AHY Capres, Daeng Caleg, Bukan Indikasi Demokrasi Abal-abal

AHY capres, Daeng caleg, bukan indikasi demokrasi abal-abal. “Yang menjadi masalah adalah justru dipaksakannya AHY untuk meneruskan dinasti SBY berkuasa. Hanya karena dia keturunan SBY pertimbangan lain menjadi tidak penting,” ujar Muhadi.
Daeng Aziz, dulu lawan Ahok dan disegani di Kalijodo, Jakarta. Kini Daeng Aziz menjadi caleg Gerindra Sulawesi Selatan (Sulsel). (Foto: YouTube)

Jakarta, (Tagar 18/7/2018) – Nama calon wakil presiden (cawapres) resmi Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang bertarung di Pilpres 2019 belum diumumkan.

Menurut pengamat, belum diumumkannya nama cawapres bukan karena mesin partai politik tidak berjalan dengan baik. Namun, karena terlalu banyak opsi.

“Tidak ada kaitannya dengan mesin politik, itu murni soal kesepakatan koalisi saja. Jokowi sedang menimbang cawapres karena terlalu banyak opsinya baik dari parpol maupun non parpol. Tentu Jokowi tak mau salah pilih untuk memenangkan Pilpres 2019,” kata Adi Prayitno kepada Tagar News, Jakarta, Selasa (17/7).

Menurut dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah Jakarta ini, meski begitu Jokowi diuntungkan oleh dukungan enam parpol yang sudah solid memberikan tiket ke Jokowi.

“Tinggal bagaimana Jokowi memilih cawapres yang bisa diterima semua parpol koalisi dan bisa menambal elektoral Jokowi,” ujarnya.

Dukungan yang diperoleh Jokowi, jelas Adi, berbeda dengan Prabowo yang hingga kini belum dapat tambahan dukungan parpol. Menurutnya, PKS dan PAN pun masih menggantung Prabowo.

“Tentu Prabowo galau akut karena belum dapat tiket nyapres dan belum menentukan cawapres. Sebab itu tak heran jika Prabowo juga memaksakan diri berkomunikasi dengan SBY. Padahal keduanya punya jarak psikologis karena friksi konflik masa lalu,” terangnya.

Hal senada dikemukakan Dr Muhadi Sugiono, MA. Menurut dosen Universitas Gajah Mada (UGM) ini, belum diumumkannya nama cawapres bukan karena mesin partai politik tidak jalan.

“Saya tidak melihat kaitan antara belum diumumkannya capres dan cawapres sebagai akibat dari tidak bekerjanya mesin politik. Mungkin publik hanya tidak sabar saja menunggu siapa yang akan menjadi capres dan cawapres,” kata Muhadi kepada Tagar News, Selasa (17/7).

Menurut Muhadi, adalah hal yang wajar jika capres dan cawapres masih belum diumumkan, karena proses tawar menawar sedang berjalan. “Tidak ada standar untuk mengatakan capres dan cawapres harus diumumkan kapan. Yang jelas, batas pendaftaran sudah ada, dan saya yakin penentuan capres dan cawapres di semua partai sangat sadar dengan waktu pendaftaran itu,” ujarnya.

Soal proses tawar menawar yang dikemukakan Muhadi memang terlihat dari aktivitas Prabowo. Belakangan, Prabowo sibuk melakukan gerilya politik melalui pertemuan-pertemuan yang dia lakukan beberapa hari terakhir.

Prabowo telah bertemu berbagai tokoh, antara lain Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj, Ketua DPP PDIP nonaktif Puan Maharani, dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan. Selanjutnya, dijadwalkan bertemu SBY di kediaman SBY kawasan Mega Kuningan, Jakarta, Rabu (18/7), namun diundur.

“Pertemuan Pak SBY dengan Pak Prabowo diundur karena Pak SBY sedang dirawat di RSPAD sejak 17 Juli 2018," kata Wakil Ketua Umum Demokrat Syarief Hasan di Jakarta, Rabu.

Syarief tidak menyebutkan SBY menderita sakit apa. Dia hanya menyatakan SBY kelelahan sehabis mengunjungi Pacitan dan Yogyakarta.

Trah Siapa

Di tengah agenda rencana pertemuan SBY-Prabowo, Adi Prayitno dan Muhadi juga menyoroti nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai cawapres atau capres dari Partai Demokrat. AHY dalam kiprahnya belum pernah menempati posisi strategis di tingkat nasional namun sudah diplot menjadi cawapres atau capres.

Jokowi, AHY, dan SBYPresiden Joko Widodo berjabat tangan dengan Ketua Kogasma Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (kiri) disaksikan oleh Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (kanan) saat membuka Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Demokrat 2018 di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, Sabtu (10/3). Rapimnas membahas kesiapan Partai Demokrat dalam menghadapi Pemilihan Umum 2019. (Foto: Ant/Yulius Satria Wijaya)

Adi Prayitno mengemukakan, disebut-sebutnya nama AHY yang dikarbit sebagai cawapres atau capres, hal itu bukan berarti demokrasi yang tengah berjalan adalah demokrasi abal-abal.

“Dalam demokrasi siapa pun berhak maju termasuk AHY. Meski dianggap new commer AHY memiliki trah Cikeas. Dia reinkarnasi SBY yang saat ini dipersiapkan untuk jadi pemimpin masa depan,” jelas Adi Prayitno.

Dalam pandangan Mahadi juga tidak ada masalah dengan AHY entah diplot sebagai capres atau cawapres. Argumentasinya, tidak ada persyaratan bahwa capres atau cawapres harus sudah pernah menduduki jabatan-jabatan tertentu sebelumnya.

“Ini opini personal saya, menurut saya yang menjadi masalah adalah justru dipaksakannya AHY untuk meneruskan dinasti SBY berkuasa dan mengabaikan sistem meritokrasi dalam pencapresan. Artinya, hanya karena dia keturunan SBY maka pertimbangan lain menjadi tidak penting,” ujar Muhadi.

Menurut Muhadi, terlihat kelemahan PD sebagai sebuah partai modern dalam sebuah sistem demokratis di Indonesia. Artinya, jika partai-partai bekerja dengan cara itu, masyarakat dan pemilih sebenarnya sangat dirugikan karena tidak diberi pilihan dengan kualitas yang bisa diharapkan atau diandalkan.

“Demokrasi menjadi pepesan kosong. Hanya sebagai sebuah seremoni pencoblosan tanpa makna signifikan,” tandas Muhadi.

Seperti diketahui, sebelumnya anggota Dewan Penasihat DPP Partai Gerindra Muhammad Syafii menyebutkan, ada tiga nama yang dipertimbangkan menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo di Pilpres 2019, salah satunya AHY.

"Ada beberapa nama yang paling kencang diperbincangkan di internal seperti Anies Baswedan, mantan menteri sosial Salim Assegaf, dan Agus Harimurti Yudhoyono," kata Syafii di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa.

Ketiga tokoh tersebut dalam penilaian Syafii memiliki kualitas untuk mendampingi Prabowo.

Wakil Ketua Umum Demokrat Syarief Hasan juga mengaku telah bertandang ke kediaman Prabowo di Kertanegara, Jakarta. Dalam pertemuan itu, kata Syarief, Prabowo meminta putra SBY Agus Harimurti Yudhoyono menjadi cawapres pendampingnya.

Digadang-gadangnya AHY sebagai capres atau cawapres, kata Adi Prayitno, di negara ini politik memang bukan soal kematangan.

“Tapi soal trah siapa, juga soal keberuntungan dan arah mata angin. Banyak politisi yang tiba-tiba mencuat ke publik tanpa diketahui rekam jejak sebelumnya,” ujarnya.

Berpikir Singkat

Begitu juga dengan caleg Gerindra. Seorang mantan punggawa Kalijodo, Jakarta, yakni Abdul Aziz akrab disapa Daeng Aziz menjadi caleg.

Daeng AzisPengusaha hiburan malam Kalijodo Daeng Azis (kedua kiri) bersama perwakilan warga Kalijodo di Gedung Komnas HAM, Jakarta Pusat, Senin (15/2/2016). (Foto: Ant/Reno Esnir)

Menurut Adi, hal itu sebenarnya juga bukan berarti menunjukkan kelemahan mesin politik partai yang tidak sanggup mencetak kader yang kapabel. “Namun dalam kasus ini, keliatan partai kehilangan kader potensial untuk dimajukan jadi caleg. Jadinya berfikir singkat dan jangka pendek, siapa pun dimajukan yang penting berpotensi dapat kursi,” bebernya.

Pendapat Muhadi juga senada dengan Adi. Menurut Muhadi, hal itu terjadi karena partai politik tidak menjalankan peran yang seharusnya dijalankan dalam sebuah sistem demokratis, yakni mewakili sebuah pemikiran tertentu dalam mengelola negara atau berpolitik.

“Yang terjadi adalah partai bekerja dengan logika yang sama sekali tidak mencerminkan kepentingan publik ataupun etika dan moral,” kata Muhadi.

Demokrasi, jelas Muhadi, sekali lagi menjadi pepesan kosong tanpa makna. Hanya sebuah pesta pengulangan suara melalui pencoblosan, karena rakyat harus memilih calon-calon yang sebenarnya tidak layak untuk dipilih.

“Mesin politik jalan, tetapi logika yang digunakan tidak mencerminkan hakekat partai dalam sebuah sistem demorasi,” tandasnya.

Dalam berdemokrasi, lanjut Muhadi, kita hanya mempunyai lembaga formalnya saja untuk berkontestasi, yakni partai politik. Tetapi secara substansi partai politik tidak mencerminkan ataupun bukan representasi dari cara pandang tentang pengelolaan politik berdasarkan sebuah pemikiran ataupun ideologi yang solid.

“Hanya pragmatis, berapa kursi yang didapat,” gugat Muhadi.
Seperti diketahui, Daeng Aziz resmi mendaftar sebagai Bakal Calon Legislatif (Bacaleg) Dapil IV Jeneponto, Bantaeng, Selayar di KPU Sulawesi Selatan, Makassar, Selasa.

Aziz yang datang menggunakan topi koboi bersama Ketua DPD I Partai Gerindra, Idris Manggabarani beserta rombongan menyerahkan dokumen pendaftaran untuk diverifikasi KPU.

"Pak Aziz daftar di Dapil IV, dan beliau meminta nomor urut lima. Hari ini kami masukkan berkas dan sudah selesai tinggal di verifikasi," papar Idris Manggabarani kepada wartawan di kantor KPU setempat.

Menurut adik kandung mantan Wakapolri Yusuf Manggabarani itu, diakomodirnya Daeng Aziz karena termasuk dari kalangan eksternal serta fans berat Ketua Umum Prabowo Subianto, dan tidak melihat latarbelakang seseorang, sebab pada dasarnya orang semua baik.

"Semua fans juga pendukung setia pak Prabowo kami rangkul, kita utamakan (caleg) kader utama, kemudian legislator dan eksternal. Memang metode pengkaderan kami seperti ini," ujar pengusaha properti itu.

Daeng Aziz sendiri saat diminta tanggapan enggan berkomentar banyak dan menyerahkan sepenuhnya kepada ketua partai.

Nama Daeng Aziz pernah mengemuka ke publik saat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama menggusur lokalisasi terbesar di Jakarta Utara, saat revitalisasi kawasan Kalijodo.

Di bawah komando Daeng Aziz sempat terjadi perlawanan preman menolak penggusuran tersebut. Namun, kekuatan Satpol PP dan aparat keamanan berhasil mensterilkan Kalijodo pada 2015 lalu.

Belakangan, Aziz dituduh melakukan pencurian listrik untuk menghidupi penerangan kafenya, kemudian menjalani proses hukum dan divonis Pengadilan Negeri Jakarta Utara selama sepuluh bulan penjara karena terbukti.

FPI dan HTI Intelek

Selain caleg Daeng Aziz, satu hal yang juga terbilang unik, Partai Bulan Bintang (PBB) pimpinan Yusril Ihza Mahendra menggaet mantan anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai caleg dalam Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019 ke KPU.

"HTI kan fenomena baru selama ini tidak boleh berpolitik tapi sekarang ini mereka berubah, ada banyak calon dari HTI," kata Ketua Umum PBB Yusril di Jakarta, Selasa (17/7) malam.

Yusril mengakui, PBB juga banyak merekrut anggota Front Pembela Islam (FPI) seperti Habib Muchsin Alatas yang tercatat mantan Ketua Umum FPI sebagai calon anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Jawa Barat VI meliputi Kota Bekasi dan Depok. Bahkan, PBB mencalonkan sejumlah aktivis FPI dari Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimangan Selatan.

Yusril mengungkapkan, mantan kombatan di Aceh dan anggota DPR Aceh dari partai lokal masuk PBB mencalonkan diri menjadi anggota DPR RI. "Ini memberikan suasana baru, HTI juga tidak pernah berpolitik sekarang masuk PBB," ujarnya.

Yusril tidak mempersoalkan aktivis FPI, HTI maupun kombatan di Aceh mencalonkan diri sebagai anggota legislatif lantaran memiliki basis konstituen sendiri.

Yusril menyatakan, PBB tidak tertarik merekrut banyak caleg dari kalangan selebritis karena menekankan kemampuan dan intelektual.

"Ada dari kalangan entertaint yang daftar, tapi kami utamakan yang intelek, menekankan pada kualitas karena kita lihat anggota DPR yang sekarang lemah kemampuan berpikirnya, kemampuan intelektualnya lemah sekali oleh karena itu kami memilih orang yang intelektual demi untuk meningkatkan kualitas DPR juga," tutur Yusril seperti dikutip Antara. (yps)

Berita terkait
0
Relawan Samatri Kota Bekasi Gelar Fogging Basmi Nyamuk DBD
Samatri adalah salah satu relawan militan pendukung Plt Wali Kota Bekasi Tri Adhianto dalam mensukseskan progam-program masyarakat.