Analisis - Syarat Kemakmuran, Memisahkan Agama dan Politik

Negara yang kini menikmati kemakmuran mencapainya dengan memisahkan perkara politik dan agama.
Agama dan Politik

Jakarta, (24/4/2017) - Korelasi positif antara kedamaian dan kemajuan suatu bangsa agaknya tak terbantahkan dalam perjalanan sejarah negara-negara yang mencapai kemakmuran.

Hubungan kedua variabel itu kembali dikemukakan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla yang merumuskan kedua variabel itu dengan kalimat yang berbeda tapi semakna.

Ia mengatakan bahwa kedamaian merupakan syarat bagi suatu negara untuk meraih cita-citanya menjadi negara maju yang makmur.

"Tidak ada negara yang maju tanpa kedamaian. Kedamaian artinya saling menghormati, hidup rukun dengan sebaik-baiknya, saling mengamalkan keyakinan kita secara baik," kata Wapres saat membuka Pekan Kerukunan Nasional 2017 dan Pembukaan Global Christian Youth Conference di Manado.

Pernyataan Kalla itu tampaknya bisa dijadikan pengingat dalam konteks politik di Tanah Air yang masih mengalami persoalan dalam menata hubungan antara praksis keimanan dan perpolitikan.

Dalam berbagai perhelatan kampanye politik, entah dalam pilkada ataupun Pemilihan Umum Presiden RI, kontestasi politik itu sering menyeret-nyeret perkara keimanan ke ranah publik untuk perebutan kursi kekuasaan.

Itu sebabnya selalu ada pertikaian yang menyebabkan terjadinya kegaduhan beraroma keagamaan, setidaknya di tingkat para pendukung kontestan dalam perebuatan kuasa politik.

Yang terjadi ketika kampanye politik berlangsung adalah usaha masing-masing pendukung kontestan yang berlaga dalam perebutan kursi kekuasaan untuk saling memfitnah, mengafirkan, dan mendegradasikan kualiatas iman lawan.

Situasi demikian jelas jauh dari kedamaian yang perlu dibangun dengan menjauhkan aksi mempertajam perbedaan sesama warga meski dalam kubu pendukung kontestan yang saling berkompetisi.

Dalam konteks ini, Kalla mengatakan bahwa dalam menjaga kedamaian dan perdamaian, warga masyarakat perlu mengutamakan persamaan dan menghormati perbedaan.

Perbedaan itu tentu menyangkut apa yang selama ini diformulasikan dalam akronim SARA, yang dipanjangkan menjadi suku, agama, ras, dan antargolongan.

Namun, diakui atau tidak, di antara empat elemen primordial itu, anasir agamalah yang paling rentan dalam menimbulkan ancaman perpecahan dan mengoyak kedamaian dan perdamaian.

Padahal, seperti kata Kalla, semua agama mempunyai tujuan yang sama, yaitu kebaikan dan tidak ada agama yang menghendaki keburukan.

Agama-agama memiliki persamaan, yakni percaya dengan Yang Mahakuasa, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang, meskipun dengan istilah dan pemahaman yang berbeda.

Itu sebabnya Kalla mengajak rakyat untuk menghormati perbedaan, yang merupakan syarat penting untuk meraih kemajuan suatu bangsa. Toleransi, saling menghormati satu sama lain adalah keniscayaan bagi kemakmuran.

Sinyalemen senada juga pernah dikemukakan pengamat politik Azyumardi Azra yang sering menjadi pembicara dalam dialog antaragama di tataran internasional.

Menurut Guru Besar dan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah (dua periode 1998 s.d. 2006) itu, pertikaian politik yang mengusung unsur keimanan bisa menjadi biang keladi kehancuran sebuah negara. Sejumlah negara-negara di Timur Tengah yang dilanda konflik berlandaskan keimanan cenderung menjauh dari stabilitas dan kedamaian yang menjadi prasyarat membangun kesejahteraan bangsa.

Elite politik di Tanah Air tentu perlu menyadari bahwa menyeret-nyeret perkara iman dalam ranah politik dapat mengoyak kestabilan, apalagi sebagian besar rakyat di Indonesia masih mudah tersulut atau termakan oleh hasutan yang beraroma primordialisme.

Kalla menjelaskan bahwa menghormati artinya tidak mencampuri satu sama lain urusan internal kelompok keagamaan, tidak mencela tetapi menghormati perbedaan.

Jika itu diimplementasikan dalam praktik berbangsa dan bernegara, bisa dijamin bahwa kedamaian akan terbangun dan hal itu akan menjadikan masa depan yang baik bagi suatu bangsa.

Sesungguhnya ada satu strategi politik yang dapat mencegah terjadinya pertikaian politik yang diakibatkan oleh berkelindannya elemen politik dan agama. Negara-negara yang kini menikmati kemakmuran dan kedamaian memecahkan problem itu dengan menerapkan apa yang dalam jargon ilmu politik disebut sebagai sekularisasi.

Artinya, perlu ada demokrasi yang ditopang dengan sekularisme, memisahkan perkara politik dan agama.

Sayangnya, jargon sekularisme dipahami dengan pandangan pesimistik skeptik oleh sebagian warga besar di Tanah Air.

Gagasan sekularisasi itu pernah dilontarkan oleh cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid (mendiang) beberapa dekade silam dan langsung mendapat perlawanan keras dari kalangan Muslim yang tak sepandangan.

Antipati terhadap sekularisme berlaku hingga kini. Bahkan, saat ini sudah ada yang mencoba untuk merumuskan tentang Indonesia yang disebut sebagai negara beragama dan bukan negara agama. Rumusan ini agaknya untuk menghindari perselisihan pendapat tentang relasi agama dan politik.

Formulasi dalam frasa "Indonesia adalah negara beragama" agaknya juga untuk mengantisipasi kemungkinan akan munculnya usaha untuk menggiring negara ini ke wilayah politik yang sekularistik.

Tampaknya, impian menuju ke arah kedamaian dan kemakmuran di Tanah Air akan ditempuh lewat jalur yang berbeda dari kebanyakan yang dilewati negara-negara yang telah mapan secara demokratis.

Bukan lewat sekularisme yang berjalan berdampingan secara mesra dengan liberalisme yang menumbuhkan kapitalisme, yang dilewati oleh negara-negara di Eropa dan Amerika Utara. (Fet/Ant/M. Sunyoto)

Berita terkait