AJI: Polisi Pelaku Intimidasi 56 Jurnalis Peliput Demo

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat setidaknya 56 jurnalis menjadi korban kekerasan saat meliput demo UU Cipta Kerja.
Polisi membubarkan demonstran menggunakan tembakan gas airmata. (Foto: Tagar/Getty Images)

Jakarta - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat setidaknya 56 jurnalis menjadi korban kekerasan saat meliput demonstrasi menolak UU Cipta Kerja di berbagai daerah sejak 7 sampai 21 Oktober 2020. AJI menyebut pelaku dari semua peristiwa yang dikategorikan sebagai kekerasan terhadap jurnalis ini adalah polisi.

Jumlah ini mengalami peningkatan cukup signifikan dari laporan awal yang disampaikan pada 10 Oktober 2020 yang mencatat ada 28 kasus kekerasan.

Berdasarkan data Divisi Advokasi AJI Indonesia, kasus kekerasan terbanyak terjadi di Malang (15 kasus), Jakarta (8 kasus), Surabaya (6 kasus), dan Samarinda (5 kasus). 

Dari jenis kasus kekerasan yang dihadapi jurnalis, sebagian besar berupa intimidasi (23 kasus). Dua jenis lainnya adalah perusakan, perampasan alat atau data hasil liputan (13 kasus) dan kekerasan fisik (11 kasus).

"Kekerasan terhadap jurnalis ini dikategorikan sebagai pelanggaran menurut Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Ironisnya, pelaku dari semua peristiwa yang dikategorikan sebagai kekerasan terhadap jurnalis ini adalah polisi, institusi yang seharusnya menegakkan hukum," ujar Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Sasmito Madrim melalui keterangan tertulis yang diterima Tagar, Senin, 26 Oktober 2020 malam.

Dalam kasus yang terjadi di Jakarta, tulis Sasmito, ada enam jurnalis yang juga ditahan di Polda Metro Jaya bersama para pengunjuk rasa, meski dua hari kemudian dibebaskan.

Kemudian, setidaknya ada dua kasus kekerasan yang terjadi di Ternate, Maluku Utara, yang dilaporkan ke polisi. Awalnya laporan disampaikan ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Polda Maluku Utara, 21 Oktober 2020. Pengaduan ditolak karena belum ada rekomendasi dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus. 

Saat ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus, juga ditolak dengan alasan mereka hanya menangani yang berhubungan dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik.

"Kasus kekerasan ini menambah daftar panjang kasus kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan oleh polisi," imbuh Sasmito. 

Saat terjadi demonstrasi mahasiswa menolak revisi UU KPK, RUU KUHP pada akhir September 2019 lalu, setidaknya ada 10 kasus kekerasan terhadap jurnalis. 

"Ada empat kasus dilaporkan ke Polda Metro Jaya dan 3 kasus di Polda Sulawesi Barat. Sampai sekarang kasusnya belum ada kemajuan,' tegasnya.

Menyikapi kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terus berulang, AJI Indonesia menyampaikan sikap diantaranya:

Pertama, mendesak Kapolri Jenderal Idham Azis untuk memerintahkan adanya proses hukum terhadap personelnya yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis. Sebab, kekerasan terhadap jurnalis merupakan tindak pidana yang diatur dalam pasal 18 Undang Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers.

Regulasi itu menyatakan, setiap tindakan yang menghambat atau menghalangi jurnalis mencari dan memperoleh informasi bisa dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500 juta.

AJI juga mendesak Kapolri Jenderal Idham Azis memeriksa personel kepolisian di Polda Maluku Utara karena menolak laporan yang disampaikan jurnalis atas kekerasan yang dialaminya. Sebagai penegak hukum, polisi berkewajiban melaksanakan tugasnya untuk mengusut dugaan tindak pidana meski itu dilakukan oleh personel kepolisian. 

AJI juga mendesak Kapolri untuk mengkaji materi pendidikan di lembaga pendidikan kepolisian terkait soal bagaimana personel polisi menangani unjukrasa. Tindakan personelnya yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis, dan juga terhadap pengunjuk rasa, mencerminkan ketidakpahaman terhadap undang-undang. 

Sebab, jurnalis yang meliput dan massa yang berunjuk rasa sama-sama dilindungi oleh undang-undang. Tugas polisi sebagai aparat penegak hukum membuat hak itu bisa dilaksanakan dan hanya melakukan penindakan jika ada peristiwa pidana.

Kemudian, AJI mendesak Komisi III DPR untuk mempertanyakan kinerja Polri dalam menangani kasus kekerasan terhadap jurnalis, Sebagai institusi yang memiliki mandat untuk melaksanakan fungsi pengawasan, DPR perlu memastikan bahwa Polri bekerja secara profesional dalam menegakkan hukum. 

"Termasuk memproses hukum personelnya yang terlibat dalam tindak pidana, termasuk melakukan kekerasan terhadap jurnalis," pinta Sasmito.

Terakhir AJI mendesak sejumlah lembaga negara seperti Kompolnas, Ombudsman, dan Komnas HAM untuk memastikan polisi bekerja secara profesional, termasuk melakukan proses hukum terhadap personel kepolisian yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis.

Sebab, kekerasan oleh polisi terhadap jurnalis ini merupakan peristiwa yang kerap berulang tapi para pelakunya hampir tidak ada yang diproses pidana. 

"Proses hukum terhadap personel polisi pelaku kekerasan ini merupakan upaya penting untuk mengakhiri praktik impunitas terhadap pelaku kekerasan," tutupnya.[]

Berita terkait
Jurnalis Dianiaya, Alat Kerja Dirampas Saat Meliput Demo
Jurnalis suara.com, Peter Rotti, mengalami kekerasan dari aparat kepolisian saat meliput aksi unjuk rasa penolakan Omnibus Law di Jakarta.
Wanita, Tersangka Baru Pembunuhan Wartawan Demas Laira
Kepolisian Mamuju Tengah kembali menetapkan satu tersangka baru dalam kasus pembunuhan wartawan Demas Laira.
Perlukah Najwa Shihab Diboikot? Ini Kata Pro Jokowi Sumbar
Melaporkan Mata Najwa ke polisi bukanlah cara yang etis dalam mengkritik media. Lantas, perlukah acara yang dipandu Najwa Shihab itu diboikot?
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.