Ada Risiko Politik di Balik Dana Investasi Arab Saudi

Arab Saudi tidak surut kontroversi. Beragam seruan boikot bersautan untuk merespons pelanggaran berat HAM yang dituduhkan kepada kerajaan al-Saud
Ilustrasi - Konferensi Investasi di Riyadh, Arab Saudi, tahun 2018. (Foto: dw.com/id/Faisal Al Nasser/REUTERS)

TAGAR.id - Di bawah Mohammed bin Salman, Arab Saudi sibuk berbelanja saham perusahaan multinasional demi diversifikasi.

Namun, gurita investasi kerajaan al-Saud dikhawatirkan bisa memicu konflik kepentingan. Cathrin Schaer melaporkannya untuk DW.

Arab Saudi tidak surut kontroversi. Beragam seruan boikot bersautan untuk merespons pelanggaran berat HAM yang dituduhkan kepada kerajaan al-Saud. Tapi, siapapun akan kesulitan jika ingin menyumbat sumber duit penguasa Riyadh, mengingat ragam investasi Saudi yang menggurita di mana-mana.

Dalam enam tahun terakhir, pemerintah Arab Saudi giat berbelanja saham perusahaan multinasional, antara lain Amazon, Google, Visa, Microsoft, Disney, Nitendo, Uber, PayPal atau Zoom.

Belum lama ini, Riyadh juga membeli klub Liga Inggris, Newcastle United, dan membentuk seri turnamen golf-nya sendiri, yang memicu perpecahan di kalangan atlet dunia. Terlebih, Saudi digosipkan berhubungan erat dengan BlackRock, perusahaan manajemen aset dan investasi terbesar di dunia.

Pendeknya, diversifikasi aset oleh Saudi turut menempatkan konsumen kecil seperti pelanggan Cafe Starbucks atau game online World of Warcraft sebagai sumber keuntungan.

Putra mahkota SaudiPutra mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman (Foto: voaindonesia.com/Reuters)

Perubahan dramatis

Keragaman investasi Saudi dikelola melalui Dana Investasi Publik atau PIF. Meski didirikan pada 1971 silam, geliat PIF di pasar saham internasional baru terlihat sejak beberapa tahun terakhir.

Adalah Pangeran Mohammed bin Salman yang pada 2015 mulai mengkonsolidasikan aset kerajaan, dan menugaskan PIF membiakkan kekayaan lewat investasi di luar negeri. Kebijakan tersebut dibuat seiring tekad Riyadh mengurangi kebergantungan dari sektor minyak dan gas.

Pada 2016, PIF mengambil langkah pertama ketika membeli saham perusahaan jasa transportasi, Uber, senilai USD 3,5 miliar atau sekitar Rp 53 triliun.

Hanya empat tahun setelah konsolidasi oleh bin Salman, peran PIF menjadi "sangat krusial” bagi pertumbuhan ekonomi Arab Saudi, menurut riset Columbia University pada 2019 silam.

"PIF adalah mesin pertumbuhan bagi Arab Saudi yang baru, seperti yang diimpikan bin Salman. Pemasukan negara diberikan untuk dikelola PIF, sementara aset pemerintah dijual untuk modal investasi,” kata Karen Young dari Columbia University.

PIF mengklaim ingin menjadi dana investasi negara terbesar dan "paling berpengaruh” pada 2030 dengan aset senilai USD 2 triliun atau setara dengan Rp30.000 triliun. Aset PIF saat ini ditaksir bernilai USD 620 miliar, empat kali lipat lebih besar ketimbang pada 2015, dan bertengger di posisi enam dalam daftar dana investasi terbesar di dunia.

Uang Kotor

Lembaga HAM, Amnesty International, tahun lalu menuduh pembelian klub Newacstle United sebagai bentuk "sportwashing” oleh Arab Saudi, demi memperbaiki pamor dan meredupkan perhatian publik terhadap dugaan kejahatan HAM.

Tuduhan serupa dilayangkan terhadap seri turnamen golf, LIV, dan penyelenggaraan turnamen balap mobil, Formula 1, di Arab Saudi.

Keterlibatan PIF sebagai pemilik saham Twitter juga sempat mencuatkan kecurigaan intervensi kerajaan terhadap pemberitaan seputar pembunuhan jurnalis AS, Jamal Khashoggi. Namun Twitter membantah adanya campur tangan oleh investor.

Aliran dana Saudi antara lain mengucur ke industri teknologi AS. Alhasil, "jika Anda memindahkan Saudi dari jejaring bisnis global, perekonomian dunia akan rubuh,” kata Kara Swisher, jurnalis AS yang giat meliput sektor teknologi.

Uniknya, hingga tahun 2019 PIF belum tercatat sebagai investor besar di Eropa, atau Jerman, menurut riset German Institute for International and Security Affairs (SWP). Minimnya minat terhadap pasar Eropa boleh jadi berkaitan dengan sikap PIF yang menolak transparansi.

Namun sikap tersebut bisa berubah, seiring niat Saudi berinvestasi di Yunani, yang menurut Karen Young sudah memasuki tahap final.

"Jika PIF berekspansi di Eropa, analisa dampak politik mungkin diperlukan,” tulis SWP dalam laporannya. "Penilaian harus dibuat untuk menentukan apakah PIF secara ekslusif bertindak untuk mencari keuntungan, atau ingin memajukan agenda politik asing.” (rzn/pkp)/dw.com/id. []

Berita terkait
Raja Salman Angkat Putranya Jadi Perdana Menteri Arab Saudi
Dalam perombakan kabinet itu Raja Salman menunjuk putranya, Putra Mahkota Mohammed Bin Salman, sebagai Perdana Menteri
0
Ada Risiko Politik di Balik Dana Investasi Arab Saudi
Arab Saudi tidak surut kontroversi. Beragam seruan boikot bersautan untuk merespons pelanggaran berat HAM yang dituduhkan kepada kerajaan al-Saud