Awal Muara Remaja Mabuk Air Rebusan Pembalut Wanita

Rasanya diklaim seperti nyabu. Namun, dari mana ide mabuk lewat media air rebusan pembalut itu?
Kepolisian gelar tersangka dan barang bukti pengungkapan sindikat narkotika jenis "liquid vape" di Kelapa Gading, Jakarta, Kamis (8/11/2018). Sejumlah barang bukti yang hadir, yaitu tabung vape, peralatan laboratorium dan bahan baku pembuatan yang mengandung narkotika. (Foto: Antara/Aprillio Akbar)

Semarang, (Tagar 9/11/2018) - Kebiasaan mabuk lewat media air rebusan pembalut disinyalir hasil transfer budaya antaranak jalanan (anjal) di Tanah Air. Mobilitas yang tidak terikat wilayah sehingga luwesnya pergaulan memicu sumber penyebaran perilaku negatif tersebut.

"Hasil koordinasi kami dengan Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Jawa Tengah (Jateng) menyebutkan perilaku itu dari luar Jawa Tengah. Ada perpindahan (perilaku) dari daerah lain," ungkap Sekretaris Komisi Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak (KPK2BGA), Eko Rusanto kepada Tagar News di Semarang, Jumat (9/11).

Eko mengaku, sejak fenomena tersebut mencuat ke permukaan, pihaknya langsung menjalin komunikasi dengan BNNP Jateng. Sebab informasi mabuk dengan minum air rebusan pembalut merupakan hasil deteksi lembaga antinarkoba itu.

"Saat ini pihak BNNP tengah melakukan pemantauan perkembangan kasus itu. Dari BNNP memang belum bisa melakukan tindakan hukum mengingat regulasi yang ada belum bisa menjangkau," beber dia.

Selain dengan BNNP, KP2GBA juga berkoordinasi dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AKB)  Jateng. Koordinasi untuk mematangkan langkah penanganan jika sudah ditemukan remaja nyair atau mabuk rebusan air pembalut.

"Jika memang ada temuan atau laporan kasus itu, kami mendorong segera dibentuk crisis center yang di dalamnya ada unsur lintas sektoral terkait. Ini harus dilakukan secara bersama, tidak bisa ego sektoral. Sehingga penanganannya bisa terpadu dan tuntas, bisa dilakukan monitoring dan pemetaan secara maksimal," jelas Eko.

Hal senada soal asal muara kebiasaan mabuk rebusan air pembalut disampaikan Plt DP3AKB, Sri Suwarna. Ia memprediksi kebiasaan nyair datang dari kota-kota besar berskala megapolitan di luar Jateng.

"Di kalangan anjal ada istilah untuk aktifitas bepergian bareng-bareng, yang dikenal dengan sebutan ngrembol. Mereka ini suka bepergian dari satu wilayah ke wilayah lain. Dimungkinkan kebiasaan nyair dari situ, dari anjal daerah lain yang lebih maju, bukan asli perilaku anjal di Jawa Tengah," terang Sri.

Faktor kemajuan teknologi informasi juga dinilai Sri berkontribusi pada cepatnya kebiasaan nyair menular di kalangan anjal. Mudahnya mengakses informasi membuat anjal tidak kesulitan mendapat informasi mengenai zat-zat tertentu atau kandungan sebuah barang yang mampu memberikan sensasi mabuk.

"Anak jalanan bisa saja tahu ada kandungan tertentu di pembalut yang bisa bikin nge-fly (mabuk) dari internet," imbuhnya.

Sebelumnya, BNNP Jateng mendeteksi hal baru di perilaku anjal di Jateng, yakni mabuk dengan mengonsumsi saripati rebusan pembalut. Selain Semarang, kebiasaan yang dikenal dengan sebutan nyair itu juga ditemukan di wilayah Purwodadi, Kudus, Pati maupun Rembang.

"Rata-rata remaja usia 13-16 tahun, mayoritas anak jalanan," tutur Kepala Bidang Pemberantasan BNNP Jateng, AKBP Suprinarto. []

Berita terkait