Untuk Indonesia

Atas Nama Fleksibilitas, Hak Pekerja Dimanipulasi

Tenaga kerja diyakini memiliki peran penting dalam mencapai tujuan pembangunan. Perlindungan terhadap hak dasar pekerja diperlukan.
Ilustrasi pekerja. (Foto: dok. Tagar)

Oleh: Afni Sari silaban 

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menempatkan pembangunan nasional sebagai dasar untuk membangun manusia Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur. 

Tenaga kerja diyakini memiliki peran penting dalam mencapai tujuan pembangunan. Perlindungan terhadap hak-hak dasar pekerja dibutuhkan untuk memastikan tercapainya tujuan pembangunan. Sebagai manusia, pekerja pun harus mendapat perlakuan secara manusiawi.

Persaingan pasar global mengaburkan kebijakan pemerintah.

Alih-alih melindungi tenaga kerja, aturan-aturan yang dibuat Pemerintah cenderung mendukung penindasan terhadap pekerja. Pemerintah memilih untuk melanggengkan kekuasaan pemodal, memuluskan pelaksanaan agenda-agenda ekonomi liberal yang memunculkan bentuk penjajahan baru (neokolonialisme) bagi bangsanya sendiri. 

Persaingan pasar global mengaburkan kebijakan pemerintah yang seharusnya berakar dari kebudayaan masyarakat, sama rata, sama rasa. Kesenjangan ekonomi meningkat, besarnya tekanan terhadap pekerja telah menghambat tercapainya tujuan pembangunan sesuai amanat Undang-Undang.

Dalam Draf Revisi yang dibuat Kementerian Hukum dan HAM mengenai status ketenagakerjaan, penetapan upah dan fasilitas pendukung, penetapan jam kerja, dan ketentuan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) lebih meringankan kewajiban pemberi kerja. Atas nama fleksibilitas, hak-hak pekerja dimanipulasi. 

Secara rinci dalam draf tersebut dijelaskan bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dapat diperpanjang dari semula 3 tahun menjadi 5 tahun (Revisi Pasal 60 Ayat 1). Bagi pekerja, ketidakpastian selama 3 tahun yang ditetapkan sudah sangat memberatkan. 

Berstatus sebagai karyawan kontrak yang sifatnnya sementara mengakibatkan terbatasnya hak-hak yang diterima seperti gaji maupun tunjangan-tunjangan lain bila dibandingkan dengan karyawan tetap. 

Upaya mengurangi jumlah karyawan tetap tanpa mengurangi produktivitas kerja semata-mata hanya berorientasi pada keuntungan yang diterima pemberi kerja.

Revisi juga dilakukan terhadap Pasal 64-66 terkait penggunaan tenaga kerja borongan (outsourcing) yang semula hanya boleh digunakan untuk jenis pekerjaan tertentu yang sifatnya penunjang, kini diperluas untuk segala jenis pekerjaan. Artinya, tenaga kerja borongan boleh diperuntukkan untuk kegiatan operasional utama perusahaan (pemberi kerja). 

Peluang ini tentu akan dimaksimalkan oleh perusahaan, karena tanpa ikatan langsung perusahaan pengguna jasa tidak perlu memikirkan pemenuhan hak-hak pekerja seperti tunjangan, jaminan ketenagakerjaan, dan sebagainya. Lagi-lagi, alasan pemberi kerja adalah efisiensi biaya.

Draft revisi yang baru juga memperbolehkan penetapan PHK tanpa melalui mekanisme persidangan (revisi Pasal 151-155), yaitu hanya antara pengusaha dan pekerja. 

Padahal, sudah jelas pekerja tidak punya kekuatan untuk menentang keputusan pengusaha tanpa bantuan lembaga penyelesaian perselisihan. Dengan kata lain, tidak ada pihak yang akan menopang pekerja. Selain itu, perijinan PHK atas kesalahan berat kembali dimasukkan. 

Padahal, tidak ada pihak yang bisa menilai apakah kesalahan yang dilakukan termasuk kesalahan berat atau bukan. Penilaian oleh pemberi kerja bisa jadi sangat subjektif atau bahkan kesannya dibuat-buat.

Fasilitas kesejahteraan pada Pasal 100 dihapuskan. Penghapusan ini jelas akan memperburuk kesejahteraan pekerja. Tujuan penyejahteraan pekerja dan keluarganya sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 4 mutlak tidak tercapai. 

Selain itu, uang pesangon pada Pasal 156 yang semula ditentukan “paling sedikit” menjadi “paling banyak” dan hanya mempertimbangkan kemampuan pengusaha (revisi Pasal 161-166). 

Dari mana kita dapat menilai kemampuan pengusaha dan mengapa tidak ada pertimbangan dari sisi pekerja? Keadaan diperparah dengan dihapuskannya uang penghargaan masa kerja (revisi Pasal 156 Ayat 3). Loyalitas pekerja jelas dianggap tidak ada harganya.

Setelah mengurangi hak, kewajiban pekerja pun ditambah, yaitu melalui revisi Pasal 77 terkait penambahan jam kerja. Perusahaan akan bebas menentukan jam kerja demi mencapai target tanpa mempertimbangkan kondisi pekerja. 

Jam kerja lembur dibolehkan lebih dari 3 jam per hari atau lebih dari 14 jam dalam seminggu asal disepakati dengan pekerja. Pekerja akan terbebani untuk menolak perintah lembur. Ketentuan pembayaran gaji lembur pada kenyataannya juga sering ditetapkan sewenang-wenang oleh pemberi kerja.

Perampasan hak pekerja diperparah lagi dengan rencana penghapusan cuti haid dengan alasan dapat diatasi dengan obat pereda nyeri (revisi Pasal 81 ayat 1). Hal ini dimaksudkan untuk mempertahankan produktivitas pekerja perempuan yang dianggap hilang karena diperbolehkan cuti haid.

 Padahal, tidak ada produktivitas yang tercipta dari menahan rasa sakit. Meskipun bukan penyakit, rasa sakit akibat haid dialami oleh banyak perempuan. Penghapusan cuti haid menandakan tidak adanya penghargaan terhadap faktor reproduksi alamiah perempuan, selaku manusia.

Upaya membatasi ruang aspirasi pekerja pun dilakukan dengan merevisi Pasal 137 dan 145 tentang mogok kerja. Mogok kerja jelas adalah hak buruh jika dilakukan secara tertib, sah, dan damai sebagai bentuk penyampaian aspirasi akibat gagalnya perundingan dengan perusahaan. 

Pembatasan ini membuat pekerja kehabisan akal untuk melumpuhkan produksi perusahaan demi mempertahankan hak-hak dasarnya. Selain itu, keuangan serikat buruh juga akan dikontrol oleh pemerintah, termasuk bantuan dana dari luar negeri (revisi Pasal 104). Hal ini secara gamblang merupakan upaya melemahkan pergerakan serikat buruh sebagai penopang pekerja.

Keberpihakan ditunjukkan oleh pemerintah, sayangnya kepada ketidakadilan yang dilakukan pemberi kerja (pemodal). Upaya deregulasi besar-besaran semua peraturan yang menghambat kemajuan bangsa baru-baru ini disampaikan Jokowi

Pekerja hanya bisa berharap pembangunan yang tidak menekan dan mengorbankan kehidupan mereka. Demokrasi tentu tidak hanya soal politik, tetapi juga ekonomi, rakyat berdaulat. Biarkan rakyat menentukan nasib ekonominya sendiri.

*Penulis Mahasiswi Universitas Gajah Mada

Berita terkait
Jatuh dari Tower, 2 Pekerja Tewas di Jeneponto
Dua petugas PLTU Punagaya, di Jeneponto, Sulawesi Selatan (Sulsel) tewas setelah terjatuh dari tower saat bekerja.
Pabrik Mi di Simalungun, Abaikan Hak Para Pekerja
Sebanyak lima orang karyawan di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, tak diberikan pekerjaan oleh perusahaan di mana selama ini mereka bekerja.
Misi Sosial Pekerja 61 Tahun Tiap Hari Naik Sepeda
Nano, terengah saat menunjukkan KTP-nya. 61 Tahun usianya, terselip misi dari rutinitasnya tiap hari naik sepeda ke kantor.