Yogyakarta - Beberapa provinsi di Indonesia, termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), sudah mewaspadai potensi kekeringan meteorologis yang akan terjadi pada tahun ini.
Stasiun Iklim (Staklim) Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Yogyakarta menyebut tahun 2020, musim kemarau di wilayah DIY cenderung lebih basah dibandingkan tahun sebelumnya.
Kepala Staklim BMKG Yogyakarta Reni Kraningtyas mengatakan, puncak musim kemarau DIY tahun ini terjadi pada Agustus dan September. Kemarau DIY yang cenderung basah ini disebabkan kondisi perairan di laut selatan DIY yang lebih hangat.
Selian itu, kemarau saat ini juga disertai adanya Indian Ocean Dipole (IOD) mode negatif. Akibatnya curah hujan lebih tinggi. "Suhu mula laut yang hangat di perairan selatan DIY sehingga memicu masih terjadi penguapan untuk terbentuknya awan-awan hujan," kata Reni kepada Tagar melalui sambungan telpon, Rabu, 2 September 2020.
Reni mengatakan, IOD yang negative juga memicu untuk terjadinya hujan. IOD ini merupakan fenomena saat kondisi suhu muka laut di bagian barat Pulau Sumatera lebih hangat dari suhu muka laut di wilayah pantai timur Afrika.
Padahal biasanya jika bukan kemarau basah, hampir semua Wilayah DIY sudah tidak ada hujan lebih dari 60 hari. Tapi beberapa waktu lalu Sleman hujan.
Hal tersebut menyebabkan bertambahnya pasokan uap air yang dapat meningkatnya potensi curah hujan di wilayah Indonesia bagian Barat, khususnya di wilayah Sumatera dan Jawa bagian barat. "Faktor-faktor tersebut memicu kemarau lebih basah di DIY dari pada tahun kemarin," ucapnya.
Biasanya, wilayah yang mengalami kekeringan atau tidak hujan di atas 60 hari sebagian kecil di Sleman dan Bantul. "Padahal biasanya jika bukan kemarau basah, hampir semua wilayah DIY sudah tidak ada hujan lebih dari 60 hari. Tapi beberapa waktu lalu Sleman hujan," ujarnya.
Pada musim kemarau, jumlah tutupan awan di atmosfir relatif sedikit, sehingga radiasi matahari berupa gelombang pendek yang menyinari bumi pada saat siang hari dipantulkan kembali oleh bumi (sebagai radiasi gelombang panjang di atmosfir pada malam hari) tanpa halangan.
Sementara panas yang dipantulkan oleh bumi langsung terbuang ke angkasa menyebabkan udara di permukaan bumi menjadi dingin. Dinginnya udara malam hari akan berlangsung hingga pagi hari menjelang siang hari hingga bumi kembali menyerap energi gelombang pendek dari matahari. "Kemudian dipancarkan lagi ke atmosfer dan pada saat itulah akan kembali merasakan kehangatan atau panas bumi," ungkapnya.[]