Cerita Jeurat Panyang, Kuburan 17 Meter di Aceh

Sepanjang jalan menuju Jeurat Panyang di Desa Blang Raja, Kecamatan Babahrot Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh kondisinya bebatuan dan berlubang.
Makam Tuan Ku, Cheh Muhammad Din Chairullah (1650) Desa Blang Raja, Kecamatan Babahrot Kabupaten Aceh Barat Daya di Provinsi Aceh. Makam tersebut memiliki panjangnya sekitar 17 meter. (Foto: Tagar/Syamsurizal)

Aceh Barat Daya – Kondisi jalan terlihat sangat tidak bersahabat siang itu, tampak beberapa lubang di jalan membuat sepeda motor melaju tidak stabil bahkan sesekali meloncat kecil.

Sepanjang jalan menuju Desa Blang Raja, Kecamatan Babahrot Kabupaten Aceh Barat Daya di Provinsi Aceh kondisinya bebatuan dan berlubang menjadi tantangan tersendiri yang harus dihadapi Tagar sebelum tiba di lokasi sebuah kuburan yang konon diceritakan menyimpan banyak cerita mistis.

Dikalangan warga sekitar, kuburan itu lebih dikenal dengan sebutan Jeurat Panyang. Apabila diartikan dalam bahasa Indonesia, Jeurat adalah sebutan masyarakat Aceh untuk kuburan, sedangkan Panyang artinya panjang.

Saat sedang mengendarai sepeda motor tiba-tiba gawai di saku celana jeans hitam saya kenakan tiba-tiba berdering. Terlihat dilayar muncul nama kontak, Pak Munawar. Ia merupakan Kepala Desa Rukon Dame, Kecamatan Babahrot Kabupaten setempat.

“Kebetulan Abang sekarang di Blangpidie, kita berangkat bareng ke lokasi,” kata Munawar kepada Tagar di ujung jaringan smartphone, Rabu 20 November 2019.

Setelah menunggu beberapa saat di sebuah warung kopi dekat Pendopo Bupati di Blangpidie, pria yang memiliki wajah tirus ini muncul dengan sepeda motornya. Tanpa berhenti terlalu lama, kami langsung menuju ke lokasi yang telah dijanjikan.

Sepanjang perjalanan menuju ke lokasi kuburan tampak pemandangan perbukitan dan hamparan sawah. Setelah menempuh perjalanan sepanjang 46 kilometer, dengan waktu tempuh kurang lebih 46 menit tiba di Desa Blang Raja. Munawar tiba-tiba mengarahkan motornya ke kanan melewati jalan berlubang daerah perkebunan kelapa sawit dan durian warga setempat.

Akhirnya kami tiba di lokasi makam tersebut. Munawar berhenti tiba-tiba, dengan tangan kanan dia menunjuk ke arah sebuah bangunan mungil di bawah pohon durian atau jarak dari badan jalan sekira 30 meter.

Sekilas bangunan itu terlihat biasa, tidak menyerupai kuburan pada umumnya. Terlebih ukurannya yang cukup panjang, lebih dari 15 meter. Tentu sukar untuk dipercaya bahwa ada manusia sepanjang itu. Sebab itu juga warga setempat ternyata menamainya Jeurat Panyang.

Dulu ada tujuh lentera emas di kuburan ini. Sekarang sudah hilang.

Atap bangunan itu terbuat dari seng. Memanjang ke barat laut. Terdapat empat tiang peyangga. Kain kuning cerah melilit sepanjang makam. Pagar kawat menjadi pengaman hingga tidak bisa menyentuh bebatuan di atas makam.

Beton yang sudah berlumut hijau menjadi pembatas lebar dan panjang bangunan, di makam itu juga terdapat batu yang berukuran lebih besar.

Rindangnya cabang-cabang pohon durian yang tumbuh subur, tepatnya di batu nisan seolah-olah menjadi atap untuk membuat suasana di kuburan itu terasa teduh. Kuburan ini tampak sangat spesial, karena berada terpisah. Tidak di komplek kuburan seperti pada umumnya, kuburan itu berada di dalam kebun warga setempat.

Di batu nisan kepala terdapat sebuah kayu berukuran 20x40 sentimeter yang sudah diwarnai dengan cat kuning. Terdapat coretan hitam yang bertuliskan, “Tuan Ku, Cheh Muhammad Din Chairullah”.

Pada sisi bawahnya ada penjelasan, “Datang ke sini pada tahun 1650. Tujuan ke Ie Mameh (daerah itu) bersama dengan sahabat. Tetapi Allah tidak mengizinkan Tuan ku Cheh tinggal di sini”.

Begitulah kondisi Jeurat Panyang ketika dilihat lebih dekat, kondisinya bersih dan terawat, hal ini karena pemilik kebunya selalu merawat dan menjaganya. Selain itu warga setempat juga sering menggelar kenduri Jeurat (Kenduri di Kuburan) setiap tahun dan mengambil keberkahan dari sosok Cheh Muhammad Din Chairullah yang terkubur di dalamnya.

Kepada Tagar Munawar mengaku tidak banyak tahu tentang sejarah kuburan tersebut, dari beberapa cerita yang ia dengar, dulu terdapat tujuh lentera berwarna emas tergantung dalam bangunan kuburan. Seiring berjalannya waktu, lentera-lentera itu hilang.

Dijaga sama harimau. Sekarang rumah sudah padat, tidak ada lagi.

Hal mistis lain yang pernah Munawar dengar adalah, pernah masyarakat setempat mencoba memindahkan batu nisan kepala ke tempat lain. Tapi tidak berselang lama batu itu kembali lagi ke tempat asalnya.

“Dulu ada tujuh lentera emas di kuburan ini. Sekarang sudah hilang. Ada juga masyarakat setempat yang pernah mencoba memindahkan batu nisannya, tapi kembali lagi di tempat semula dengan sendirinya,” kata Munawar sambil menggaruk tangan akibat digigit nyamuk.

Makam Jeurat Panyang di AcehMakam Tuanku, Cheh Muhammad Din Chairullah (1650) berada di Desa Blang Raja, Kecamatan Babahrot Kabupaten Aceh Barat Daya Provinsi Aceh. Warga setempat menyebut Tuanku, Cheh Muhammad Din Chairullah berasal dari Padang Sumatera Barat. (Foto: Tagar/Syamsurizal)

Merantau Dari Padang

Penjelasan singkat itu belum sepenuhnya mengobati rasa penasaran. Munawar kemudian mengajak bertemu seorang pria yang dapat memecahkan rasa penasaran itu. Meninggalkan makam, kami memutar balik kendaraan, melaju kurang dari satu menit dan tiba di Sekolah Dasar Negeri 2 Babahrot.

Di sana, Tagar bertemu dengan seorang pria bernama Teungku Faisal, 45 tahun, ia bersedia menceritakan tentang asal-muasal kuburan tersebut. Pria ini ternyata pecinta sejarah, sangat banyak referensi sejarah tersimpan di benaknya.

“Silakan masuk. Saya Faisal,” katanya setelah Tagar memperkenalkan diri saat menjabat tangan.

Ruang tamu bangunan semi permanen tempat tinggal Teungku Faisal dan keluarganya, kami duduki berempat dengan putranya yang berusia sekira tiga tahun. Faisal mengawali obrolan siang itu dengan mengatakan Jeurat Panyang merupakan nama sebutan dari masyarakat setempat. Sebutan ini tidak terlepas dari ukurannya yang panjang dan berbeda dengan kuburan pada umumnya.

Pernah batu nisannya dipindah, tapi kembali lagi ke tempat semula.

Dari cerita yang Faisal dengar dari orang tuanya, kuburan ini telah ada sejak puluhan tahun lalu. Tepatnya pada tahun 1650 saat desa tersebut belum ada. Daerah itu merupakan rawa, bahkan tidak ada perumahan sama sekali. Tuan Ku, Cheh Muhammad Din Chairullah, bersama temannya bermaksud merantau dan melintasi daerah itu.

Umur tidak bisa ditebak, Cheh Muhammad Din Chairullah meninggal di lokasi tersebut hingga dimakamkan. Berganti tahun banyak pendatang dari beberapa daerah untuk bercocok tanam, termasuk nenek dari Teungku Faisal. Tahun 1674 saat sudah banyak penduduk barulah lahir nama Desa Blang Raja.

“Dulu di situ rawa. Cuma di kuburan saja yang tanahnya tinggi dan keras, makanya ditanam di situ. Dari mimpi pemilik kebunlah diketahui namanya, dan asalnya dari Padang Sumatra Barat dan tujuan ke daerah kita,” ujar Faisal, seraya membagikan tiga gelas kopi yang dibawa oleh istrinya.

Dia menceritakan, dulu memang banyak hal mistis yang terjadi di lokasi kuburan, misalnya jika ada yang membakar ranting pohon di atas kuburan tidak akan termakan oleh api, tapi jika dipindah menjauh sedikit dari kuburan baru mau terbakar. Dulu juga orang zaman melihat seekor harimau menjaga kuburan.

“Dijaga sama harimau. Sekarang rumah sudah padat, tidak ada lagi,” ucap Faisal berwajah serius.

Makam Jeurat Panyang di AcehMakam Tuanku, Cheh Muhammad Din Chairullah (1650) berada di lokasi perkebunan sawit milik warga Desa Blang Raja, Kecamatan Babahrot Kabupaten Aceh Barat Daya Provinsi Aceh. (Foto: Tagar/Syamsurizal)

Panjang Makam 17 Meter

Secara kasat mata jika dilihat, tentu tidak percaya ada manusia di era sekarang ini, makam itu berukuran 17 meter panjangnya. Jikapun ada tentu hanya beberapa orang saja. Begitu juga halnya dengan masyarakat setempat tempo dulu, mereka mencoba mengukur panjang kuburan sesuai dengan ukuran pada umumnya.

Namun hal itu tidak berhasil. Batu nisan kepala dan kaki yang coba didekatkan menjadi 2 meter lebih, kembali lagi ke lokasi semula atau di ukuran 17 meter. Hal ini juga menjadi sebuah hal mistis yang dialami masyarakat setempat kala itu.

“Pernah batu nisannya dipindah, tapi kembali lagi ke tempat semula. Berulang kali dilakukan tetap saja pindah sendiri, sehingga hal itu tidak dilakukan lagi dan kuburan dipermanenkan sepanjang itu,” katanya seraya mencicipi nikmatnya kopi hitam buatan sang istri.

Ia menambahkan, orang tua zaman dulu setiap tahun melakukan kenduri jeurat di lokasi itu, walaupun bukan di kompleks makam. Mereka mengambil keberkahan dari sosok yang terkubur karena dianggap memiliki ilmu lebih tentang agama.

“Orang tua dulu tiap tahun mengelar kenduri, berkah dari itu hasil panen berlimpah. Berselang beberapa tahun, hal itu tidak lagi dilakukan dan hasil panen berkurang. Sehingga kembali lagi dilakukan kenduri,” kata Teungku Faisal.

Oh itu Jeurat orang alim menurut saya.

Keyakinan hati pemilik kebun, Nek Jamal, membuat ia rela mewakafkan tanah itu untuk dijadikan Tempat Pemakaman Umum (TPU). Tetapi saat itu sudah ada TPU yang berada tidak jauh dari lokasi, sehingga sampai saat ini makam tersebut hanya satu-satunya dalam kebun.

Makam Jeurat Panyang di AcehMakam Tuanku, Cheh Muhammad Din Chairullah (1650) berada di Desa Blang Raja, Kecamatan Babahrot Kabupaten Aceh Barat Daya Provinsi Aceh, Masyarakat setempat mempercayai sosok Tuanku, Cheh Muhammad Din Chairullah merupakan orang yang taat dan berilmu agama semasa hidupnya. (Foto: Tagar/Syamsurizal)

Pro dan Kontra

Sebagian masyarakat urung percaya bahwa itu adalah kuburan. Bahkan enggan melakukan kenduri mengambil berkah dari sosok yang terkubur. Tentang hal ini, Teungku Faisal mengaku tidak mempermasalahkannya, bahkan ia tidak peduli apa pemikiran orang. Sebab dirinya mengikuti warisan dari neneknya dulu yang percaya bahwa itu adalah kuburan.

“Kita mana tau apa kejadian dulu, kalau bukan dari sejarah yang sudah dilakukan oleh nenek kita terdahulu. Kita mesti tahu sejarah apa, lagi banyak hal mistis yang menguatkan bahwa itu adalah kuburan,” ujarnya.

Meninggalkan keluarga Faisal dan kepala desa, Tagar menemui seorang pemuda di sebuah pos ronda. Pria berkulit kuning langsat ini bernama Fendra, ia mengaku jika warga asli Babahrot.

“Oh itu Jeurat orang alim menurut saya. Orang asli daerah tidak mungkin tidak tahu,” kata Fendra.

Dari kisah-kisah yang dia dengar, makam tersebut menyimpan banyak misteri. Mulai dari tidak diketahui asal muasalnya, juga tentang kisah orang yang melepas rasa penasaran di pikiran untuk melakukan ziarah mengambil keberkahan.

“Ada yang melakukan ziarah. Walau tidak tahu sebenarnya siapa. Tapi dari kisah-kisah itu banyak yang meyakini bahwa itu adalah kuburan yang baik dan berilmu agama semasa hidupnya,” tutup Fendra. []

Baca cerita lain: 

Berita terkait
Benteng Inong Balee Jejak Perjuangan Wanita Aceh
Iring-iringan sepeda motor membelah perbukitan Lamreh, melintasi jalan penuh batu di antara hutan belantara menuju Benteng Inong Balee di Aceh.
Tangisan Wanita di Jembatan Cincin Sumedang
Cerita jembatan cincin peninggalan Belanda masih sangat terkenal di masyarakat di daerah Cisaladah, Cikuda, Jatinangor Kabupaten Sumedang.
Rumah Kosong Dihuni Jin Pattirokanja di Bantaeng
Rumah kosong di Jalan Sungai Bialo II Kampung Mappilawing, Kecamatan Mallilingi, Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan mendadak horor.
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.