dan jerit kesakitan dari rumah itu. Itu terjadi dari akhir tahun '65 sampai pertengahan tahun '66.”

     “Bagaimana nasib para wanita itu setelah diperiksa?” Madi mengucapkan diperiksa dengan ragu-ragu.

     Edi mengangkat pundak. “Kalau mereka benar-benar terlibat gestapu, seharusnya dibuktikan di pengadilan. Kalau tidak terlibat, seharusnya ada kepastian nasib, untuk yang hidup atau sudah meninggal. Minimal penanda kecil atau nisan atau monumen peringatan. Gelandangan dan orang gila saja dikubur dengan layak kok.”  

     Ketegangan dan rasa bersalah merayap di pundak mereka berdua, karena membicarakan sesuatu dengan berbisik-bisik. “Monumen? Semacam pengingat atas hidup mereka ya Ed?” Madi tidak yakin. “Kenapa memilih rumah Mbah Kromo untuk tempat pemeriksaan?”

     “Setelah Mbah kromo yang hidup sendiri ditahan karena dianggap simpatisan partai komunis, rumah ini tidak ada yang punya.”  

     “Kalau bukan Mbah Kromo yang akan menerima hasil penjualan rumah ini, lalu siapa yang menerimanya?” Tanyanya sambil melirik rumah yang ditawarkan Edi. Rumah yang dibangun tahun '50 an itu sebenarnya menyenangkan. Kalau pohon mangga di samping kanannya dipotong sedikit, kesan angkernya akan berkurang dan jadi lebih asri. Anak-anaknya bisa berlarian di halamannya yang luas. Hanya ada satu masalah, yaitu tentang keangkeran rumah itu. Madi berpikir sesuai ucapan Edi tentang penanda atau nisan atau mungkin monumen untuk menghormati arwah-arwah di rumah itu.  

     “Ada kerabat jauh Mbah Kromo yang menyuruhku menjualnya, dan akan menyumbangkan uang penjualannya. Itu pesan Mbah Kromo sebelum dibawa ke pulau Buru.” Sesaat kemudian Edi mendengus pelan. “Tapi susahnya minta ampun.”

     “Jelas saja,” Sambut Madi cukup sengit. “Sudah tahu rumah tidak tenang, masih kamu tawarkan. Bahkan kamu tawarkan sama aku, yang masih teman baikmu, Ed!”

     Dua hari kemudian Madi membayar tunai dan memboyong istrinya ke rumah itu pada pertengahan bulan Juni 1975.

***

     Bu Madi tergopoh-gopoh menuju ke ruang makan. “Di mana kertas yang biasa ditaruh di meja kerja bapakmu, Wan?”

     Iwan dan yang lain memandang Bu Madi tidak mengerti. “Kertas?”

     “Iya. Tugu kecil setinggi setengah meter yang terbuat dari kertas, dan selalu berada di meja kerja bapakmu.” Bu Madi menerangkan mereka sambil menggerak-gerakan tangannya. Ada sedikit kekhawatiran baik di wajah maupun nada suaranya.  

     “Mungkin ikut dibuang oleh tetangga waktu membantu membersihkan rumah saat pemakaman kemarin,” Terangnya secara sambil lalu. Yang lain kembali melanjutkan menikmati sarapan mereka setelah jeda yang tidak begitu penting itu. “Barangkali di tempat sampah.”

     Bu Madi terperanjat. “Semoga belum diambil tukang sampah.”

     Sesaat kemudian Iwan melihat ibunya masuk dengan wajah berseri-seri dan memegangi sebuah kertas berbentuk tugu. “Akhirnya ketemu ya, Bu,” Sambutnya dengan lega. Iwan juga lega, suasana hati ibu dan adik-adik perempuannya sudah berubah. Tadi malam dia mendengar mereka menangis sepanjang malam.

     Bu Madi berhenti sejenak dan menatap mereka serius, “Seminggu setelah menempati rumah ini, almarhum bapakmu membuat tugu dari kertas ini. Dia menyebutnya monumen. Setelah itu rumah yang kita tempati ini menjadi tenang.”

     Kata tenang tersisa di udara ruang makan itu untuk beberapa saat. Semua yang di meja makan berpandangan tidak mengerti. Adik Iwan berbisik, “Apa hubungannya antara kertas tua itu dengan keadaan rumah ini menjadi tenang?”

     Bu Madi tidak mendengar karena sudah mendekati meja kerja.

     Seusai sarapan mereka, beberapa menantu dan cucu berpamitan pada Bu Madi dalam suasana duka. Kebanyakan dari mereka memberikan alasan kaku tentang kesibukan kerja atau sekolah yang tidak bisa ditinggalkan. Iwan dan adik-adiknya masih tinggal di rumah itu, minimal sampai acara selamatan tujuh hari meninggalnya Pak Madi.

     Diam-diam Iwan menyelinap ke meja kerja ayahnya untuk memperhatikan monumen kertas itu. Dari ujung ke ujung, dari depan ke belakang, dari luar ke dalam. Meskipun kini sedikit terkoyak karena sempat berpindah ke pembuangan, monumen itu cukup kokoh, dan nampaknya selalu diganti dengan kertas yang baru, apabila kertas yang lama sudah tua atau rusak.

     Di bagian dalam, ada tulisan tangan bapaknya yang cukup kecil. Dia membacanya dalam hati, ‘Untuk Mengenang Para Korban Tahun 65 – 66’. Iwan mengembalikan monumen itu di meja kerja. Tidak ada yang boleh memindahkannya ke manapun juga, apalagi ke tempat sampah.

     Ternyata yang menangis sepanjang malam bukan ibunya atau adik-adik perempuannya. Arwah-arwah itu menangis karena  monumen peringatan atas hidup mereka telah dibuang di tempat sampah. []


*Penulis adalah jurnalis Tagar yang berkedudukan di Semarang. Seorang pemerhati kultur pop lokal dan internasional.

Berita terkait
Di Balik Judul Buku Yusuf Mansur Obong
HM Joesoef, teman Yusuf Mansur menulis buku berjudul Yusuf Mansur Obong, yang berisi tentang sosok ustaz ini.
Penyesalan Ahok Tertuang di Buku Panggil Saya BTP
Ahok mengaku menyesal karena telah mengatakan kepada Nicholas Sean tidak akan menikahi lagi mantan istrinya Veronica Tan.
Risa Saraswati Bagi e-Book Gratis Aksi #diRumahAja
Risa Saraswati membagi-bagikan e-Book gratis untuk mendukung #diRumahAja ditengah pandemi Virus Corona.
0
Mendagri Lantik Tomsi Tohir sebagai Irjen Kemendagri
Mendagri mengucapkan selamat datang, atas bergabungnya Tomsi Tohir menjadi bagian keluarga besar Kemendagri.