Di KTT ASEAN dan Korsel, Presiden Jokowi berpidato yang isinya tentang ekonomi kreatif adalah ekonomi masa depan dan mengajak negara-negara ASEAN agar menerapkan sistem digital untuk mengantisipasi begitu cepatnya laju perkembangan teknologi.
Jujur saya bingung dengan apa yang dimaksudkan Presiden Jokowi, teknologi sistem digitalnya atau teknologi yang dikendalikan sistem digital?
Saya berangkat dari dua hal tersebut dan mencoba mengkaji manfaatnya bagi Indonesia.
Defisit neraca perdagangan RI berujung pada defisit transaksi berjalan APBN, utamanya disebabkan rendahnya nilai ekspor dan derasnya laju impor. Either genjot ekspor or turunkan nilai impor. Kondisi Indonesia saat ini yang paling rasional adalah menurunkan nilai impor.
Saya yakin, defisit neraca perdagangan saat ini bisa diminimalkan dengan menurunkan impor bahan baku industri dalam negeri. Pemerintah harus bangun industri logam dasar dan kimia dasar, sebagai hulu dari industri manufaktur. Keduanya akan menyuplai bahan baku industri farmasi, kedokteran, petrokimia, makanan dan minuman, metalurgi, dan lain-lain di dalam negeri dan ekspor.
Ketergantungan kita pada Asing yang menurun, menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang mandiri berdikari.
SDM yang dibutuhkan hanya kualitas bakul. Indonesia tidak butuh ilmuwan andal.
Nilai defisit neraca perdagangan RI sangat tinggi, tidak mungkin bisa diimbangi dari Sektor Ekonomi Kreatif.
Saya percaya, fundamental ekonomi Indonesia akan kokoh ke depan jika berbasis pada sektor riil termasuk industri manufaktur.
Kita tidak bisa serta merta mencontoh Tiongkok, karena fundamental ekonomi Tiongkok berbasis Industri manufaktur, sedang Indonesia masih nun jauh di belakang.
Industri manufaktur adalah tulang punggung ekonomi Indonesia masa depan, bukan ekonomi kreatif. Ekonomi kreatif hanya ndompleng saja.
Digitalisasi pada sistem industri sudah dikenal di Eropa sejak era 80an, saat saya masih menjadi Diaspora di Jerman, Swedia dan Perancis. Bukan barang baru. Dan mereka mengembangkan sistem digital ini dari hulu hingga hilir, sedang kita hingga saat ini hanya berjalan di tempat sebagai user. Mengapa harus nggumun?
Begitu semangatnya Pemerintah mengembangkan sektor Ekonomi Kreatif, maka SDM yang dibutuhkan hanya kualitas bakul. Indonesia tidak butuh ilmuwan andal. Asal pandai berdagang, sudah cukup bagi Indonesia. Indonesia hanya menjadi pasar bukan tempat berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi.
Munculnya bakul-bakul milenial adalah hal yang akan terjadi ke depan.
Gambaran ekonomi makro Indonesia saat ini sebagai berikut:
Direksi BUMN gajinya tidak kurang dari Rp 3 M per bulan, Komisaris BUMN gajinya tidak kurang dari Rp 1 M per bulan, sedang gaji guru honorer masih banyak yang di kisaran Rp 200 ribu per bulan.
Menyedihkan sekali kondisi bangsaku, bagaimana bisa kesenjangan ekonomi yang luar biasa tinggi, terjadi di negara Pancasila, dan kondisi itu lebih parah dari negara kapitalis.
*Akademisi Universitas Gadjah Mada