Amnesty Internasional Sebut Tahun 2019 Era Kelam HAM

Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengatakan era kepemimpinan Presiden Jokowi mengalami erosi penanganan kasus HAM.
Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid. (Foto: Tagar/Moh Badar Risqullah)

Malang - Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid mengatakan era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengalami erosi penanganan kasus Hak Asasi Manusi (HAM). Ini dibuktikan dengan adanya catatan kurang lebih sebanyak 23 hingga 27 kasus selama tahun 2019.

”Banyak sekali. Bahkan, dalam catatan koalisi masyarakat sipil pembela HAM. Setidaknya kurang lebih ada 23 hingga 27 kasus HAM di tahun ini yang juga termasuk di dalamnya serangan terhadap aktivis,” ungkapnya kepada Tagar saat diwawancari di Kota Batu, Sabtu 14 Desember 2019.

Sehinga, di tahun inilah dengan tegas dirinya menyebutkan sebagai tahun yang kelam untuk kasus HAM. Selain terjadinya kembali kasus-kasus HAM baru, diperparah dengan tidak ada tindakan serius dalam hal ini pemerintah untuk menuntaskannya.

Setidaknya kurang lebih ada 23 hingga 27 kasus HAM di tahun ini yang juga termasuk di dalamnya serangan terhadap aktivis.

”Dipenghujung tahun 2019 ini, saya kira tahun yang kelam. Karena banyak serangan terhadap aktivis pembela HAM. Di awal tahun saja, aktivis Walhi Lombok NTB (Murdani) itu diserang,” ujar pria yang juga anggota organisasi KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) itu.

Dia juga memaparkan beberapa kasus HAM baru lain seperti serangan atau kriminalisasi berlebihan kepada aktivis. Misalnya seperti Veronica Koman dalam menangani kasus Papua yang bahkan dikatakannya mengalami pelecehan seksual. Hal yang sama juga dialami aktivis lainnya yaitu Dandy Dwi Laksono dan Ananda Badudu.

Selanjutnya yaitu kematian misterius aktivis Walhi Sumatra Utara (Sumut), Golfrit Siregar. Diduga, kematiannya dicurigai akibat penganiayaan yang sistematis oleh beberapa oknum.

”Kemudian, penangkapan oleh Polda Sulawesi Utara (Sultra) kepada Jasmin, penolak tambang di Wawonii. Dan meninggalnya dua orang aktifis di perkebunan kelapa sawit di Labuhanbatu, Sumatera Utara,” paparnya.

Dari semua kasus tersebut, Usman menyebutkan meski sudah ada yang dituntaskan. Namun, pengungkapannya tidak pernah sampai kepada otak dibalik pelanggaran HAM tersebut.

Hal itupun menurutnya diperparah dengan tidak adanya tim khusus penuntasan kasus HAM di masa lalu dan sekarang. Sehingga, tidak salah jika masyarakat menurutnya pesimistis di era kepepimpinan Presiden Jokowi ini.

”Itu akhirnya membuat harapan masyarakat yang semula tinggi kepada pak Jokowi di bidang HAM dan pemberantasan korupsi itu mengalami semacam erosi,” terangnya.

Dia juga mencontohkan era kepemimpinan presiden-presiden sebelumnya. Misalnya Presiden Habibie yang pernah membentuk tim gabungan pencari fakta untuk tragedi Mei 1998. Di kasus HAM Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh 1976-2005, mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No 88 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh (KIPTKA).

Di era Presiden Abdurrahman Wahid, Usman mengatakan Gus Dur banyak mendukung penuh Komnas HAM. Salah satunya untuk melakukan penyelidikan kasus Timor-Timor dengan membentuk pengadilan HAM ad-Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Keppres No. 53 Tahun 2001). 

Bahkan terbilang radikal dengan mencopot Jenderal Wiranto dari jabatan Menko Polhukam saat itu. Di era Presiden Megawati dengan dibentuknya Komisi Penyelidik Nasional (KPN) untuk mengusut kasus pembunuhan tokoh papua. Hal yang sama juga di era Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dengan membentuk tim khusus untuk kasus pembunuhan Munir.

”Ternyata, hanya Presiden Jokowi yang belum pernah membentuk tim gabungan yang independen. Khususnya untuk menyelidiki sebuah peristiwa pelanggaran HAM. Baik itu yang dialami aktivis atau tokoh,” tuturnya.

Sehingga, dia menambahkan bahwa masyarakat tidak lagi memiliki harapan tinggi atau pesimistis. Bahkan disimpulkan bahwa kondisi HAM dan pemberantasan korupsi sedang mengalami kemunduran di era Presiden Jokowi.

Memang, saat ini Pemerintah getol menyuarakan akan dibentuknya kembali UU No.27 Thn 2004 - Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Namun, UU yang sejarahnya di bentuk era Presiden SBY itu menurutnya hingga kini tidak pernah diselesaikan.

”Mandatnya, sebenarnya sudah ditetapkan sejak awal reformasi. Melalui TAP MPR (Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia), pemerintah diwajibkan menyelesaikan kasus pelanggarahan HAM yang terjadi di masa lalu,” tegas alumnus Fakultas Hukum Universitas Trisakti 1999 itu.

Seiring perjalanannya, UU KKR yang didalamnya ternyata hendak memberikan pengampunan kepada siapa saja atas kasus pelanggaran HAM berat. Bahkan mengambil hak korban untuk menuntut ke pengadilan. Akhirnya, UU KKR itu dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusional (MK) saat itu dan dicabut pada tahun 2010.

Oleh sebab itu, Usman melanjutkan bahwa MK meminta pemerintah melakukan tiga hal. Pertama, memperbaiki UU yang pernah dicabut itu dengan merevisinya. Ke dua, membuat UU baru tentang KKR atau ketiga yaitu memberikan putusan pemerintah.

”Jadi, tiga opsi itu sudah diberikan MK yang didalamnya juga ada Pak Mahfud saat itu. Nah, kalau pemerintah mau menempuh KKR. Opsi mana yang akan dilakukan dari tiga itu,” ujarnya.

Namun, melihat pentingnya persoalan HAM dalam skala yang sangat besar. Dia meminta penyelesainnya tidak hanya ditempuh dari pengadilan. Melainkan juga perlu semacam penyelidikan sejarah untuk memberikan keadilan sejarah atau historical justice. Sehingga saat proses pengadilan, keadilannya bagi korban dan keluarganya.

”Misalnya pada peristiwa 1965, pengadilan harus cukup menampung seluruh keluhan semua saksi agar bisa tuntas kasusnya. Selain itu juga untuk menciptakan jaminan agar peristiwa itu ke depan tidak terjadi lagi,” ujarnya. []

Berita terkait
Soekarwo Layak Jadi Wantimpres
Dengan pengalamannya di bidang pemerintahan, Soekarwo dinilai layak masuk dalam susunan Wantimpres Jokowi.
Diduga Bodong, Polda Jatim Sita Ferrari dan McLaren
Polda Jatim menyita delapan mobil mewah yang diduga bodong dengan rincian empat Ferrari, dua McLaren, satu Jaguar, dan satu Mini Cooper.
Indeks KUB Turun, Khofifah Ajak Jaga Jawa Timur
Data Kemenag, indeks KUB Jatim masih di bawah nasional yang mencapai 73,83.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.