Untuk Indonesia

Akademisi UGM Soroti Wacana Rektor Impor

Wacana rektor impor itu berlebihan. Kita tidak punya problem intelektual. Indonesia bukan bangsa tempe. Tulisan opini Akademisi UGM.
Ilustrasi. (Foto: Pixabay/Tero Vesalainen)

Oleh: Bagas Pujilaksono Widyakanigara*

Sudah banyak tulisan saya soal perguruan tinggi Indonesia. Mengapa susah berkembang? Masalahnya di mental civitas akademikanya. Sebagian besar tidak bermental akademisi. They are just fake scientist.

Perguruan tinggi adalah komunitas masyarakat ilmiah yang rohnya adalah Rasionality and Freedom. Artinya, insan akademisinya harus berpikir terbuka, bebas dari segala tekanan politik diskriminatif, dan dogma-dogma agama dengan cara berpikir rasional.

Sayangnya hal itu atau perilaku insan akademik seperti itu, di perguruan tinggi Indonesia saat ini minoritas.

Apa sebabnya? Sebabnya adalah radikalisme agama di kampus-kampus negeri yang akhir-akhir ini semakin menguat atau tepatnya pada rentang waktu 2004-2014, politik radikal kanan mendapat angin segar/surga dari kondisi perpolitikan di Indonesia. Perguruan tinggi tidak luput dari sasaran mereka. Kampus menjadi begitu diskriminatif dan tidak akademis sekali.

Wacana Rektor Impor, menurut saya berlebihan. Kita tidak punya problem intelektual. Bangsa Indonesia bukan bangsa tempe.

Ketika Soeharto berkuasa, perguruan tinggi tidak berkembang, karena politik represif Soeharto yang membrangus kebebasan akademik. Di era reformasi, perguruan tinggi juga tidak berkembang, karena mimbar akademik dipolitisir untuk hal-hal yang non-akademik. Hancurlah perguruan tinggi Indonesia.

Lebih parah lagi, perguruan tinggi Indonesia sudah terlalu jauh meninggalkan Azas Manfaat bagi bangsanya sendiri. Begitu berapi-api bicara IPTEK, dengan cara meninggalkan bangsanya hidup terbelakang.

Perguruan tinggi Indonesia juga dijajah oleh negara-negara maju dengan model-model ranking perguruan tinggi dan capaian publikasi jurnal internasional. Anehnya, justru kita bangga dan mau-maunya dikadali negara-negara maju.

Perlu diingat, maju tidaknya perguruan tinggi di Indonesia sangat ditentukan oleh bagaimana tradisi keilmuan itu dibangun. Jika tradisi keilmuan ini dibangun dengan baik, baru ke tahap ranking perguruan tinggi dan publikasi jurnal internasional. Kita melompat tanpa modal akademik yang memadahi. Justru jadinya seperti badut yang kehilangan penonton.

Wacana soal Rektor Impor, menurut saya berlebihan. Kita tidak punya problem intelektual. Bangsa Indonesia bukan bangsa tempe. Problem kita adalah mental yaitu menganggap perilaku sok religius itu representasi kedalaman akademik seseorang. Perilaku seperti itu tidak ada di negara-negara maju, sedang di Indonesia banyak sekali, beranak-pinak dan dianggap budaya adiluhung, bahkan cenderung dipolitisir untuk mendiskriminasi orang. Wajar perguruan tinggi kita tidak bisa maju.

Langkah strategis yang perlu dilakukan pemerintah adalah sebagai berikut:

1. Benahi regulasi perguruan tinggi khususnya perguruan tinggi negeri yang amat sangat liberal itu yang berakibat kuliah di perguruan tinggi negeri menjadi sangat mahal. Bagaimana anak tukang becak bisa kuliah?

2. Ciptakan model organisasi perguruan tinggi yang ramping dan efektif yang menuntut setiap insan akademik berkontribusi aktif dan nyata. Bukan hanya pejabatnya yang kelihatan sok sibuk. Ini persyaratan mutlak sebelum menuju tahapan Research University. Kita saat ini masih di tahap Teaching University, karena cash flow perguruan tinggi negeri tergantung SPP mahasiswa.

3. Segera berlakukan mekanisme penunjukan Rektor oleh Presiden. Tentunya dengan kriteria yang jelas yaitu kedalaman akademiknya dan komitmennya terhadap NKRI dan Pancasila. Jangan lupa, bukan hanya pengalaman menjabat yang dipersyaratkan, namun lebih jauh lagi yaitu kegagalan ketika menjabat.

4. Tumpas habis segala bentuk radikalisme agama yang dilakukan oleh pejabat perguruan tinggi, dosen, karyawan dan mahasiswa. Kita punya pengalaman sukses menumpas PKI. Mengapa bingung?

5. Ciptakan iklim akademik yang kondusif jauh dari modus diskriminasi, dalam rangka membangun tradisi keilmuan yang alamiah dan andal.

Sejak Indonesia merdeka hingga hari ini, pemerintah atau negara tidak serius membangun perguruan tinggi negeri, karena tidak menyadari betapa vitalnya perguruan tinggi dalam membangun peradaban bangsa menuju kemajuan bersama. Impor Rektor bukan solusi.

*Penulis adalah Akademisi Universitas Gadjah Mada

Baca juga:

Berita terkait
0
Elon Musk Sebut Pabrik Mobil Baru Tesla Rugi Miliaran Dolar
Pabrik mobil baru Tesla di Texas dan Berlin alami "kerugian miliaran dolar" di saat dua pabrik kesulitan untuk meningkatkan jumlah produksi