Untuk Indonesia

Calon Wakil Rakyat, Masih Adakah Eni-Eni Saragih Lainnya?

Calon wakil rakyat, masih adakah Eni-Eni Saragih lainnya? Orang-orang "ambisius" tentu saja menempuh banyak cara supaya mulus memasuki penyusunan daftar calon tetap anggota legislatif.
Tersangka yang juga Anggota DPR Komisi VII Eni Maulani Saragih dengan rompi tahanan menuju mobil tahanan usai diperiksa di kantor KPK, Jakarta, Sabtu (14/7/2018). (Foto: Ant/Sigid Kurniawan)

Tanggal 17 Juli 2018 adalah hari terakhir pendaftaran bagi orang-orang di Tanah Air yang ingin menjajal kemampuan di lembaga-lembaga legislatif. Pendaftaran dibuka mulai dari DPD, DPR RI, DPRD provinsi, hingga DPRD kabupaten/kota untuk mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Puncak kegiatan pendaftaran itu adalah tanggal 17 April 2019. Saat itu lebih dari 150 juta orang Indonesia akan mendatangi tempat pemungutan suara (TPS) guna menentukan pilihan mereka terhadap wakil rakyat yang bakal duduk di DPD, DPR RI, DPRD provinsi dan kabupaten kota di Tanah Air. Entah berapa ribu orang yang sangat berambisi untuk meraih posisi sebagai wakil-wakil rakyat di lembaga-lembaga perwakilan rakyat.

Orang-orang "ambisius" tentu saja menempuh banyak cara agar partai-partai politik yang seluruhnya 16 parpol di Tanah Air ditambah beberapa parpol lokal di Provinsi Aceh mau mencantumkan mereka ke dalam daftar calon tetap. Para bakal calon legislator ini harus bisa "menjual" ide-ide mereka supaya mulus memasuki penyusunan daftar calon tetap.

Akan tetapi, sayangnya di tengah suasana meriah menjelang pendaftaran calon-calon legislator itu, muncul berita memalukan dari Senayan, Jakarta. Lagi-lagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus memborgol seorang wakil rakyat yang kali ini namanya adalah Eni Maulan Saragih.

Tidak tanggung-tanggung, wanita iitu adalah Wakil Ketua Komisi VII. Ia diduga atau istilah kerennya menerima sogokan miliaran rupiah untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau I.

Sofyan BasirDirektur Utama PLN Sofyan Basir memberikan keterangan pers tentang penggeledahan kediamannya oleh petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di Kantor Pusat PLN, Jakarta, Senin (16/7/2018). (Foto: Ant/Aprillio Akbar)

Boleh dibilang luar biasa, akibat kasus dugaan pelanggaran hukum tersebut, para penyidik KPK harus mendatangi rumah Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sofyan Basyir untuk mencari dan menemukan dokumen-dokumen yang terkait dengan proyek raksasa itu.

Eni digerebek bersama suaminya, Muhammad Al Khafidz yang baru saja terpilih sebagai Bupati Temanggung, Jawa Tengah. Tidak kalah menariknya, Eni ditangkap saat "bertamu" di rumah Menteri Sosial (Mensos) Idrus Marham yang tak lain adalah mantan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar.

Eni disebut-sebut berada di rumah Idrus karena seorang anak Idrus berulang tahun. Entah faktor apa yang "mengharuskan" Eni ikut hadir di acara HUT anak Idrus Marham. Apalagi diperkirakan yang berulang tahun bukannya seorang anak kecil.

Selain Eni, tentu masyarakat tidak akan bisa melupakan kasus yang menimpa Setya Novanto. Mantan Ketua DPR RI Setya Novanto dan juga mantan Ketua Umum DPP Partai Golkar ini harus mendekam di lembaga pemasyarakatan selama 15 tahun. Dia terbukti terlibat dalam kasus korupsi pembuatan KTP elekronik yang merugikan negara tidak kurang dari Rp 2,3 triliun. Nilai proyek ini adalah Rp 5,9 triliun. Walau sudah berjalan sejak 2011, masih banyak warga Indonesia yang belum mendapatkan E-KTP.

Rakyat juga akan mengingat beberapa nama penghuni Senayan yang ditangkap penyidik KPK dalam kasus korupsi. Sebut saja Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, Muhammad Nazarudin, Dewie Yasin Limpo, dan Damayanti Wisnu Putranti.

Sementara itu, di Medan, puluhan anggota dan mantan anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara menjadi tersangka dalam kasus korupsi terkait mantan Gubernur Sumut Gatot Pudjo Nugroho.
Karena tanggal 17 April 2019 bukanlah waktu yang masih lama bagi para pemilih, tentu menjadi hal menarik untuk direnungkan terkait masih ada di antara wakil rakyat yang ditangkap KPK. Sampai kapankah rakyat Indonesia harus menyaksikan tragedi demi tragedi yang harus dialami wakil-wakil rakyat yang bisa dibilang tak tahu diri atau tak tahu malu tersebut?

Kurangkah Gajinya?

Untuk menjadi seorang anggota DPR, tentu seseorang harus berjuang keras agar pertama-tama namanya tercantum dalam daftar tetap peserta dan jika sudah masuk ke daftar calon tetap, dia wajib "menjual dirinya" kepada ribuan, puluhan ribu, bahkan ratusan ribu pemilih supaya terpilih.

KPK Geledah Kantor Pusat PLNPenyidik KPK memeriksa bagian resepsionis saat penggeledahan di Kantor Pusat PLN, Jakarta, Senin (16/7/2018). Penggeledahan terkait pengembangan kasus dugaan suap pembangunan PLTU Riau-1. (Foto: Ant/Aprillio Akbar)

Tidak kalah pentingnya, dia harus memiliki "logistik" alias uang yang banyak agar bisa mendukung kampanyenya kepada orang-orang yang diharapkan bakal mencoblos gambarnya di kertas surat suara.

Menjelang Pemilihan Umum 2014, ada seorang calon anggota DPR yang menyiapkan "logistik" sampai Rp 2 miliar agar sukses dalam pesta demokrasi. Lantaran belum terlalu populer, baik di kalangan partai pendukungnya maupun calon pemilihnya, dia tentu harus melakukan kampanye secara besar-besaran mulai dari upaya memasukkan namanya ke dalam daftar calon tetap hingga dipilih oleh rakyat.

Akhirnya, orang ini memang menjadi "penghuni" Senayan, Jakarta. Namun, yang patut dipertanyakan, karena dia mengeluarkan uang Rp 2 miliar, kemungkinan pada otaknya muncul pikiran agar "modalnya" itu bisa kembali, kemudian "mencari untung".

Gaji ataupun pendapatan resmi seorang wakil rakyat di Senayan paling-paling Rp 75 juta tiap bulannya. Padahal, dia harus menghidupi anak istrinya, "menyetor" ke fraksinya, dan entah berapa lagi uang yang harus disediakan untuk pos-pos yang "tak jelas".

Oleh karena itu, tidak heran jika begitu banyak anggota DPR dan DPRD yang harus melakukan korupsi, gratifikasi, atau apapun istilahnya. Bahkan, beberapa tahun lalu, ada anggota DPR yang kepergok menerima sogokan dalam proyek pembuatan kitab suci Quran.

Kalau pembuatan kitab suci saja rela dikorupsi, apalagi pembangunan PLTU, tol, hingga pembangunan sekolah.

Patut direnungkan, apakah kasus Eni Saragih, Angelina Sondakh, dan Setya Novanto akan terus dibiarkan terjadi dan terjadi lagi pada Pemilu 2019?

KPK baru-baru ini telah mengeluarkan surat keputusan tentang larangan bagi seluruh partai politik untuk mencalonkan seseorang yang pernah menjadi terpidana dalam kasus korupsi, narkoba, dan pelecehan seksual terhadap anak-anak.

PKPU Nomor 20 Tahun 2018 itu banyak ditentang oleh anggota DPR, termasuk Ketua DPR RI Bambang Soesatyo. Dia mengatakan, KPK tidak perlu mengeluarkan larangan semacam itu dan membiarkan rakyat untuk menentukan pilihannya atau wakil-wakil rakyatnya.

Untung saja PKPU dimasukkan oleh Kementerian Hukum dan HAM dalam Lembaran Negara. Coba saja kalau PKPU 20 ini tidak ada diundangkan? Bisa dibayangkan betapa banyaknya Eni Saragih, Setya Novanto, Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, dan lainnya akan "duduk ongkang-ongkang" di Senayan, DPRD I, maupun di DPRD II sambil membayangkan mendapatkan kembali "logistik" yang telah mereka keluarkan pada saat mereka berkampanye.

Kalaupun KPU RI dan KPU-KPU di daerah sudah menyeleksi dan memilih siapa saja yang berhak namanya dicantumkan dalam daftar calon tetap, tiba saatnya bagi jutaan pemilih untuk memikirkan dan merenungkan pilihan-pilihan mereka yang terbaik.

Jangan jatuhkan pilihan kepada nama-nama yang bobrok, tidak amanah terhadap pilihan rakyat. Gunakan hati nurani dalam mencoblos karena pertaruhannya adalah amat besar, yakni memilih wakil rakyat yang memang mau benar-benar menjadi pengabdi bagi orang yang mencoblos namanya. (Arnaz Firman/ant/yps)

Berita terkait