Untuk Indonesia

Benarkah Erdogan dan Turki Lebih Hebat dari Jokowi dan Indonesia?

Turki di bawah kepemimpinan Erdogan sering dibanding-bandingkan dengan Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi. Benarkah Erdogan lebih hebat?
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Presiden Indonesia Joko Widodo atau Jokowi. (Foto: Tagar/AFP/Biro Pers Sekretariat Presiden)

Oleh: Syafiq Hasyim*

Turki di bawah kepemimpinan Erdogan sering dibanding-bandingkan dengan Indonesia di bawah kepemimpinan Joko Widodo. Perbandingan dan penghadap-hadapan antara Erdogan dan Jokowi yang sering dilakukan oleh kelompok islamis di Indonesia ini karena keduanya memang memimpin dua negara (berpenduduk) muslim terbesar di dunia dalam waktu hampir bersamaan.

Indonesia memiliki penduduk mayoritas muslim 87 % dan Turki memiliki penduduk mayoritas muslim 96 %. Keduanya adalah negara yang tidak menganut sistem syariah sebagai sistem ketatanegaraan mereka. Bahkan Turki sampai sekarang masih menjadi negara yang secara resmi menganut ideologi pemisahan antara urusan agama dan politik, atau populer dengan sebutan ideologi sekuler.

Namun sejak Erdogan memimpin Turki sebenarnya Erdogan ini berganti-ganti posisinya dalam memimpin Turki, antara perdana menteri dan presiden. Kalangan islamis Indonesia, kalangan yang menginginkan Indonesia menggunakan sistem politik Islam seringkali mengungkapkan bahwa Turki di bawah Erdogan jauh lebih sukses dibandingkan Indonesia di bawah Jokowi.

Dalam catatan kali ini, saya ingin menyoroti benarkah Turki dengan kepemimpinan Erdogan itu lebih sukses, katakanlah lebih demokratis dan terbuka kepada rakyatnya, dibandingkan dengan Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi?

Seringkali kampanye tentang keberhasilan kepemimpinan Erdogan di Turki yang dibandingkan dengan Indonesia di bawah Jokowi itu didasarkan pada asumsi-asumsi ideologis. Karena ternyata, dalam soal kebebasan dan demokratisasi, Erdogan membuat banyak kebijakan yang sebenarnya tidak memberi ruang kebebasan dan demokrasi kepada rakyatnya.

Jika mereka konsisten, Turki di bawah Erdogan sebenarnya tidak lebih demokratis dan terbuka dibandingkan Indonesia di bawah Jokowi saat ini.

Sejak zaman Kemal Attaturk sampai zaman sekarang, Turki masih setia dengan konsep pemilahan urusan agama dan politik. Konsep pemerintahan sekularisme ini tetap menjadi pilihan Turki.

Bagaimana dengan Erdogan? Erdogan secara formal memang tidak memiliki keberanian untuk mengubah sistem ini, namun secara diam-diam kebijakan Erdogan sering bernuansa pengutamaan pada aspirasi kaum islamis di Turki. Menurut catatan Ahmet T. Kuru, Erdogan dianggap sebagai pemimpin Turki yang mencoba membangun negerinya di atas ideologi Islamis-populis (lihat buku, Ahmet T. Kuru, Islam, Authoritarianism and Underdevelopment; Global and Historical Comparison, Cambridge University Press, 2019).

Jika demikian yang terjadi, maka ketika Indonesia berusaha mati-matian mempertahankan bentuk negara Pancasila sebagai amanat dari founding fathers Indonesia dari serangan bertubi-tubi kelompok khilafah dan kelompok islamis, Erdogan berkeinginan untuk melakukan perubahan diam-diam atas pembentukan negara yang berbeda dengan aspirasi para pendiri Republik Turki saat itu, yakni mengubah Turki dari negara berprinsip sekuler ke negara yang berdasar pada Islam.

Itukah yang dianggap sebagai kelebihan Erdogan? Beberapa hal yang sering dikemukakan oleh para islamis Indonesia dalam mengunggulkan Turki di bawah Erdogan atas Indonesia di bawah Jokowi adalah keleluasaan yang diberikan Erdogan kepada kalangan agamawan. Indonesia dianggap oleh kalangan islamis, banyak melakukan kriminalisasi ulama, menciptakan kasus hukum bagi kalangan agamawan yang kritis terhadap rezim. Erdogan sebaliknya. Apakah benar demikian adanya? 

Mari kita lihat cara Erdogan menangani kehidupan keagamaan di Turki, katakanlah keagamaan Islam. Di dalam sistem ketatanegaraan Turki, lembaga yang mengurusi keagamaan disebut dengan istilah Diyanet. Lembaga Direktorat Urusan Keagamaan ini memang disusun berdasar pada prinsip sekularisme, di mana urusan agama memang secara khusus dibuatkan tempat tersendiri dan terlepas dari urusan politik.

Urusan masjid terutama menjadi wilayah Diyanet. Bagaimana pada masa Erdogan di dalam mengatur masalah masjid dan kaitannya dengan klaim kaum islamis atas sikap demokratis dan keterbukaan Erdogan ini? Ternyata, Diyanet digunakan oleh Erdogan untuk lebih mengontrol kehidupan keagamaan di Turki daripada memberi kebebasan.

Namun jika itu terjadi pada Jokowi, meskipu levelnya jauh sekali di bawah Erdogan, kaum islamis Indonesia akan mengatakan Jokowi itu bengis dan menindas umat Islam.

Bayangkan ada 100 ribu masjid yang masih secara ketat dikontrol untuk menyuarakan aspirasi rezim populis-islamis Erdogan. Seluruh masjid di Turki, setiap Jumat tiba harus menunggu teks resmi yang diedarkan Diyanet untuk materi khutbah para imam mereka. Bayangkan kalau itu terjadi dan dilakukan Jokowi di Indonesia, di mana teks khutbah dikontrol oleh Kementerian Agama, pasti kaum islamis yang menyanjung Erdogan langsung bereaksi dan mengatakan Jokowi anti-umat Islam.

Bahkan Erdogan menggunakan kekuasaannya atas masjid untuk kepentingan kampanye untuk mendukung dia di dalam pemilu. Jangankan mengontrol khutbah Jumat seluruh Indonesia seperti Erdogan pada Turki, mengusulkan adanya sertifikasi dakwah yang bertujuan meningkatkan literasi pendakwah, pemerintahan Jokowi langsung mendapatkan protes dari banyak kalangan. Sertifikat dakwah dianggap sebagai bentuk pembungkaman atas suara dan kebebasan kaum agamawan di Indonesia.

Dalam catatan Ahmet T. Kuru, model kepemimpinan Erdogan sebenarnya telah mengadopsi sejumlah daftar dari cara kepemimpinan otoriter, termasuk penguasaan properti (kekayaan) ribuan warga negara dan juga pemenjaraan ribuan orang dengan menggunakan hukum terorisme. Tindakan-tindakan yang demikian ini, di mana kalangan islamis yang memuji Erdogan dianggap tidak ada atau tidak pernah terjadi. Jika itu terjadi, maka kalangan islamis mencarikan argumen bahwa apa yang dilakukan Erdogan adalah untuk Islam. Namun jika itu terjadi pada Jokowi, meskipun levelnya jauh sekali di bawah Erdogan, kaum islamis Indonesia akan mengatakan Jokowi itu bengis dan menindas umat Islam.

Masih banyak contoh yang lain sebenarnya yang menyebabkan kepemimpinan Erdogan di Turki tidak lebih baik dari kepemimpinan Jokowi di Indonesia saat ini. Perburuan Erdogan yang sampai sekarang masih terjadi atas ribuan aktivis, juga politisi Krudhi dan juga ribuan kaum Gulen, sebuah organisasi yang dulu merupakan teman Erdogan, yang dipimpin Fethullah Gulen. Dari kawan karib menjadi musuh utama. Jika ini terjadi pada Jokowi, jelas kaum islamis akan mengatakan Jokowi melakukan tindakan kriminalisasi ulama, sementara Erdogan melakukan perlindungan diri atas kepemimpinan yang sah di Turki.

Sebagai catatan, klaim-klaim Turki di bawah Erdogan lebih unggul dari Indonesia di bawah Jokowi adalah klaim-klaim yang seringkali didasarkan pada sikap inkonsisten dan cara pandang kaum islamis yang double standard. Jika mereka konsisten, Turki di bawah Erdogan sebenarnya tidak lebih demokratis dan terbuka dibandingkan Indonesia di bawah Jokowi saat ini.

*Pengajar di FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, MA dari Leiden University, Belanda, Wakil Ketua Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU)

Berita terkait
Turki Kecam Karikatur Cabul Recep Tayyip Erdogan
Majalah Prancis, “Charlie Hebdo”, terbitkan karikatur cabul Erdogan. Ankara kecam publikasi tersebut dengan sebutan “rasisme kebudayaan“
Presiden Recep Tayyip Erdogan Komentari Kartun Charlie Hebdo
Pejabat di Turki, termasuk Presiden Recep Tayyip Erdogan, mencela kartun Erdogan di majalah satir Perancis “Charlie Hebdo”
Profil Recep Tayyip Erdogan, Sebut Macron Sakit Mental
Sebelum menjabat Presiden Republik Turki, Erdogan sempat menduduki posisi Perdana Menteri Turki sejak 14 Maret 2003 hingga 28 Agustus 2014.
0
Hasil Pertemuan AHY dan Surya Paloh di Nasdem Tower
AHY atau Agus Harimurti Yudhoyono mengaku sudah tiga kali ke Nasdem Tower kantor Surya Paloh. Kesepakatan apa dicapai di pertemuan ketiga mereka.