Yogyakarta - Dinding rumah milik warga di Kampung Dukuh RT 62/RW 12 dan RT 69/RW 14, Kelurahan Gedongkiwo, Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta dipenuhi coretan tangan seniman. Coretan itu mayoritas bergambar ikan.
Di sebelah selatan kampung, terlihat gazebo cokelat yang dibangun di atas aliran irigasi. Saat diteliti lebih dekat, irigasi itu bersih dari sampah apa pun. Namun yang paling menarik, aliran tersebut dipenuhi ratusan ikan nila.
Gemercik alirah air dari sungai Winongo membuat ketenangan bagi siapa saja yang menikmatinya. Tak hanya itu, Tagar melihat sejumlah tanaman hijau di atas aliran sungai sehingga melahirkan kesan asri.
Konon pada 1980 silam, kampung yang indah itu memiliki kisah yang cukup menyedihkan. Kumuh, kotor, sarang nyamuk. Tidak ketinggalan pula kampung ini juga langganan banjir.
Menurut Ketua RT 62 Kampung Dukuh, Tukiran Mulyo saat ditemui menuturkan, ratusan ikan di irigasi merupakan hasil budi daya dua RT setempat. Dulunya, kampung Dukuh Kelurahan Gedongkiwo adalah kampung yang sangat kumuh.
"Dulunya irigasi ini tidak terurus dan terkesan kumuh, beberapa warga juga kadang sengaja membuang sampah ke sana. Kalau hujan pasti banjir karena air tidak mengalir tersumbah sampah pokoknya kumuh," katanya ditemui pada Selasa, 2 Juni 2002.
Didukung Provinsi Tapi Sempat Ditolak Pemkot Yogyakarta
Pada masa itu warga kampung setempat banyak memelihara ikan di bantaran kali Winongo secara mandiri dengan menggunakan keramba. Hal itu bejalan sampai bertahun-tahun. Sebagian warga ada yang meninggalkan kerambah, ada juga masih bertahan. Sampai akhirnya keramba yang tidak terpakai malah mengganggu pengairan sungai yang mengalir ke wilayah Bantul.
"Kampung semakin kumuh karena keramba-keramba tak terpakai ini. Banyak sampah dari atas berhenti di sini semuanya, numpuk di aliran sungai. Akhirnya kami berdiskusi mencari jalan keluar," ungkapnya.
Kalau hujan pasti banjir karena air tidak mengalir tersumbah sampah pokoknya kumuh.
Tukiran melanjutkan, melihat hal itu, dirinya membentuk kelompok untuk mengubah aliran irigasi lebih bersih. Keramba yang dimiliki masing-masing warga dihilangkan. Warga juga sepakat sungai untuk dijadikan budi daya ikan. "Akkhirnyaa warga sepakat untuk membongkar semua keramba untuk dijadikan satu di irigasi ini," ucapnya.
Irigasi dengan panjang 140 meter dan dalam setengah meter tersebut kemudian dikeruk lebih dalam lagi. Berbekal kegotongroyongan dua RT, akhirnya disetujui oleh kelurahan setempat dan diketahui oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Warga pun mendapat bantuan dana untuk membeli bibit ikan sebagai awal budidaya ikan.
Menurut dia, pertama kali sinergitas kedua RT bersatu untuk melalukan perubahan kampung pada 2018 silam. Dimulai dari menyulap aliran irigasi yang kumuh menjadi bersih.
"Pada tahun 2018 itu warga sudah bangkit dan bersatu untuk mengubah kampung bersih. Kami keruk agar lebih dalam dan kami pasang jaring-jaring sampah di irigasi. Kami juga bersepakat bahwa tidak ada warga yang membuang limbah sampah ke sana," ujarnya.
Mulanya irigasi yang digunakan sebagai tempat budi daya ikat sempat ditolak oleh pengelola pengairan Kota Yogyakarta. Pasalnya air yang mengalir ke Bantul tersebut malah tersendat-sendat. Akhirnya warga membersihkan aliran sungai yang mengalir ke wilayah tersebut sampai dengan membuat jaring-jaring untuk menyaring sampah-sampah.
Setelah air sungai lancar, perizinan warga disetujui dan warga dapat melanjutkan budidaya ikan nila. "Kami sama sama bekerja sama dengan yang di Bantul. Di sini yang mengelola lauknya (ikan) di Bantul berasnya karena mereka menanam padi," katanya.
Nama Kelompok Terinspirasi Talang Peninggalan Belanda
Milajulantoro, merupakan julukan dari kelompok tersebut. Tukiran sendiri yang mencetus nama Milajulantoro. Konon Milajulantoro diambil karena terinspirasi dari sebuah talang air di bawah sungai Winongo sebagai peninggalan Belanda pada saat itu.
"Waktu zaman Belanda ini dijadikan tempat mandi anak-anak. Ada tangki dari atas lalu mengalir deras ke bawah sini. Lalu kami sepakat menamakan kelompok Minajulantoro yang dikelola RT 62 dan 69 RW 12 dan RW 14,"ceritanya.
Kelompok Minajulantoro juga membentuk tim piket secara bergantian setiap hari untuk mengurus budi daya ikan. Mulai dari memberi makan ikan sampai dengan urusan kebersihan. "Jadi kita gotong royong agar dua RT bisa guyub rukun. Yang menghias dinding di sini juga warga sini. Jadi kampung kita bersih, seni dan nyaman," ungkapnya.
Pria yang dituakan di kampung ini mengungkapkan, diubahnya kawasan Gedongkiwo menjadi lebih asri, tiap warga mulai membangun septic tank sebagai pembuangan limbah rumah tangga. Sebelumnya warga setempat tidak memiliki septic tank, dan membuang limbah ke sungai.
Berhasil menyulap irigasi menjadi lebih bersih, warga setempat juga mendapatkan manfaat dari hasil budi daya ikan. Kiranya setiap empat bulan, warga selalu panen raya ikan. Hasil panen dijual kepada pengepul yang sudah bekerja sama. Ada juga yang menjualnya kepada warga sekitar. "Panennya bisa menjadi penghasilan tambahan bagi warga setempat juga. Dari warga untuk warga," katanya.
Irigasi kini sudah terpasang pagar besi di kedua sisinya. Hal itu untuk menciptakan rasa aman bagi warga yang melintas, juga bagi wisatawan. "Besi-besi di samping itu bantuan dari Pemkot Yogyakarta dan gazebo di atas aliran irigasi. Lama-lama kampung ini juga dikenal wisatawan. Mereka bisa memberi makan ikan dengan merogoh kocek Rp 2 ribu," ucapnya.
Jadi kita gotong royong agar dua RT bisa guyub rukun.
Tukiran menambahkan, kampungnya menjadi percontohan untuk kampung lain. Beberapa warga luar sempat bertanya-tanya bagaimana pengelolaan irigasi menjadi tempat budidaya ikan. "Sebelumnya ada beberapa warga dari luar kampung berdiskusi dengan kami. Kami juga menjelaskan langkah-langkah dan strategi kepada mereka," kata Tukiran.
Menjadi Daya Pikat Wisatawan
Sementara itu, Sinta Dewi sebagai bendahara 1 mengatakan, dengan adanya budi daya ikan di irigasi sungai dapat difungsikan oleh warga untuk memperoleh penggasilan tambahan. "Warga sangat senang adanya budi daya ikan. Lingkungan jadi bersih juga bisa mengangkat perekonomian warga. Kalau ada pengunjung ke sini, bisa beli jajanan di sini," kata Sinta.
Sejak 2018 sampai 2020, kelompok Milajulantoro sudah panen ikan nila sebanyak lima periode. Panen perdana pada Maret 2018. Hasil panen raya perdana memperoleh 1 ton 800 kilogram ikan nila. Dalam satu periode pihaknya bisa panen dua sampai tiga kali.
"Panen perdana pada Maret 2018. Itu warga senang sekali bisa gotong royong di sini. Ada yang menjaring, ada yang menimbang, ada yang mencatat ada yang pegang uang. Rame sekali setiap panen raya," ucapnya.
Perempuan yang juga penggerak PKK kampung ini mengungkapkan, hasil panen ikan biasnya dijual ke pengepul yang sudah sepakat melakukan kerja sama. Warga sekitar dan masyarakat umum juga bisa membeli ikan nila tersebut.
Biasanya untuk harga jual ke pengepul sebesar Rp. 25 ribu per kilogram, sementara bagi warga dan umum dijual seharga Rp 28 ribu kilogram. "Banyak warga yang datang ke sini. Selain harganya lebih murah, daging ikan di sini juga berbeda, katanya lebih gurih," ungkapnya.
Perempuan berhijab ini mengatakan, sebelum pandemi Corona menghantui seluruh belahan dunia, irigasi tersebut kerap dikunjungi banyak kalangan. Seperti wisatawan, kunjungan anak TK sampai dengan perguruan tinggi.
Mereka yang berkunjung bisa memberi makan ikan dengan pelet yang disediakan. "Di sini ndak ada tiket masuknya, gratis. Kami juga menyediakan pelet ikan yang dapat dibeli seharga Rp 2.000 per botol," ujarnya. []
Baca Juga: