Cerita Jakarta: Syamsuridjal Pelopor Infrastruktur Jakarta

Guna mengatasi masalah listrik yang sering padam, Sjamsuridjal membangun pembangkit listrik di Ancol. Adapun untuk meningkatkan penyediaan air minum, dia membangun penyaringan air di Karet
Kebijakan yang cukup terkenal pada masa kepemimpinannya adalah mengenai masalah listrik. Walau begitu, ia juga memberi prioritas pada masalah air minum, pelayanan kesehatan, pendidikan. (Wikipedia)

Jakarta, (Tagar 23/7/2018) - Syamsuridjal adalah orang ketiga yang menjadi Wali Kota Jakarta namun sebagai pejabat keempat dalam susunan Wali Kota Jakarta, karena Wali Kota Jakarta pertama, Suwiryo, kembali menjabat selama setahun setelah Gubernur Militer Letnan Kolonel Daan Jahja. Syamsyuridjal sempat menjabat Wali Kota Solo sebelum menjadi Wali Kota Jakarta pada 1951-1953.

Pada masa awal pemerintahannya, mulai dibangun stadion nasional IKADA (Ikatan Atletik Djakarta) yang dimulai pada 18 Juli 1950 untuk keperluan Pekan Olahraga Nasional Ke-2 (PON II) yang dilaksanakan pada Oktober 1951.

Dari Wikipedia, tercatat kebijakan yang cukup terkenal pada masa kepemimpinannya adalah mengenai masalah listrik. Walau begitu, ia juga memberi prioritas pada masalah air minum, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan kebijakan atas tanah.

Guna mengatasi masalah listrik yang sering padam, Sjamsuridjal membangun pembangkit listrik di Ancol. Adapun untuk meningkatkan penyediaan air minum, dia membangun penyaringan air di Karet, penambahan pipa, peningkatan suplai air dari Bogor. Di bawah pemerintahan Sjamsuridjal, bidang pendidikan juga mendapat perhatian. Ia mendukung pengembangan Universitas Indonesia.

Raden Sudiro Pembentuk RT/RW

Penguasa Jakarta berikutnya adalah Raden Sudiro, yang lahir di Yogyakarta, 24 April . Raden Sudiro adalah politisi pemerintahan di Indonesia. Ia dikenal sebagai wali kota (Jabatan setara dengan Gubernur pada saat itu) Jakarta untuk periode 1953–1960 dan Gubernur Sulawesi pada periode 1951–1953.

Raden Sudiro Wali Kota Jakarta ke 5Raden Sudiro Wali Kota Jakarta ke 5. Sudiro dalam menjalankan tugasnya sebagai Wali Kota begitu sulit, mengingat Jakarta secara de facto adalah Ibu Kota Republik Indonesia. Sering terjadi konflik kebijakan antara kebijakan kota dan kebijakan nasional. (Wikipedia)

Ia mengeluarkan kebijakan pemecahan wilayah Jakarta menjadi tiga kabupaten yaitu Jakarta Utara, Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Ia juga yang mengemukakan kebijakan pembentukan Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Kampung (RK) yang kemudian menjadi Rukun Warga (RW). Ia meninggal pada tahun 1992. Aktor Tora Sudiro adalah cucunya.

Pada masa jabatannya, dia menyatakan bahwa ada tiga daerah teritoris utama di Jakarta: Bandara Kemayoran, Pelabuhan Tanjungpriok dan kota satelit Kebayoran Baru. Menteri Perhubungan biasanya mengeluarkan keputusan tentang Bandara Kemayoran tanpa konsultasi dengan Sudiro (wikipedia).

Pada 1957, Sudiro membuat kebijakan sekolah gratis untuk tingkat sekolah dasar (SD), namun kebijakan ini hanya berlaku 1 tahun setelah pemerintah pusat membatalkan kebijakan ini. Perhatiannya dalam bidang pendidikan dilatarbelakangi pengalaman hidupnya yang bergelut di dunia itu.

Raden Sudiro pernah menjadi Direktur Mulo-Kweekschool Boedi Oetomo (1931–1933), Ketua Taman Siswa Madiun (1936), Guru Ksatriaan Institut Cianjur (1936–1937), Kepala HIS Gubernemen Curup (1937–1940), Kepala HIS Plaju, Palembang (1940–1942), Inspektur Sekolah-sekolah Balatentara Jepang di Plaju Sungai Gerong (1942–1944), dan Pemimpin Barisan Pelopor Jawa Hooko Kai Jakarta (1944–1945).

Di bidang politik, pekerjaan dalam bidang politik, Sudiro pernah menjadi anggota KNIP (1945–1947), Wakil Residen Surakarta (1946–1947), Residen Koordinator Solo-Madiun, Semarang dan Pati (1948–1949), Residen Madiun (1950–1951), Gubernur Sulawesi (1951–1953), Wali Kota Jakarta (1953–1960), Anggota Dewan Pertimbangan Agung RI (1978–1983).

Dalam dalam bidang pergerakan, Sudiro aktif sebagai anggota dan pengurus Jong Java cabang Yogya (1925–1929), Ketua cabang IM (Indonesia Muda) Magelang (1929–1931), Ketua KBI cabang Magelang (1929–1931), PB Partindo (1931–1935), Wakil Pemerintah Umum Barisan Banteng (1945–1948), Ketua umum Sarekat Sekerja Kementerian Dalam Negeri (1947–1959), Ketua umum Dana Perjuangan Irian Barat (1957–1962), Ketua I Persatuan Wredatama Republik Indonesia (1977).




Berita terkait