Untuk Indonesia

Catatan Kritis Menarik Soal Debat Capres Kedua

Setidak-tidaknya ada slogan aksentuatif yang memberi harapan.
Jokowi dan Prabowo saat debat capres kedua di Hotel Sultan Jakarta pada Minggu (17/2) malam. (Foto: Tagar/Gemilang)

Oleh: Girindra Sandino* 

Mehran Kamrava dalam bukunya Understanding Comparative Politics: A Framework for Analysis (2003), dia bilang, political socialization is basically of attitude formation towards political objects, values, and processes (sosialisasi politik pada dasarnya adalah proses dari bentuk tingkah laku kepada objek politik, nilai-nilai dan prosesnya). 

Menarik untuk disimak apa yang dikatakan Mehran Kamrava jika dikaitkan dengan keadaan dan situasi bangsa ini yang sedang melaksanakan pemilu serentak. Apalagi dalam tahapan kampanye politik.

Banyak para peserta pemilu -para caleg-, baik di Jakarta maupun daerah, yang mencoba memasang baliho di tengah pertanyaan warga yang tentang siapa dia yang digambarkan di baliho. 

Hasil kampanye berbulan-bulan yang cukup panjang itu bermuara pada kesimpulan publik tentang tidak adanya tawaran agenda. Setidak-tidaknya slogan aksentuatif yang memberi harapan, kecuali permohonan doa restu dan permintaan untuk dipilih. Kalaupun ada, hanya kata atau kalimat pengulangan harapan-harapan bias.

Pun begitu dengan debat Capres yang baru saja dilaksanakan. Berikut beberapa poin tanggapan kami:

Pertama, Capres Prabowo lebih banyak melempar retorika-retorika yang terus mengulang dan membosankan serta sangat sloganistik. Melemparkan wacana bernuansa kelas dan pendekatan kerakyatan, namun kontras dengan citra diri dan rekam jejaknya, apalagi bukti-bukti. Sementara Capres Jokowi menyampaikan fakta dan bukti yang sudah dikerjakan, walaupun sebagian masih ada yang dalam proses. Seperti misalnya pembangunan 900 ribu jalan desa, soal petani jagung, dan kedaulatan energi. Soal reforma agraria, missal, Capres Jokowi selama pemerintahannya telah membagikan konsesnsi lahan kepada adat ulayat, petani, nelayan dan lain-lain. Dan di tahun 2017 telah memberikan 5 juta sertifikat lahan atau tanah, 2018 membagikan 7 juta sertifikat yang tentu berguna untuk agunan, jaminan, dan melakukan pendampingan warga tersebut.

Kedua, namun demikian ada yang menarik dari Debat Capres kedua adanya sensitivitas retoris. dampak dari dalam perdebatan, harus ada kesiapan mental untuk dikritik oleh capres lain. Ada saling kritik antara kedua pasang Capres dalam Debat Capres Kedua ini. Hal ini merupakan kemajuan dari penyelenggaraan debat, karena masyarakat bisa menilai spontanitas intelektual dan cara berfikir sistematik yang cepat.

Oleh karena itu, dengan paparan di atas, saya berkeyakinan elektabilitas Capres Jokowi akan naik, sementara Capres Prabowo agak sulit merangkak naik, karena keyakinan pemilih telah mengkristal.

Ketiga, semoga debat ke depan, tidak hanya berakhir dengan pernyataan dan rekomendasi sumir dan pesimisme yang keluar dari salah satu capres, tidak keluar dengan konsepsi politik ke depan yang dapat ditawarkan kepada rakyat yang jelas kian cerdas secara politik.

Keempat, Sosialisasi politik berbentuk ide dan gagasan strategis pada debat capres kedua ini setidaknya memberikan sesuatu yang menjadi nilai-nilai serta terserap oleh rakyat sebagai proses pencerdasan politik dalam kontestasi demokrasi Indonesia.

Kelima, dan tidak lupa kepada Penyelenggara Pemilu, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU), sudah melaksanakan tugasnya dengan baik, dan dapat meraih kembali kepercayaan publik sebagai basis legitimasi pemilu yang kuat dan berkualitas, karena debat jauh mengalami perbaikan.

*Penulis adalah peneliti dari Seven Strategic Studies  

Berita terkait
0
Usai Terima Bantuan Kemensos, Bocah Penjual Gulali Mulai Rasakan Manisnya Hidup
Dalam hati Muh Ilham Al Qadry Jumakking (9), sering muncul rasa rindu bisa bermain sebagaimana anak seusianya. Main bola, sepeda.