Bupati Simalungun Cabut Tunjangan Ribuan Guru

Bupati Simalungun JR Saragih mencabut tunjangan fungsional 1.659 tenaga pengajar.
Para guru di Simalungun saat melakukan diskusi membahas SK Bupati. (Foto: Tagar/Anugera Nasution)

Simalungun - Bupati Simalungun JR Saragih melalui surat keputusan (SK) nomor 188.45 telah mencabut tunjangan fungsional 1.659 tenaga pengajar di Kabupaten Simalungun. 

Para guru pun protes. Bersama sejumlah elemen peduli dan dua anggota DPRD Simalungun membahas ini pada Rabu 17 Juli 2019 di Patarias Cafe, Jalan Sang Naualuh, Kota Pematangsiantar, Sumatera Utara.

Para guru yang hadir dalam diskusi, mengaku sejak Januari 2019 hingga saat ini, tunjangan sertifikasi mereka tak kunjung diberikan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Simalungun.

Padahal seharusnya tunjangan itu sudah mereka terima per tiga bulan sekali. "Ini sudah enam bulan, harusnya per tiga bulan sekali cair," beber sejumlah perwakilan guru yang hadir.

Tanjung, 59 tahun, salah seorang guru yang telah mengabdi selama 31 tahun, dulunya merupakan guru kelas, namun sejak tahun 2018 memasuki masa pensiun, dia menyerahkan posisi guru kelas kepada guru yang lebih muda. "Uda tua, biar lebih dapat menikmati masa pensiun saja," ungkapnya.

Tanjung merupakan guru golongan IV A dan sejak tahun 2013 memperoleh tunjangan sertifikasi setelah mendapat kualifikasi guru dan memenuhi jam belajar serta durasi masa mengabdi.

"Saya hanya berharap tunjangan sertifikasi enam bulan yang lalu agar segera dicairkan. Kalau sertifikasi saya dicabut, ya mau kayak mana lagi. Saya pasrah, saya uda tua, mau tenang," tuturnya.

Diketahui bahwa dalam SK Bupati Simalungun tertanggal 26 Juni 2019, telah mencabut sementara fungsional 992 guru yang belum mencatumkan gelar akademik dan 703 guru yang belum sarjana atau masih kuliah.

Saya pernah menjadi tenaga pengajar. Saya tahu bagaimana perasaan para guru. Kami bersama fraksi lainnya akan berjuang untuk para guru

Menanggapi SK tersebut, anggota DPRD Simalungun Bernhard Damanik, dengan tegas menolak dan meminta Bupati Simalungun untuk melakukan peninjauan kembali atau membatalkan SK tersebut.

"Sementara Simalungun masih sangat kekurangan guru. Ini akan berdampak pada dunia pendidikan," terangnya.

Menurut Bernhard, 65 persen guru yang tertera di dalam SK telah berusia lebih dari 50 tahun dan telah mengajar selama puluhan tahun.

Itu artinya Pemkab Simalungun tidak memperhatikan surat edaran Kementerian Pendidikan No. 466 Tahun 2013 yang menyatakan pengecualian kepada guru yang belum kualifikasi S1 atau D IV, namun telah memasuki umur 50 tahun dengan masa mengabdi 20 tahun dan memiliki golongan minimal IV A, tetap mendapatkan tunjangan sertifikasi.

"Jadi SK harus ditinjau kembali atau batal demi hukum, karena tidak sesuai peraturan dan guru-guru harus tetap mengajar untuk masa depan pendidikan di daerah," tuturnya.

Anggota DPRD Simalungun dari Fraksi PDIP Rospita Sitorus menyebut, melihat rasio antara guru dan siswa di Kabupaten Simalungun, sebenarnya masih sangat perlu tambahan tenaga pengajar sebanyak 2.000 orang. Namun dengan berhentinya fungsional ratusan guru, merupakan sebuah kebijakan yang keliru.

"Saya pernah menjadi tenaga pengajar. Saya tahu bagaimana perasaan para guru. Kami bersama fraksi lainnya akan berjuang untuk para guru," tukas perempuan yang baru saja terpilih sebagai pengurus PDIP Kabupaten Simalungun tersebut.

Perwakilan Aliansi Mahasiswa Alboin Samosir mengatakan, pihaknya bersama guru serta lembaga lainnya akan mengajukan rapat dengar pendapat (RDP) bersama DPRD Simalungun serta lembaga terkait guna membahas perkembangan SK Bupati Simalungun tersebut. "Kita mencari jalan keluar agar tidak merugikan salah satu pihak," tuturnya.[] 

Baca juga:

Berita terkait
0
Ini Alasan Mengapa Pemekaran Provinsi Papua Harus Dilakukan
Mantan Kapolri ini menyebut pemekaran wilayah sebenarnya bukan hal baru di Indonesia.