Untuk Indonesia

Bagi Prabowo, Wartawan yang Berpikir Berarti Tidak Independen

Kalau ia bilang Ratna Sarumpaet digebukin orang, wartawan wajib percaya, gak usah pakai mikir. - Eko Kuntadhi
Prabowo Subianto. (Foto: Facebook/Prabowo Subianto)

Oleh: Eko Kuntadhi*

Prabowo marah. Publik gak heran. Emang selalu begitu perangainya. Kalau gak marah, ya ngejek.

Tapi kali ini Prabowo marah pada media. Ia kecewa kenapa acara reuni 212 di Monas, tidak mendapat liputan yang luar biasa. Ia maunya, bahkan jika batuk pun, media akan memberitakan di halaman depan.

Dari semua TV, hanya TV One yang sibuk bicara soal reuni tanpa sekolah itu. Kedua, paling iNews, TV berita milik Hary Tanoesoedibjo yang juga memberitakan meski gak heboh. TV lain memilih hanya mengabarkan sepintas lalu.

Sebenarnya alasannya sederhana. Pertama, seperti kata Panitia, itu hanya acara reuni biasa. Bukan perhelatan politik. Lho, kalau acara reuni biasa, apa menariknya untuk diberitakan?

Masak media harus repot-repot membicarakan orang reuni. Paling hebat isinya pengajian. Orang ngumpul-ngumpul, ngobrol soal masa lalu, ketawa-ketawi, foto-foto lalu pulang. Kembali ke alam nyata. Sebab rata-rata acara reuni, hanya sekadar membuka album lama. Mengenang nostalgia. Gak lebih.

Tapi menurut Prabowo, acara reuni 212 ini spesial. Mungkin karena sekolahnya gak ada. Kampus gak ada. Tapi orang bisa mengadakan reuni. Ajib kan? Makanya ia kesal media masa ogah meliputnya. Masa reuni yang dihadiri Prabowo Subianto, gak jadi headline?

Prabowo itu orang besar. Besar banget. Apa pun yang dilakukan harus jadi berita utama. Kalau gak diliput atau gak ditulis di halaman depan, awas kau!

Kata Prabowo, yang hadir dalam acara reuni itu 11 juta orang. Saya rasa di sinilah Prabowo menilai semua wartawan itu goblok. Jadi mereka gak mau memberitakan 11 juta orang yang hadir reuni.

Wartawan yang masih punya akal sedikit saja pasti menangkis jumlah itu. Kalau 11 juta orang, menurut hitungan seorang teman, dengan memperhitungkan ruas jalan, berjajar dari Monas ujungnya bisa sampai pintu tol Cikampek.

Jadi wartawan yang waras hanya mengira-ngira paling jumlahnya 60 ribu. Itu juga sudah dilebih-lebihkan. Gak apa-apa deh, namanya juga sama langganan.

Nah, karena jumlahnya hanya segitu dan ini hanya momentum reuni, buat apa diberitakan? Buat apa disiarkan heboh-heboh. Reuni aja kok. Gak punya dampak bagi bangsa dan negara. Apalagi bagi agama.

Pandangan Prabowo yang marah kepada wartawan, sesungguhnya karena ia ingin mengajak semua wartawan percaya pada kebohongan yang disebarnya. Kalau dia ngomong 11 juta, tulis saja 11 juta. Gak usah pakai nanya apalagi mengkalkulasi dengan akal sehat.

Ini sama seperti, kalau dia bilang Ratna Sarumpaet digebukin orang, wartawan dan semua masyarakat wajib percaya saja. Gak usah pakai mikir, kok digebukin lukanya bisa simetris. Kok, digebukin masih bisa main Twitter. Kok begini, kok begitu.

Gak perlu nanya alasan jika Prabowo sudah bicara. 11 juta, ya 11 juta. Itu jumlah yang banyak. Wajib diberitakan di halaman depan. Wajib direlai di acara TV. Gak usah mikir buat apaan berita itu. Apa urgensinya menyiarkan reuni. Apa manfaatnya buat masyarakat.

Ini acara Prabowo. Titik. Mau reuni, kek. Mau sunatan masal, kek. Mau pagelaran kuda kepang kek. Gak usah nanya. Beritakan saja di halaman pertama. Siarkan saja secara live.

Kalau media atau wartawan gak mau menyiarkan, artinya mereka berpihak. Artinya mereka mendukung Jokowi. Artinya media tidak objektif. Artinya media sok mikir. Padahal jadi wartawan gak boleh mikir di hadapan Prabowo. Percaya saja. Gak usah sok mempertanyakan.

Jika wartawan mau menggunakan akalnya sedikit, artinya ia berpihak. Jika media mau menggunakan standar jurnalistik yang baik, artinya ia gak independen. Jika wartawan tidak mau disamakan dengan kambing, artinya ia berpihak pada Jokowi. Begitulah logika yang ingin dibangun Prabowo.

Singkatnya begini. Bagi Prabowo, wartawan yang berpikir itu artinya tidak independen. Wartawan yang menggunakan akalnya artinya berpihak pada Jokowi. Kalau wartawan yang bersikap seperti kerbau dicucuk hidungnya, itu baru media hebat.

Tapi mungkin, Prabowo hanya meniru gaya Trump. Meniru mentah-mentah. Waktu kampanye Pilpres AS dulu juga Trump hobi sebar kabar bohong. Ia hobi mencaci media dan wartawan. Ia hobi menyebarkan ketakutan . Dan, ajegile, Trump menang.

Nah, belajar dari situlah Prabowo kemarin mencaci media. Ia meniru jejak Trump. Harapannya agar menang seperti kemenangan Trump.

Bedanya, Trump didampingi Melanie, mantan bintang panas yang jelita sebagai istrinya. Sehabis ia kampanye dan sibuk menyebar hoaks, Trump pulang ke rumah, lalu adem melihat wajah Melanie.

Entah, apakah hal yang sama bisa dilakukan Prabowo?

*Penulis adalah Pegiat Media Sosial

Berita terkait