Berebut Ketua MPR Padahal Tidak lagi Powerful

Pertarungan memperebutkan kursi ketua MPR RI tergantung peta koalisi dan lobi partai. Padahal sudah tidak powerful.
Ilustrasi MPR. (Foto: dok. Tagar)

Jakarta - Pertarungan memperebutkan kursi ketua MPR RI periode 2019-2024, dikatakan analis politik dari Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago tergantung peta koalisi dan lobi partai.

"Pemilihan pimpinan MPR RI dengan sistem paket ini akan banyak diwarnai lobi dan kompromi tingkat tinggi dari partai-partai politik dalam menyusun nama-nama dalam paketnya," kata Pangi Syarwi Chaniago, di Jakarta, Selasa, 6 Agustus 2019, dikutip dari Antara.

Menurut dia, pertarungan rebutan kursi ketua MPR RI ini sangat bergantung pada kekuatan koalisi partai pengusung yang disesuaikan dengan instrumen tata tertib pemilihan.

Posisi dan fungsi MPR RI saat ini tidak powerful seperti pada era orde baru

Berdasarkan tata tertib, kata dia, paket pimpinan MPR RI berisi lima nama yakni satu ketua dan empat wakil. Paket pimpinan MPR RI berasal dari empat partai politik plus satu dari DPD.

Pangi memperkirakan, kemungkinan besar akan ada dua paket pimpinan MPR RI, misalnya paket A dan paket B, dan dari kedua paket tersebut masing-masing ada satu nama dari DPD.

"Itu artinya, partai-partai politik atau koalisi partai politik akan melakukan lobi dan kompromi untuk mendapatkan dukungan suara lebih banyak," katanya.

Ada beberapa nama yang mulai disebut-sebut akan diusulkan partainya untuk diusung menjadi ketua MPR dalam paket pimpinan MPR RI yakni, Ahmad Basarah (PDIP), Muhaimin Iskandar (PKB), Lodewijk Freidrich Paulus (Partai Golkar), Arsul Sani (PPP), dan Ahmad Muzani (Partai Gerindra Gerindra).

Paket pimpinan MPR RI akan dipilih setelah anggota DPR RI dilantik pada awal Oktober 2019, karena anggota MPR RI adalah anggota DPR RI plus anggota DPD RI.

Pangi mengatakan, posisi dan fungsi MPR RI saat ini tidak powerful seperti pada era orde baru, sebagai lembaga tertinggi negara. Saat itu, memiliki kewenangan untuk memilih dan melantik presiden dan wakil presiden. Selain itu juga membuat dan mengawasi jalannya garis-garis besar haluan negara (GBHN).

Setelah era reformasi, UUD 1945 diamandemen menjadi UUD NKRI 1945, yang hasilnya sejumlah kewenangan dan fungsi MPR RI dipangkas. Kemudian menjadi lembaga tinggi negara, sejajar dengan beberapa lembaga tinggi negara yang lain.

Menurut dia, kewenangan MPR RI hanya melantik presiden dan wakil presiden, serta ditambah tugas harian melakukan sosialisasi empat pilar.

Dari pendekatan ini, Ketua MPR RI sebetulnya bukan jabatan yang strategis, tidak perlu diperebutkan. 

"Namun, menjabat sebagai ketua MPR memiliki nilai tersendiri, status gengsi dan privilege serta fasilitas negara yang melekat atas jabatan tersebut mulai dari rumah dan mobil dinas, voorijder dan keamanan serta fasilitas penunjang negara lainnya," katanya.

Menjadi ketua atau pimpinan MPR, kata dia, mestinya tidak hanya mengedepankan syahwat politik, tapi harus menyampaikan narasi serta sikap politik kenegaraan. []

Baca juga: 

Berita terkait