Cerita Migran Perempuan di Perbatasan Meksiko - AS

Sejumlah migran dan pencari suaka di perbatasan Amerika Serikat dan Meksiko menceritakan kisah mereka selama ada di kamp.
Seorang migran perempuan di Matamoros, Xochilth, 26 tahun, mengistirahatkan pergelangan kakinya yang baru saja terluka, yang membutuhkan lima jahitan sehari sebelumnya. (Foto: Tagar/ Lexie Harrison-Cripps / Al Jazeera)

Jakarta - Jalanan di perbatasan Meksiko dan Amerika Serikat (AS) pernah menjadi tempat tidur ribuan migran dan pencari suaka. Bahkan di perbatasan Kota Matamoros, didirikan sebuah kamp yang berisi sekitar 3 ribu hingga 4 ribu orang, tepat di tepi Sungai Grande, yang memisahkan Meksiko Utara dan Brownsville, Texas.

Kamp itu berisi warga dari beberapa negara, di antaranya Guatemala, Honduras, El Salvador, Nikaragua, Kuba, Haiti, Venezuela, dan Meksiko.

Penumpukan ribuan migran tersebut disebabkan oleh adanya aturan Migrant Protection Protocols (MPP), yang juga dikenal sebagai "Remain in Mexico” atau “Tetap di Meksiko", yang dibuat di masa pemerintahan Donald Trump pada tahun 2019. Para pencari suaka yang ingin memasuki AS melalui perbatasan AS-Meksiko harus menunggu di Meksiko selama proses pengadilan imigrasi AS mereka.

Dengan kebijakan tersebut, pencari suaka diproses di AS dan diberi tanggal untuk kembali untuk sidang pengadilan imigrasi, dan kemudian dikirim kembali melintasi perbatasan ke Meksiko.

Namun, semua persidangan ditangguhkan sejak Maret karena pandemi COVID-19, penduduk kamp telah berulang kali harus hadir di perbatasan AS dan menunggu berjam-jam tanpa ada pembatasan jarak secara fisik, namun hasil persidangan hanya menyuruh mereka kembali beberapa minggu kemudian.

Sejak pandemi, ribuan orang telah meninggalkan kamp. Banyak sekarang tinggal di apartemen, seringkali dalam kondisi jorok. Yang lain membayar penyelundup untuk mengangkut mereka ke AS. Beberapa sudah pulang.

Saat ini, diperkirakan masih ada 800 orang yang tinggal di tempat itu, di kamp yang dijaga ketat dan dikelilingi pagar kawat.

Cerita Penghuni Kamp

Dilansir Aljazeera, beberapa penghuni kamp sempat mengisahkan perjuangan mereka selama tinggal di lokasi itu. Salah satunya adalah Yami, 34 tahun, yang berasal dari Honduras.

Cerita Migran Perempuan Matamoros (2)Yami menyiapkan makanan di dapur dekat tendanya di kamp di Matamoros, Meksiko utara (Foto: Tagar/ Lexie Harrison-Cripps / Al Jazeera)

Yami berjuang untuk tetap memiliki motivasi setelah dia kehilangan pekerjaannya pada bulan Oktober. Tempat kerjanya menyatakan bahwa itu untuk memberinya waktu istirahat, padahal pekerjaannya sangat berarti baginya.

Pikiranku kurang sibuk. Anda membutuhkan pikiran yang sibuk untuk bertahan hidup di sini.

Yami mengelola salah satu dari empat toko gratis di kamp. Dia bertugas mendistribusikan sumbangan kepada pencari suaka dan migran yang tinggal di tempatnya bertugas . Setiap hari dia mengatur dan mengalokasikan semua jenis persediaan, mulai dari makanan hingga popok, perlengkapan mandi hingga tenda. Bantuan-bantuan itu disumbangkan oleh organisasi nirlaba AS, Team Brownsville.

Pada puncaknya, kamp tersebut menampung sebanyak 5.000 orang, meskipun setelah pandemi hanya tersisa sekitar 800 orang. Jumlah penduduk di kamp yang jauh berkurang membuat para penghuni tidak lagi membutuhkan empat toko gratis. Toko milik Yami adalah salah satu toko yang tutup.

Suara Yami terdengar lirih, sesuai dengan postur tubuhnya yang kecil. Tetapi tidak dengan kata-katanya. Dia berbicara dengan cepat sambil bergerak di sekitar bangunan kayu kecil dengan dinding terpal dan lantai lumpur yang berfungsi sebagai dapur umum untuk tenda di daerah Yami. Bermacam-macam pot, perkakas, dan bumbu dapur tertata rapi di rak-rak.

“Saya sangat merindukan sisi sosial,” jelasnya. “Saya senang ketika orang-orang datang menemui saya, dengan senyuman mereka, dan saya rindu membantu dan mendukung mereka.”

Namun tanggung jawabnya sebagai seorang wanita, sebagai seorang ibu, terkadang membuatnya tidak dapat pergi keluar setiap hari untuk mengunjungi orang lain di kamp.

Saat dia berbicara, tiba-tiba seekor tikus merayap di sepanjang rak di samping kepalanya. Beberapa menit kemudian, Yami melompat ke belakang saat dia melihatnya di lantai dekat kakinya.

Keluarga Yami melarikan diri dari Honduras setelah putranya dikejar oleh geng lokal. Karena tidak ada waktu untuk menabung atau mempersiapkan perjalanan, mereka meninggalkan segalanya untuk pergi ke AS untuk mencari suaka.

Namun, setelah setahun di Matamoros dengan suami dan tiga anaknya mereka diberi tahu bahwa sidang mereka akan digelar paling cepat pada pertengahan Januari 2021.

Sementara, seorang migran lain, Xochilth, 26 tahun, dari Nikaragua, yang memiliki sebuah restoran kecil tak jauh dari salah satu jalur arteri di utara kamp, mengatakan, meskipun dia membantu di restoran neneknya di Nikaragua, Xochilth tidak datang ke kamp untuk memulai sebuah restoran.

Dia mulai membuat beberapa makanan untuk para dokter, penerjemah, dan perawat yang bekerja untuk klinik medis di kamp, Manajemen Respons Global.

Seiring waktu, bisnisnya berkembang. Sampai saat ini, dia memiliki kontrak untuk menyiapkan 220 makanan per hari, untuk anak-anak sekolah di kamp. Tetapi beberapa minggu yang lalu, kontrak itu berakhir, artinya dia harus melepaskan salah satu dari dua karyawannya.

Saat ditemui, dia duduk di kursi plastik yang rusak, mengistirahatkan pergelangan kaki yang diperban. Kakinya terluka saat dia merapikan sebuah cangkir dan menabrak tabung gas sehari sebelumnya. Lukanya mendapatkan lima jahitan.

Xochilth melanjutkan percakapan tentang kehidupan di kamp. Dia tersenyum saat bercerita tentang pria yang dia temui di sini.

“Ada seseorang,” katanya.

“Dia menyeberang [ke AS] sekitar sebulan yang lalu, tapi dia masih menelepon saya setiap hari.” Senyuman tersungging di bibirnya.

Menemukan Tuhan

Seorang migran lainnya yang tinggal di kamp tersebut, Olga, 27 tahun, dari Guatemala, mengaku dirinya menemukan Tuhan di Matamoros.

Cerita Migran Perempuan Matamoros (3)Olga tidak tahu bahwa dia hamil ketika suaminya meninggalkan kamp pada bulan April untuk pergi ke AS. (Foto: Tagar / Lexie Harrison-Cripps / Al Jazeera)

Olga yang saat ini sedang hamil, berharap anak keduanya lahir pada bulan Januari. Suaminya meninggalkan kamp pada bulan April untuk melakukan perjalanan ke AS.

Kata dia, dulu, sebelum pandemi, perjalanan ke AS cukup sulit dilacak, sebab jalanan cukup sibuk. Sehingga orang dapat dengan mudah lewat tanpa diketahui. Namun, sejak pandemi datang, jalanan menjadi lebih sepi dan kemungkinan untuk tertangkap lebih tinggi, jadi suaminya bersembunyi di berbagai lokasi selama sebulan sebelum sampai ke utara Texas.

Olga menunjukkan foto-foto saat menjelaskan perjalanannya. Dia bersembunyi di hutan, menunggu di pintu masuk terowongan dan kemudian di gudang sebelum akhirnya tiba di Dallas, tubuhnya terlihat lelah dan kurus. Saat ini sang suami bekerja memasang lampu Natal.

Sebenarnya suami Olga tidak ingin menyeberang secara illegal. Dia bergumul dengan dilema untuk waktu yang lama, katanya. Tetapi tanpa uang di kamp, dan tidak ada akses untuk bekerja, mereka tidak punya banyak pilihan.

Makanan pokok dan perbekalan di kamp disediakan melalui sumbangan dari organisasi lokal tetapi dengan seorang putra berusia enam tahun, keluarga tersebut sangat membutuhkan uang. Suaminya sekarang mengirimkan apa yang dia bisa, biasanya sekitar $ 100 per minggu, tergantung pada pekerjaan yang dia peroleh di sana.

Tiba-tiba, ibu muda dari Guatemala itu melompat dari kursinya dan bergegas ke kamp sambil meneriakkan sesuatu tentang putranya yang kesakitan.

Rupanya dia mendengar suara tangisan sang anak di kejauhan. Dia kembali bersama seorang anak berusia enam tahun yang menangis karena jatuh dari sepedanya. Dia menangis saat dia duduk di bangku, memeriksa kerusakan.

Olga mengatakan dia menjadi lebih religius akhir-akhir ini dan bahwa sebelum dia tahu dia hamil, pendetanya telah memberitahunya bahwa dia dan suaminya akan segera memiliki bayi lagi. Sebetulya dia tidak terlalu percaya pernyataan itu, namun saat dia mengunjungi klinik kamp dan melakukan tes kehamilan. Pendeta itu benar. []

Berita terkait
Sejarah Kesatuan Musik Eropa Milik Keraton Yogyakarta
Keraton Yogyakarta pernah memiliki kesatuan abdi dalem yang bertugas memainkan musik-musik Eropa. Tapi kesatuan itu kemudian dibubarkan.
Hantaman Dendam Anak Korban Pembunuhan di Kulon Progo
Aditya Yoga Pratama, 19 tahun, anak korban pembunuhan di Kulon Progo, memukul wajah pembunuh sang ibu saat dilakukan rekonstruksi.
Kebersamaan Ratusan Pengungsi Gunung Merapi di Boyolali
Ratusan warga dari pedukuhan yang terletak kurang dari 5 kilometer dari puncak Gunung Merapi di Boyolali telah mengungsi. Ini suasana pengungsian.
0
Usai Terima Bantuan Kemensos, Bocah Penjual Gulali Mulai Rasakan Manisnya Hidup
Dalam hati Muh Ilham Al Qadry Jumakking (9), sering muncul rasa rindu bisa bermain sebagaimana anak seusianya. Main bola, sepeda.