Bakumsu: Pilih Calon Gubernur Yang Tidak Terlibat Mafia Tanah

Bakumsu: pilih Calon Gubernur yang tidak terlibat mafia tanah. Konflik agaria merupakan persoalan utama di Sumut bahkan konflik yang terbesar dan terbanyak.
Saurlin Siagian didampingi pengurus Bakumsu lainnya, Suryati Simanjuntak dan Manambus Pasaribu menyampaikan berbagai kasus dan persoalan utama di Sumut seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. (Foto: Tagar/Wesly Simanjuntak)

Medan, (Tagar 24/3/2018) - Perhimpunan Badan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) minta calon pemilih Sumatera Utara (Sumut) untuk menyeleksi dan memilih calon kepala daerah yang tidak terlibat konflik agraria pada pilkada serentak tahun 2018 di Sumatera Utara.

Bakumsu memandang bahwa pilkada serentak gubernur dan bupati/walikota di 8 daerah di Sumut merupakan momentum penting dalam rangka memastikan penyelengaraan pemerintahan yang bersih dan perbaikan tata kelola Sumber Daya Alam (SDA) dan penyelesaian konflik agraria.

"Konflik agaria merupakan persoalan utama di Sumut bahkan konflik yang terbesar dan terbanyak. Yang sampai hari ini belum bahkan tidak terselesaikan oleh para kepala daerah termasuk gubernur," ujar Ketua Bakumsu di de'Kongkow Cafe Jalan Harmonika Padang Bulan Medan, Sabtu (24/3).

Saurlin Siagian yang didampingi pengurus Bakumsu lainnya, Suryati Simanjuntak dan Manambus Pasaribu menyampaikan berbagai kasus dan persoalan utama di Sumut seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta banyaknya premanisme atau mafia akan terselesaikan.

"Sampai hari ini belum ada calon gubernur dan wakil gubernur atau calon bupati/wakil bupati yang berani memberi solusi untuk persoalan itu," kata Saurlin Siagian.

Dalam ruang lingkup yang lebih luas, Suryati menambahkan, Sumut selalu diwarnai rangkaian kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang memperjuangkan haknya di areal perkebenunan dan eks HGU perkebunan tanah maupun kawasan hutan.

Sepanjang tahun 2017 Bakumsu mencatat korban kekerasan dan kriminalisasi sebanyak 114 orang dan terdapat 24 kasus konflik tanah yang muncul ke permukaan dengan luas lahan lebih kurang mencapai 27.000 ha dan melibatkan 4.000 kepala keluarga.

"Pola pendekatan birokrasi daerah yang menempatkan diri sebagai perpanjangan tangan negara dan penguasa absolut SDA dan praktik penegakan hukum masih cenderung menempatkan diri sebagai satuan pengamanan korporasi dan menjadi penyumbang angka konflik agraria serta kekerasan dan kriminalisasi," kata Suryati yang juga menjabat Direktur LSM KSPPM.

Ironisnya, di tengah gencarnya arus modal tersebut, kata Suryati, aspek-aspek yang terkait langsung dengan kepentingan rakyat justru terpinggirkan. Salah satunya tampak pada implementasi putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 yang sangat lambat. Agenda nasional reformasi agraria dan perhutanan sosial (RAPS) belum secara konkrit. Khususnya pengembalian hutan adat kepada 11 komunitas adat yang telah diusulkan penyelesaiannya kepada Kementerian Lingkungan Hidup oleh Bakumsu, KSPPM dan AMAN Tano Batak.

"Sampai saat ini pengakuan masyarakat adat lewat Peraturan Daerah (Perda) dit ingkat Provinsi dan Kabupaten belum terwujud," tukasnya.

Untuk itu pada pertemuan itu, Bakumsu mengajak masyarakat untuk memperhatikan calon kepala daerah pada pilkada serentak Sumut tahun 2018 yang mau menyelesaikan konflik agraria di Sumut.

Selain itu Bakumsu juga mengajak masyarakat melihat calon kepala daerah yang menghormati hak asasi manusia (HAM), menolak mobilisasi isu SARA sebagai alat untuk memperoleh dukungan politik, menolak politik uang. Dan yang terakhir memperhatikan calon kepala daerah yang memiliki komitmen politik terhadap realisasi tata kelola pemerintahan yang transparan, bebas dari korupsi yang memastikan keterlibatan masyarakat sipil dalam formulasi dan implementasi kebijakan publik. (wes)

Berita terkait
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.