Anak Belia di Tengah Bencana, Kapan Kakak ke Sini Lagi?

"Kami lari saja ke atas, tidak ada sandal, lari saja. Kaki tertusuk entah apa pokoknya lari saja," kata Owen menceritakan pengalamannya menyelamatkan diri.
Seorang anak pengungsi gempa dan tsunami Palu mengintip dari jendela tenda pengungsian di halaman kantor RRI Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (11/10/2018). (Foto: Antara/Yusran Uccang)

Jois Priscila (11), siang itu, Selasa (9/10), baru saja merampungkan makan siangnya bersama sang nenek di tenda kelas darurat milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) saat bantuan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Makassar tiba.

Siswa Kelas 6 SD BK Jono Oge itu menjadi pengungsi, setelah gempa dan likuifaksi memporakporandakan rumahnya di Jono Oge, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (Sulteng) pada Jumat petang (28/9).

Melihat bantuan datang, Jois menghilang dari tenda untuk "berburu" pakaian bekas layak pakai yang dibawa oleh relawan. Tubuhnya yang kecil menghilang di antara kerumunan orang dewasa. Entah apa yang ia dapatkan di sana.

MAINAN UNTUK KORBAN GEMPA-TSUNAMI PALUSiswa menyumbangkan mainan tradisional "othok-othok" untuk anak-anak korban gempa bumi dan tsunami di Palu saat aksi bertajuk #Solodaritas dari Solo untuk Palu di SD Kristen Manahan, Solo, Jawa Tengah, Jumat (12/10/2018). Mainan tesebut selanjutnya dikirimkan ke Sekolah Darurat Pengungsian Petobo di Palu sebagai bentuk solidaritas para siswa terhadap anak-anak korban gempa dan tsunami. (Foto: Antara/Maulana Surya)

Namun sebelum sempat menghilang, Jois yang "cantas "ini sempat berujar: "Tidak ada apa-apa (kegiatan) hari ini (di tenda Kemendikbud). Kemarin sudah, hari Jumat nanti ada lagi."

Jois hanya satu dari puluhan anak yang harus tinggal di tenda-tenda pengungsian yang didirikan tepat di atas sebuah lahan lapang nan gersang di Desa Pombewe di Kabupaten Sigi, bersama ratusan warga pengungsi lainnya. Hanya semak-semak yang mengering dan mayoritas berwarna cokelat yang mengepung tenda-tenda mereka.

Baru tiga hari ini mereka mengungsi di tempat tersebut, membangun tenda-tenda seadanya beratapkan terpal plastik berwarna biru, jingga, hijau tua dan beralaskan tikar plastik seadanya.

"Di sini lebih mudah bantuannya, dekat jalan raya, jadi kami pindah ke sini," kata pengungsi cilik lainnya Owen Michael (11) bercerita di bawah tenda putih yang menjadi ruang kelas belajar mereka untuk sementara waktu.

Sebelumnya, mereka mengungsi di tempat yang lebih tinggi di wilayah yang sama. Di tempat mengungi pertama ini mereka tidur beralaskan rumput dan beratapkan langit. Hari berikutnya, masih beratapkan langit, tetapi mendapat beralas terpal.

Dengan hanya baju yang melekat di badan, para pengungsi bertahan selama seminggu sampai satu per satu bantuan datang menghampiri.

"Kami lari saja ke atas, tidak ada sandal (bertelanjang kaki), lari saja. Kaki ada tertusuk duri tertusuk entah apa pokoknya lari saja," kata Owen menceritakan pengalamannya menyelamatkan diri.

Pemilik nama yang sama dengan pemain penyerang klub bola asal Liverpool, Inggris, Owen yang satu ini mengaku juga gemar bermain sepak bola. Saat gempa 7,4 Skala Richter (SR) mengguncang sisi timur laut Donggala di kedalaman 11 kilometer (km) dia dan rekan-rekan baru saja selesai berlatih bola.

Owen lari sekencang-kencangnya ke rumah. Ia mengaku menangis saat berlari di tengah goncangan gempa, dan tangisnya semakin pecah saat tanah di sekitarnya mulai retak dan mengeluarkan air.

"Air keluar di mana-mana. Opa Cliff (menyebut seorang kakek dari teman bermainnya yang bernama Cliff) luka tertimpa tembok di rumah," ujar anak Kelas 5 SD BK Jono Oge ini sambil berusaha merekonstruksi lokasi luka di wajah kakeknya Cliff.

Sesampainya di rumah ia melihat kondisi rumah yang sudah rusak berat. Seketika itu neneknya menariknya untuk kembali berlari menuju gunung Pombewe. Kedua orangtuanya sedang tidak ada di rumah. Neneknya-lah yang mengarahkannya untuk ikut berlari menyelamatkan diri ke dataran yang lebih tinggi bersama warga lainnya.

Cliff Bredley (10) siswa Kelas 5 SD BK Jono Oge yang juga teman Owen sedikit lebih beruntung. Saat gempa mulai menggoyang Tanah Tandulako, kakaknya sempat mengambil tas sekolahnya dan diisi dengan pakaian seadanya serta dua buku tulis.

Mereka juga berlari ke gunung (Pombewe) yang jaraknya beberapa jam dengan berjalan kaki, mengungsi beramai-ramai meninggalkan rumah-rumah roboh. Aspal terangkat, lahan sawah terbelah naik-turun tidak lagi beraturan.

Tetap Ceria

Mendengarkan cerita dan berbincang dengan Owen, Jois, Cliff dan teman-temannya mengundang rasa syukur bahwa mereka yang masih muda belia ini tetap ceria.

Bocah-bocah itu terlihat antusias mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan geografi, "Di mana Kabupaten Nunukan berada?"

Pertanyaan itu terlontar setelah Owen mendapat celana olah raga bekas layak pakai berwarna dasar merah dan putih bertuliskan SDN 04 Nunukan. Semua anak berebutan mencoba mengacungkan tangan untuk menjawab. Awalnya mereka menyebutkan nama-nama daerah di Sulawesi, namun setelah diberikan arah petunjuk jawaban yakni Pulau Kalimantan, semua kembali berebut menjawab.

"Kalimantan Barat ... Kalimantan Timur," teriak mereka bergantian.

Sampai akhirnya Cliff berteriak, "Oh aku tahu aku tahu, Kalimantan Utara!"

Di tengah keceriaan itu, trauma tetap terbaca. Owen dan Jois yang ditanya apakah ingin segera kembali belajar di sekolah menjawab hampir senada.

"Iya, tapi sekolahnya (terbuat dari) kayu saja," kata Owen.

Anak laki-laki bergigi putih dengan kulit legam terpanggang matahari ini mengaku masih takut jika harus berada di dalam gedung. Entah apa yang ada di benaknya hingga meminta sekolah dari kayu, mungkin sudah mendengar bahwa rumah terbuat dari kayu lebih tahan gempa.

Jois langsung menyetujui ucapan Owen. Dia bahkan juga meminta agar sekolah bisa dipindahkan dari lokasi awal, karena takut terkena gempa dan likuifaksi lagi.

"Kalau bisa sekolah jangan di sana lagi, nanti dia bergoyang lagi, bisa tertimpa nanti," ujar Jois.

Gempa-gempa susulan yang mereka rasakan sejauh ini masih memunculkan ke khawatiran. Kejadian bencana alam yang membuat mereka menangis belum hilang dari benak mereka.

Bersyukur mereka masih dapat berkumpul di satu pengungsian yang sama, sehingga masih dapat bermain bersama-sama lagi.

"Jadi kita itu setiap hari (di pengungsian) bangun, mandi, makan, bermain, makan, tidur siang, bermain lagi, mandi lagi, makan lagi, lalu tidur. Teruuuus seperti itu," kata Owen yang kemudian disambut tawa yang lain.

Keceriaan anak-anak juga tampak di lokasi pengungsian warga Petobo yang terletak di Dusun Ranoropa, Desa Loru, Kecamatan Biromaru, Kabupaten Sigi.

Guru SMKN 4 Palu Patrini Hadjli (43) ditemui di tempat pengungsian mengatakan, anak-anak tetap ceria, meski sebenarnya masih dalam kondisi berduka.

Patrini yang lebih akrab disapa Rini ini mengatakan, saluran irigasi di dekat lokasi pengungsian, dengan air yang jernih deras mengalir tanpa henti membuat anak-anak terlupa akan beban hidup yang sedang dihadapi.

"Kulit mereka sampai kisut karena terus-terusan bermain air. Orangtua lelah harus terus-menerus mengingatkan untuk berhenti bermain air, karena takut nanti sakit. Tapi saluran irigasi ini benar-benar menolong," ujar guru fisika ini.

Tempat pengungsian mereka begitu teduh, karena berada di bawah pohon-pohon kakao dan tidak jauh dari irigasi serta persawahan. Anak-anak bebas bermain di bawah pohon-pohon dan bermain air di irigasi.

Sementara rumah mereka sudah luluh lantak teraduk dan dibenamkan oleh lumpur akibat pencairan tanah atau likuifaksi di Petobo.

Pengungsi anak pasca-bencana gempa, tsunami dan likuifaksi tidak-lah sedikit. Mereka tersebar di bawah tenda-tenda pengungsian yang didirikan Dinas Sosial, Kementerian Sosial, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), BUMN, PMI, tenda-tenda milik Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) kemanusiaan, dan tenda-tenda bantuan asing.

Kejiwaan mereka menjadi penting untuk diperhatikan, mengingat dampak yang ditimbulkan bencana besar pada Jumat (28/9), di Donggala, Sigi dan Palu sangat beragam di masing-masing individu. Setidaknya, menemani mereka dan sekadar berbincang dapat membantu melupakan kesusahan untuk sesaat.

Setelah berbincang lebih dari satu jam dengan Owen, Jois, Cliff, serta rekan-rekannya; Diego Maradona (6) Kelas 1 SD Inpres Jono Oge, Glen Hizkiawengku (8) Kelas 3 SD Inpres Jono Oge, Ozil Ropiwa (8) Kelas 2 SD BK Jono Oge, Ferdiansyah Agusto (7) Kelas 1 SD BK Jono Oge dan Cindy Oktafin (9) Kelas 4 SD BK Jono Oge, Antara pamit mohon diri dari tenda kelas darurat Kemendikbud di pengungsian warga Jono Oge di Desa Pombewe tersebut.

Jois dan beberapa anak lainnya lantas bertanya, "Kapan kakak ke sini lagi?" (Virna P Setyorini/ant)

Berita terkait
0
Kenapa Keluarga Menduga Kematian Brigadir J Pembunuhan Berencana
Kenapa keluarga menduga kematian Brigadir J dalam baku tembak dengan Bharada E di rumah Irjen Ferdy Sambo adalah pembunuhan berencana. Apa alasan.