TAGAR.id, Jakarta – Rapat Gubernur Bank Indonesia (BI) pada 18-19 Oktober 2023 memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan untuk memperkuat nilai tukar rupiah. Sasmito Madrim melaporkannya untuk VOA.
BI secara tak terduga menaikkan suku bunga pada Kamis (19/10-2023) untuk menjaga nilai tukar rupiah, yang berada di bawah tekanan di tengah pengetatan moneter Amerika Serikat (AS) dan meningkatnya risiko geopolitik.
BI menaikkan suku bunga acuan 7-day reverse repurchase rate (BI7DRR) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6,00 persen, kenaikan kedua tahun ini dan ketujuh sejak memulai siklus pengetatan pada tahun 2022.
Semua ekonom yang disurvei oleh Kantor Berita Reuters sebelumnya memperkirakan tidak akan ada perubahan.
Dua suku bunga BI lainnya juga dinaikkan dengan jumlah yang sama. Suku bunga Deposit Facility dan Lending Facility juga naik masing-masing sebesar 25 bps menjadi 5,25 persen dan 6,75 persen.
Keputusan tersebut diambil ketika nilai tukar rupiah menghadapi tekanan baru, mencapai level terendah sejak tahun 2020 pada hari Kamis karena investor yang menghindari risiko lebih memilih investasi aman di tengah pengetatan moneter di negara-negara maju dan ketegangan di Timur Tengah.
Salah satu contoh ketidakpastian global yaitu ketegangan geopolitik yang kemudian mendorong harga energi dan pangan meningkat sehingga dapat mengakibatkan inflasi global tetap tinggi.
"Untuk mengendalikan inflasi, suku bunga kebijakan moneter di negara maju, termasuk Federal Funds Rate, diperkirakan akan tetap bertahan tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama," kata Perry di Jakarta, Kamis (19/10-2023).
Perry memperkirakan pertumbuhan ekonomi global juga akan melemah sebesar 2,9 persen pada 2023 dan melambat menjadi 2,8 persen pada 2024. Kendati ekonomi Amerika Serikat pada 2023 masih tumbuh kuat karena ditopang konsumsi rumah tangga dan sektor jasa, namun ekonomi China melambat dipengaruhi pelemahan konsumsi dan penurunan kinerja sektor properti.
Faktor lainnya yang menjadi pertimbangan adalah penguatan dolar Amerika yang menyebabkan tekanan pelemahan berbagai mata uang negara, termasuk nilai tukar Rupiah. Sebagai contoh Yen Jepang melemah 12,44 persen, dolar Australia 6,61 persen, dan Euro 1,4 persen.
"Dalam periode yang sama, dengan langkah-langkah stabilisasi yang ditempuh Bank Indonesia, nilai tukar rupiah terdepresiasi 1,03 persen (year to date), relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara di kawasan dan global tersebut," tambahnya.
Perry menyampaikan Bank Indonesia akan terus memperkuat bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Antara lain dengan melakukan intervensi di pasar valas, perluasan ekosistem ekonomi digital, dan perluasan kerja sama Kode QR Standar Indonesia (QRIS) antarnegara.
BI juga mengatakan akan menerbitkan surat berharga dalam mata uang asing untuk memperdalam pasar valuta asing dalam negeri, meringankan langkah-langkah likuiditas bagi bank, dan memperluas kebijakan tanpa uang muka untuk hipotek dan kredit mobil untuk meningkatkan pinjaman.
Rupiah memulihkan sebagian kerugiannya setelah pengumuman BI itu. Mata uang ini telah melemah sebanyak 0,81 persen sebelum pengumuman suku bunga.
Rupiah merupakan salah satu mata uang negara-negara berkembang di Asia dengan kinerja terbaik, sebagian didukung oleh surplus perdagangan Indonesia.
Pengamat: BI Tidak Punya Banyak Pilihan Lain
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menilai Bank Indonesia tidak memiliki banyak pilihan, selain menaikkan suku bunga acuan. Sebab, ia memprediksi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika bisa menembus Rp16 ribu jika BI tidak mengambil kebijakan tersebut.
Belum lagi, kata dia, inflasi juga bisa terdorong naik karena kenaikan harga bahan pangan bergejolak (volatile food) seperti beras.
"Jadi situasinya sekarang, BI mau tidak mau (menaikkan) karena nilai tukar depresiasinya hampir 6-7 persen. Kalau tidak dinaikin bisa menembus Rp16 ribu hingga akhir tahun," jelas Tauhid kepada VOA, Kamis (19/10-2023).
Kendati demikian, Tauhid mengingatkan kenaikan suku bunga tersebut dapat mengakibatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia melemah. Karena itu, ia menyarankan pemerintah agar neraca perdagangan Indonesia atau ekspor Indonesia tidak menurun.
Selain itu, laju kredit perbankan juga bisa mengalami penurunan karena kenaikan suku bunga. Hal ini dapat berakibat pada penurunan belanja masyarakat yang juga dapat berdampak pada ekonomi. Ia menyarankan pemerintah untuk mendorong belanja masyarakat dan menjaga belanja pemerintah untuk menjaga pertumbuhan ekonomi.
Para analis mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah menghalangi BI untuk memotong suku bunga, bahkan ketika inflasi turun ke level terendah dalam 19 bulan pada bulan September, mendekati batas bawah kisaran target BI sebesar dua persen hingga empat persen untuk tahun 2023.
BI akan menurunkan kisaran target menjadi 1,5 persen hingga 3,5 persen pada tahun depan.
Para ekonom dalam survei terbaru Reuters memperkirakan BI akan mempertahankan suku bunganya hingga akhir kuartal pertama tahun 2024, lebih lama daripada perkiraan sebelumnya.
BI mempertahankan perkiraan pertumbuhan ekonomi terbesar di Asia Tenggara ini pada angka 4,5 persen hingga 5,3 persen pada 2023. (uh,sm/ab)/Reuters/voaindonesia.com. []