Untuk Indonesia

'Berantem'

'Berantem'. Ahli hermeneutika akan mengambil konklusi sebuah teks setelah memahami seluruh isi wacana.
Presiden Joko Widodo menyampaikan sambutan dalam Rapat Umum Relawan Jokowi di Sentul Internasional Convention Center, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu (4/8/2018). (Foto: Ant/Arif Firmansyah)

Demokrasi makin matang antara lain ditandai kian minimnya kegusaran atau keresahan masyarakat dalam menyikapi gegap gempita lalu lalang opini yang tersaji di ruang publik.

Tahun-tahun awal reformasi, setelah belenggu kemerdekaan berekspresi terpatahkan, sebagian besar masyarakat di Tanah Air sempat cemas terhadap kemerdekaan beropini yang bercampur dengan euforia berpolitik.

Media massa yang semula dicekam ketakutan memberitakan keburukan penguasa yang tiranik, serta merta menjadi ajang untuk mengkritik, mengecam secara sarkastis. Bahkan, untuk media massa tertentu, halaman koran dapat dipakai menyalurkan sumpah serapah terhadap siapa pun yang dipandang tak sehaluan, tak seideologi.

Euforia itu secara pelan-pelan mereda. Kemerdekaan berpendapat mendapat jaminan. Pemberangusan media massa tak lagi ada. Sebaliknya, setiap orang punya akses memperoleh izin menerbitkan koran, tabloid, majalah.

Sampai hari ini, berkah demokrasi itu dinikmati publik. Ditunjang hadirnya media sosial, saluran mengutarakan pendapat makin komplet. Siapa pun dapat mengomentari pernyataan presiden, artis tersohor, cendekiawan terkemuka, dan pesohor lainnya.

Dalam konteks kemerdekaan beropini itu, cukup menarik apa yang terjadi belakangan ini terkait dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang dalam pidato tanpa teks menggunakan diksi berantem.

Rapat Umum Relawan JokowiPresiden Joko Widodo berswafoto dengan relawan dalam Rapat Umum Relawan Jokowi di Sentul Internasional Convention Center, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu (4/8/2018). Rapat Umum Relawan Jokowi se-Indonesia yang diikuti ribuan relawan dari lebih 100 organisasi tersebut mendeklarasikan dukungan untuk Presiden Joko Widodo dalam Pemilihan Presiden 2019. (Foto: Ant/Arif Firmansyah)

Kepada relawan yang akan mendukungnya dalam kampanye Pemilihan Presiden 2019, Jokowi antara lain membuat kalimat pengandaian, yang kurang lebih berbunyi sebagai berikut, "kalau diajak berantem ya harus berani".

Oleh mereka yang berada di kubu oposisi, kalimat pengandaian itu ditafsirkan sebagai ajakan Jokowi kepada relawannya untuk berkelahi, berantem, adu kekerasan.

Komentar negatif kalangan oposisi itu pun ditanggapi oleh pendukung Jokowi dengan mengatakan bahwa tafsir yang dipakai oleh oposisi itu sama sekali tidak tepat alias keliru.

Baca Juga: ICM Laporkan Jokowi, Relawan Die Hard Jokowi Tantang Debat Terbuka

Di sini demokrasi menoleransi percakapan publik tanpa harus ada kekuatan otokratik untuk menghentikan silang pendapat di ruang publik itu.

Dalam percaturan adu gagasan ini, media massa memainkan peran edukatifnya dengan mencoba mencari pendapat dari pihak yang dianggap netral tak berpihak.

Salah satu pendapat dari kalangan netralis muncul dari pakar linguistik Rahayu Surtiati dari Universitas Indonesia, yang menilai pernyataan Jokowi itu bukan kiasan.

Menurut guru besar linguistik itu, Kepala Negara sedang menyampaikan sebuah pengandaian.

Pendapat ahli bahasa itu untuk memperjernih perdebatan yang terjadi di kalangan kubu oposisi dan kubu pendukung pemerintah, yang tampaknya berkutat pada diksi berantem, yang di satu pihak menyatakannya sebagai diksi kiasan dan di pihak lawannya menyatakannya bukan kiasan tapi harfiah.

Jika ditelaah lebih jauh, perdebatan satu diksi dalam sebuah konteks pidato yang merupakan wacana bisa terjebak pada perdebatan semantik yang tak ada ujungnya. Artinya, bukan perkara diksi kiasan atau perumpamaan itu yang menjadi inti atau poin masalah.

Ahli hermeneutika akan mengambil konklusi sebuah teks setelah memahami seluruh isi wacana, dan bukan memfokuskan pada satu diksi atau satu kalimat.

Terlepas dari apakah pidato Presiden itu masih dalam batas-batas pernyataan yang normatif atau kontroversial, publik dapat membuktikannya dalam realitas politik yang akan terjadi.

Tampaknya, fenomena sengitnya kalangan oposisi mengomentari pernyataan pemerintah sudah makin mentradisi dan pemerintahan yang demokratis akan tahu batas-batas apakah sebuah pernyataan yang dilontarkan kaum oposisi dan pendukungnya itu sekadar bagian dari polemik, bentuk pernyataan verbal yang biasa atau fitnah yang menghasut.

Namun, dalam perspektif penganjur demokrasi liberal semacam Thomas Jefferson, pernyataan fitnah yang menghasut pun, yang bisa dikategorikan sebagai opini yang keliru, cukup diatasi dengan menjamin kemerdekaan ekspresi, yang memungkinkan akal budi atau nalar untuk memerangi fitnah atau hasutan itu.

Pemerintahan demokratis yang mantap dan matang tak akan dengan mudah bersikap paranoid dengan menciptakan hambatan-hambatan terhadap kemerdekaan berpendapat.

Semua pendapat, pernyataan verbal, termasuk yang bermuatan fitnah, ditenggang untuk diuji, diverifikasi, atau difalsifikasi di ruang publik.

Yang perlu diwaspadai oleh pemerintahan yang demokratis adalah penggunaan kekerasan fisik yang berpotensi melahirkan kekacauan sosial dari kaum oposisi.

Dalam konteks ini, undang-undang kriminal cukup untuk meringkus siapa pun yang berpotensi menimbulkan kerusuhan, yang mengganggu ketertiban umum.

Aparat keamanan sebagai instrumen vital dalam menegakkan demokrasi hanya didayagunakan bukan pada ikhtiar menertibkan silang pendapat di ranah tindak tutur, tetapi tindak kekerasan jasmani.

Lewat perjalanan demokrasi sejak reformasi 1998, publik makin menyadari bahwa pertikaian mulut antara kubu pendukung pemerintah dan kubu oposisi hanya kegaduhan sesaat yang akan dengan sendirinya reda setelah timbul isu kontroversial lain yang lebih aktual.

Sayangnya, kesadaran itu belum diiringi oleh pengetahuan yang cukup krusial tentang bagaimana pertikaian pendapat itu diekspresikan dalam berbagai strategi yang dimungkinkan. Artinya, masih banyak kalangan yang menilai bahwa ekspresi opini harus disampaikan dengan santun, sopan, dan etiketis. Demokrasi tak mengatur tentang hal ini.

Apalagi dalam jagat linguistik dikenal apa yang disebut sebagai idiolek, yakni gaya atau ciri khas individual dalam melontarkan ujaran.

Individu yang punya karakter lantang dan kurang memperhitungkan aspek kesantunan dalam berbahasa bukan sosok yang tercela secara etis.

Malahan dalam budaya atau tradisi demokrasi, masyarakatnya mempraktikkan semboyan ini, "sopan santun justru merusak diskusi". (M Sunyoto/ant)

Berita terkait