Buru-buru Revisi RUU Pemilu, Jangan demi Kepentingan Pilkada 2022

TePi meminta pembahasan RUU Pemilu jangan dilakukan secara terburu-buru apalagi ditunggangi agenda Pilkada 2022 dan 2023.
Koordinator TePi Indonesia Jeirry Sumampow. (Foto: Tagar/Instagram)

Jakarta - Komite Pemilih (TePi) Indonesia merespons wacana revisi UU Pemilu di DPR RI. TePi meminta pembahasan jangan dilakukan secara terburu-buru apalagi ditunggangi kepentingan agenda Pilkada 2022 dan 2023.

Koordinator TePi Indonesia Jeirry Sumampow menganggap, revisi yang terburu-buru kurang baik, karena akan mengakibatkan pembuatan UU tak maksimal. 

Terlebih akan menggabungkan semua UU terkait pemilu, dan juga akan membuat pemilu serentak.

“Dalam konteks ini, penundaan itu baik. Agar ada waktu lebih panjang untuk membahasnya,” ujar dia dalam keterangan tertulis, Selasa, 2 Februari 2021.

TePi juga menilai jika DPR terlalu terburu-buru dalam melakukan pembahasan, ini akan membuat tidak fokus pada substansi persoalan yang sesungguhnya, terlebih selama ini desain dalam pemilu seringkali terjadi masalah.

Kekhawatiran ini juga yang membuat Jeirry khawatir, karena pembahasan yang terburu-buru diperkirakan hanya akan mengulang apa yang selama ini terjadi.

“Jadi, saya khawatir waktu yang singkat akan menghasilkan UU dengan kualitas rendah,” tambahnya.

Jeirry menilai bahwa yang biasa terjadi, mepetnya waktu akan membuat DPR terfokus pada isu-isu populer, misalnya terkait persyaratan ikut pemilu dan soal ambang batas, baik presiden maupun parlemen, serta juga paslon dalam pilkada. Begitu juga soal daerah pemilihan (dapil) dan besaran dapil serta jumlah alokasi kursi.

Hal ini akan membuat revisi bersifat tambal sulam, yaitu menambal dan menyulam hal-hal yang selama ini dilihat sebagai masalah satu per satu tanpa melihat dalam kerangka kesatuan sistem yang lebih luas.

“Akibatnya, dalam implementasi kemudian hari akan terlihat kelemahan di sana sini. Karena itu bagi saya lebih berbahaya jika melakukan pembahasan yang terburu-buru,” ujar Jeirry.

Dikatakan, akan semakin riskan juga jika revisi tersebut ditumpangi oleh kepentingan politik untuk menggelar Pilkada Serentak 2022 atau 2023.

Ia menilai hal itu akan makin problematik. Sebab membuat waktu yang tersedia makin sempit dan fokus pun beralih.

“Bagi saya, revisi UU Pemilu penting sekali dan sangat strategis. Karena itu, tak boleh dibuat mainan politik semata, seperti kebiasaan selama ini," kata dia.

Kalau kami memandang tetap perlu ada revisi UU Pemilu. Kita perlu memperbaiki sistem demokrasi melalui revisi UU Pemilu

Tetapi bisa saja dibuat opsi baru, yaitu agenda revisi tetap berjalan sesuai Prolegnas 2021 tapi waktunya dibuat lebih panjang, sehingga pemberlakuannya baru setelah 2024.

"Jadi kita punya waktu lebih panjang untuk memikirkan dan mendalami substansi yang perlu, tanpa diganggu juga oleh kepentingan politik untuk menggelar Pilkada di 2022 dan atau 2023," ulasnya.

Baca juga: 

Dia menilai, untuk kepentingan pemilu dan pilkada tetap berlangsung di tahun 2024 sesuai regulasi yang berlaku saat ini dan untuk mengantisipasi serta meminimalisir akibat negatifnya, mengingat pengalaman traumatik dalam Pemilu 2019, maka dalam kurang waktu yang tersisa, KPU dan Bawaslu bisa fokus untuk membuat mitigasi risiko dan skema-skema untuk pelaksanaan pemilu dan pilkada tersebut.

Termasuk menyiapkan regulasi turunan UU Pemilu dan Pilkada yang ada sekarang untuk diberlakukan tahun 2024 nanti.

"Ini juga penting agar penyelenggara pemilu tak keteteran terus dalam mempertahankan pemilu dan pilkada, sebagaimana juga pengalaman selama ini," kata Jerry.

Dalam kesempatan berbeda sebelumnya, Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Agustyati menyatakan perlu dilakukan revisi UU Pemilu oleh pemerintah dan DPR RI.

"Kalau kami memandang tetap perlu ada revisi UU Pemilu. Kita perlu memperbaiki sistem demokrasi melalui revisi UU Pemilu," ujarnya dihubungi lewat pesan WhatsApp, Minggu, 31 Januari 2021.

Dikatakan, jika ingin mengadirkan banyak pilihan di pilpres, tentu syarat pencalonan tidak bisa seperti sekarang. Syaratnya cukup berat, minimal 20 persen kursi atau 25 persen suara.

"Kalau syaratnya berat ujung-ujungnya hanya ada dua paslon seperti di Pilpres 2014 dan 2019. Sehingga penting ada revisi UU Pemilu," katanya.

Dalam pandangan pihaknya, kata Nisa, tidak masalah kalau masyarakat punya beberapa pilihan saat pilpres. Justru bisa memberikan alternatif pilihan ke masyarakat.

Partai politik pun bisa mengusung calon sendiri tanpa perlu berkoalisi dengan partai lain, sehingga partai dipaksa untuk melakukan kaderisasi menyiapkan kader terbaik untuk dicalonkan di pilpres

Untuk revisi UU Pemilu, dia kemudian menyebut sejumlah isu krusial, antara lain soal desain keserentakan pemilu. Di dalam draft RUU Pemilu saat ini, ada usulan untuk mengubah desain keserentakan menjadi pemilu serentak nasonal dan pemilu serentak daerah.

Lalu soal normalisasi jadwal pilkada, sehingga nanti ada Pilkada di 2022 dan 2023. Selain itu juga soal penataan kembali desain kelembagaan penyelenggara pemilu.[Anita]

Berita terkait
Pengurus Baru, PKS Agam Bidik 10 Kursi Dewan Pemilu 2024
Kepengurusan Partai PKS Kabupaten Agam periode 2020-2025 membidik kemenangan 10 kursi dewan pada Pemilu Serentak 2024 mendatang.
PKS Anggap Jadi Oposisi Jokowi sebagai Berkah Pemilu 2024
PKS mengambil sikap politik sebagai oposisi Jokowi merupakan berkah dan keuntungan pada Pemilu 2024.
Denny Siregar: Siapa Pun Punya Rekam Jejak HTI Tak Boleh Ikut Pemilu
Undang-Undang Pemilu sedang direvisi. Nantinya siapa pun punya rekam jejak terlibat HTI tidak punya hak untuk mengikuti Pemilu. Denny Siregar.
0
PKS Akan Ajukan Uji Materi PT 20%, Ridwan Darmawan: Pasti Ditolak MK
Praktisi Hukum Ridwan Darmawan mengatakan bahwa haqqul yaqiin gugatan tersebut akan di tolak oleh Mahkamah Konstitusi.