Belajar dari Unggahan Video Alfamart

Unggahan foto, video dan tulisan ke dunia maya akan berdampak luas dan bisa timbulkan stigma sehingga perlu etika agar tidak melawan hukum
Ilustrasi. (Foto: animate.co.jp)

Oleh: Syaiful W. Harahap*

TAGAR.id - Terlepas dari bisa atau tidak karyawati Alfamart Sampora, Cisauk, Tangerang, Banten, digugat dengan UU ITE karena mengunggah gambar seorang perempuan yang diduga mencuri coklat di toko retail itu, ada baiknya perlu memperhatikan aspek-aspek hukum dan sosial jika mengunggah foto, video atau tulisan ke dunia maya.

Dugaan pencurian itu terjadi pada Sabtu, 13 Agustus 2022, pukul 10.30 WIB. Pihak Alfamart membuat dua laporan ke polisi yaitu pencurian dan intimidasi yang dilakukan oleh M.

Pihak Alfamart dan perempuan yang diduga mencuri coklat, M, sudah berdamai di Mapolres Tangerang Selatan (Tangsel), Banten, 15 Agustus 2022. Alfamart mencabut laporan ke polisi.

Tapi, yang harus diingat adalah jejak digital unggahan itu sudah menimbulkan berbagai dampak sosial dan psikologis terutama bagi M dan keluarganya. Dikabarkan keluarga M minta maaf kepada karyawan Alfamart dan netizen atas kejadian yang melibatkan M.

Dari aspek etika unggahan itu tidak etis karena menampakkan wajah M yang kala itu sebagai terduga mencuri coklat. Yang etis adalah membuat wajah M kabur atau blur.

Tentu saja untuk menetapkan kasus itu sebagai tindak pidana harus melalui proses hukum yaitu polisi, kejaksaan dan sidang di pengadilan negeri.

Gambar itu akan terpatri di benak orang-orang yang menyaksikan unggahan video yang sudah kadung viral itu. Jika M mempunyai suami dan anak, maka mereka akan menanggung beban moral biar pun mereka tidak terlibat dalam aksi itu.

Anak-anak M akan jadi sasaran perundungan (bully) dan ejekan teman-temannya. Ketika ada yang kehilangan di kelas atau di tempat bermain maka anak-anak M akan jadi korban karena sudah mendapat stigma (cap buruk) sebagai anak pencuri.

Seperti halnya ketika polisi mengejar terduga pelaku kejahatan yang membawa wartawan televisi merupakan tindakan yang tidak memikirkan dampak buruk terhadap keluarga dan tetangga terduga pelaku kejahatan.

Penangkapan yang disiarkan televisi itu menempatkan keluarga terduga pelaku kejahatan dan tetangganya dalam kondisi yang rentan jadi sasaran kemarahan masyarakat. Padahal, terduga pelaku itu belum divonis bersalah oleh hakim melalui sidang pengadilan.

Istri dan anak-anak terduga pelaku tindak criminal itu akan jadi sasaran jika ada yang kehilangan sesuau di lingkungannya atau di sekolah. Teman-teman anak terduga pelaku criminal itu akan menuduh mereka sebagai pencuri, karena orang tuanya ditangkap polisi, misalnya, dengan tuduhan mencuri.

Jangankan mengunggah video, dalam dunia jurnalistik memotret kerumunan pun harus seizing orang-orang yang dipotret. Karena bisa saja seorang laki-laki dalam foto atau siaran TV bersebelahan dengan seorang perempuan yang sama sekali tidak saling kenal.

Tapi, karena foto berdekatan bisa menimbulkan dugaan mereka saling kenal karena berdektan. Kondisi ini bisa merusak rumah tangga si laki-laki atau perempuan yang ada dalam foto. Maka, perlu juga penjelasan dalam teks foto agar tidak timbul dugaan buruk.

Dalam film All the President's Men, misalnya, wartawan yang melakukan wawancara terlebih dahulu minta izin apakah wawancara itu boleh dia tulis. Ini menunjukkan etika wartawan dalam bekerja.

Sudah banyak kasus unggahan, baik foto, video maupun tulisan, yang berakhir di meja hijau dengan vonis penjara.

Bahkan, seorang pakar telematika (KBBI: ilmu tentang transmisi data komputer jarak jauh) yang juga Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Roy Suryo, kesandung UU ITE karena unggahan meme stupa mirip (KBBI: baca mim - gambar-gambar buatan sendiri yang dimodifikasi dengan menambahkan kata-kata atau tulisan-tulisan untuk tujuan melucu dan menghibur) Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Tapi, meme Roy Suryo itu terkait dengan stupa (bangunan suci agama Buddha) sehingga masuk kategori ujaran kebencian bernuansa SARA dan penistaan agama.

Maka, di era kebebebasan bermedia (sosial) sekarang ini pengguna media sosial harus menahan diri agat tidak terjerumus ke pelanggaran hukum (pidana) bahkan bisa juga perdata.

Pengguna media sosial perlu belajar ke wartawan yang memegang asas kode etik jurnalistik dengan self censorship yaitu melakukan sensor dulu terhadap berita yang ditulis apakah ada perbuatan melawan kode etik jurnalistik dan hukum serta aspek-aspek lain. []

* Syaiful W. Harahap, Redaktur di Tagar.id

Berita terkait
Singapura Minta Facebook Koreksi Unggahan Pengguna
Singapura meminta Facebook mengoreksi sebuah unggan di platform media sosial tsb setelah pengguna menolak permintaan Singapura
0
Belajar dari Unggahan Video Alfamart
Unggahan foto, video dan tulisan ke dunia maya akan berdampak luas dan bisa timbulkan stigma sehingga perlu etika agar tidak melawan hukum