Anggota DPD RI : Sanksi SMAN 1 Semarang Tidak Mendidik

Bagi Bambang, apa yang terjadi di sekolah, terlebih kegiatan LDK atas sepengetahuan guru dan kepala sekolah, tidak bisa dibebankan hanya kepada siswa.
SMAN 1 Semarang dinilai sewenang-wenang dalam memberikan sanksi kepada siswanya terkait dugaan kekerasan di kegiatan LDK pengurus OSIS. (ags)

Semarang, (Tagar 28/2/2018) – Keputusan SMAN 1 Semarang mengeluarkan dua siswanya, An dan Af, karena diduga melakukan kekerasan terhadap juniornya saat Latihan Dasar Kepimpinan (LDK) pengurus OSIS dinilai sebagai sanksi yang tidak mendidik. Demikian ditegaskan anggota Dewan Pimpinan Daerah (DPD) RI asal Jawa Tengah, Bambang Sadono saat menerima orang tua (ortu) An dan Af di kantornya, di Semarang, Rabu (28/2).

"Menurut saya itu tidak mendidik. Itu sama saja menyelesaikan persoalan pendidikan tidak dengan cara mendidik," kata Bambang.

Bagi Bambang, apa yang terjadi di sekolah, terlebih kegiatan LDK atas sepengetahuan guru dan kepala sekolah, tidak bisa dibebankan hanya kepada siswa. Artinya jangan hanya menjadikan siswa sebagai kambing hitam persoalan.

Menurutnya, semestinya guru maupun kepala sekolah turut bertanggungjawab jika memang terjadi sebuah pelanggaran di kegiatan belajar mengajar maupun kegiatan lain di sekolah.

"Anak-anak ini pintar dan potensial, cuma salah mengarahkan. Kalau salah mengarahkan, siapa yang salah? Ya, gurunya. Untuk apa ada guru di situ, jangan seperti lempar tanggung jawab begitu saja dengan mengeluarkan siswa," tegasnya.

Karenanya, Bambang Sadono meminta sekolah mencari solusi terbaik atas pembinaan kepada dua siswa maupun pengurus OSIS lain yang juga kena sanksi. Terlebih para siswa tersebut sudah kelas XII dan sebentar lagi menempuh ujian nasional.

"Jika kembali (ke SMAN 1), saya malah berpikir apakah anaknya tidak tertekan nanti? Tapi kalau mereka ternyata bisa, tidak tertekan, ya, lebih baik," imbuh politisi yang juga Ketua Badan Pengkajian (BP) MPR RI tersebut.

Orang tua An, Suwondo dalam pengaduannya kembali menyuarakan soal kesewenang-wenangan SMAN 1 dalam memberikan sanksi kepada anaknya. Sanksi itu sepihak, tidak memperhatikan proses klarifikasi hingga mekanisme penjatuhan sanksi.

"Dipanggil ke sekolah, tahu-tahu saya dibilangin anak saya menampar saat LDK. Kemudian disodori surat pengunduran diri. Saya tolak dan sampai rumah anak saya tidak melakukan kekerasan seperti yang digambarkan sekolah. Karena itu saya makin yakin untuk tidak akan menandatangani surat pengunduran diri anak saya," tandasnya diamini orang tua Af.

Secara logika, lanjut pria yang saban hari berjualan roti keliling ini, An semestinya masih tercatat sebagai siswa SMAN 1 Semarang. Sebab, sampai saat ini belum ada pengunduran diri. Meski begitu, ketika anaknya hendak sekolah, pihak sekolah mengusir, tidak diperbolehkan lagi belajar di SMAN 1 sehingga membuatnya syok.

Apa yang terjadi pada An dan Af mendapat dukungan dari sejumlah ortu SMAN 1 lain yang anaknya tidak terlibat persoalan LDK. Nugroho Septianto, perwakilan orang tua yang prihatin dengan keputusan sekolah membenarkan sekolah bersikap sewenang-wenang dengan mengeluarkan siswa tanpa mempertimbangkan nasib siswa yang bersangkutan.

"Anak saya tidak ada kaitannya dengan kasus ini. Namun, saya ikut mendampingi, sebagai perwakilan orang tua yang prihatin karena melihat sikap sekolah yang tidak profesional dan sewenang-wenang," tukasnya.

Diberitakan sebelumnya, An dan Af diputuskan dikeluarkan dari sekolahnya lantaran diduga melakukan kekerasan terhadap yuniornya di LDK pengurus OSIS, November 2017 lalu. Selain dua aktifis OSIS tersebut, tujuh siswa kelas XII lain juga kena sanksi skorsing. (ags)

Berita terkait
0
Harga Emas Antam di Pegadaian, Rabu 22 Juni 2022
Harga emas Antam hari ini di Pegadaian, Rabu, 22 Juni 2022 untuk ukuran 1 gram mencapai Rp 1.034.000. Simak rincian harganya sebagai berikut.